tebuireng.online – Pertanyaan :

Assalamualaikum Wr. Wb.

Pak kiai yang saya ta’dzimi. Dilingkungan saya ada seorang warga yang tergolong tua meninggal dunia. Kemudian ada seorang ustadz mengarahkan keluarga almarhum agar menyediakan fidyah untuk puasa dan shalat yang yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya. Yang saya ketahui, fidyah hanya berlaku bagi puasa yang ditinggalkan dan tak mungkin di qadha, karena ada alasan udzur. Apakah memang ada fidyah bagi shalat yang ditinggalkan ? kalau ada, adakah dalil shahihnya ? Fazal, Jakarta Utara

imagesJawaban :

Waalaikumsalam Wr. Wb.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bapak Fazal yang saya hormati. Permasalahan yang bapak sampaikan, tidak hanya terjadi dilingkungan anda saja, tapi juga beberapa daerah lain. Mungkin fidyah puasa tidak terlalu kita permasalahkan. Sebab dalil kebolehannya jelas, baik dalam al’Quran maupun Hadits. Sedang fidyah shalat, sampai sekarang masih menjadi polemik di kalangan ulama.

Ada Hadits riwayat Abu Dawud (No. 952), al Tirmidzi (No. 372), Ibu Manajh (No. 1223), dan Ahmad. Yang artinya : Dari Imran bin Husaini, ia berkata, Aku terkena penyakit wasir (yang membuat shalatku terganggu). Akupun menanyakannya pada Nabi Muhammad SAW. Beliau menjawab, shalatlah berdiri ! jika tidak bisa, shalatlah sambil duduk !  jika masih tidak bisa, shalatlah sambil berbaring !.

Dari hadits di atas, kita dapat melihat bahwa tidak ada kompensasi untuk meninggalkan shalat, meskipun dalam keadaan sakit. Shalat bisa dilakukan dengan berdiri, duduk ataupun berbaring, bahkan dengan isyarat sekalipun, sesuai kondisi dan kemampuannya. Maka menurut pendapat yang mengacu pada hadits ini, tidak ada fidyah bagi orang wafat yang meninggalkan shalat semasa hidupnya.

Ada juga ulama yang berpenpendapat lain. Menurut pendapat ini, amal ibadah manusia itu terbagi dua. Ada yang dapat diwakilkan apabila yang bersangkutan usdzur, seperti sedekah dan haji dan ada juga yang tidak dapat diwakilan, seperti masuk Islam, puasa, shalat, dan membaca Al-Qur’an. Untuk kategori pertama, pahalanya dapat sampai pada yang meninggal, meskipun yang melakukan orang lain. Sedang untuk kategori kedua, pahalanya tidak sampai pada yang meninggal. Sebagaimana halnya ketika dia hidup, amal ibadah itu tidak boleh diwakilkan. Hanya saja, untuk menebus shalat atau puasa yang ditinggal semasa hidupnya diharuskan bayar fidyah, yaitu memberi makanan sebanyak satu mud (kurang lebih 1 liter) gandum (atau makanan pokok setempat) untuk satu hari yang ia tinggalkan semasa hidupnya.

Kesimpulan diatas berdasarkan hadits riwayat al-Nasai dalam kitabnya al-Sunan al-Kubro (IV/43) dan al-Thahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar (III/141). Begitu juga ibn al-Qayyim dalam kitabnya al-Ruh (hal. 239). Semuanya berasal dari ibnu Abbas ra. Hadits tersebut berbunyi,

“La yusholli ahadun ‘an ahadin wa lakim yuth’imu ‘anhu makana kulli yaumin muddan khinton”

Artinya : “seseorang tidak dapat menggantikan shalat atau puasa orang lain, tapi dia dapat menggantinya (berupa fidyah) dengan makanan, setiap harinya satu mud gandum.

Hadits ini sanadnya shahih namun mauquf sebab bersandar pada seorang sahabat, ibnu Abbas ra. Lebih lengkapnya silakan baca : ibnu Abi al’Izz al-Hanafi dalam kitabnya Syarh al”Aqiqoh al-Thahawiyah, editor Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki dan Syu’aib al-Arnauth, Dar’Alam al-Kutub, Riyadh, 1418H/1997M, cet. Ke-3, hal. 664-676.

Dalam disiplin ilmu hadits, hadits mauquf dapat dihukumi marfu’ (nilainya sama dengan hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW), jika matannya tidak berkaitan dengan masalah. Masalah ijtihadiyah, seperti hal-hal ghaib, turunnya al-Qur’an dan lain sebagainya. Karenanya, hadits mauquf dari ibnu Abbas di atas dapat dihukumi marfu’. Sebab ibnu Abbas tidak mungkin mengetahui sampainya pahala fidyah pada orang mati, kecuali dari ijtihadnya. Tapi, hadits sebelumnya yang menguatkan pendapat pertama itu hadits marfu’. Dengan demikian, menurut kami, dalam segi kehujjahannya, hadits marfu’ yang shahih tentu lebih utama dari pada Hadits mauquf yang dihukumi marfu’. Meskipun keduanya memiliki sanad shahih.

Kendati demikian, kita tetap harus menghormati saudara-saudara kita yang membayar fidyah untuk mengganti shalat atau puasa orang yang meninggal. Karena mereka memiliki landasan dan dalil diatas. Tentu dengan catatan, Hadits ibnu Abbas itu tidak dapat dijadikan dalil kebolehan meninggalakan shalat tanpa udzur, kemudian diganti fidyah. Dengan adanya saling pengertian ini, maka pintu perpecahan antar kelompok umat Islam akan semakin tertutup rapat. Semoga ini menjadi bahan renungan.

Prof. DR. KH. Ali Mustafa Ya’kub, MA

Pengasuh rubric tela’ah hadits majalah Tebuireng