Cak Jahlun termasuk santri yang nakal. Ketika musim mangga, beberapa kali mangga bapak kyai menjadi korban kenakalannya. Mungkin karena keterbatasan kiriman yang membuatnya seperti itu.

Saat itu bukan musim mangga, cak Jahlun melamun tentang apa yang bisa dilakukannya. Belajar tentulah tidak mungkin sebab tempurung otaknya pastilah akan menolaknya. Beberapa saat kemudian datanglah temannya menghampirinya, ia adalah si Qobih.

Qobih                      : “Ada apa cak, kok ngelamun?”

Cak Jahlun             : “Saya bingung mau ngapain, soalnya mangga pak kyai belum berbuah”

Qobih                     : “Oow.. bingung masalah itu rupanya, jangan kuatir cak, kalau mangga memang tidak berbuah tapi kelapa pasti selalu berbuah”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Cak Jahlun             : “Maksudmu kita akan ngambil kelapa bapak kyai di kebun belakang itu??”

Qobih                      : “Iya”

Cak Jahlun             : “Ide bagus bih, siapa tahu kita dapat kelapa kopyor”

Singkat cerita berangkatlah mereka berdua ke kebun belakang milik bapak kyai. Tanpa babibu lagi, secepat kilat Cak Jahlun sudah berada di atas pohon kelapa. Namun ia bingung soalnya seumur-umur ia belum pernah mengambil buah kelapa.

Cak Jahlun             : “Biih… Yang mana biih?”

Qobih                      : “Itu yang tepat diatas kepala sampeyan cak”

Cak Jahlun             : “Gimana cara ngambilnya bih??”

Qobih                      : “dipelintir saja cak”

Tiba-tiba ada sesosok bayangan berwarna putih memakai serban menghampiri pohon kelapa yang sedang dipanjat cak Jahlun. Menyadari hal tersebut si Qobih lari tunggang langgang. Lalu “Buuk” sebuah kelapa jatuh

Cak Jahlun             : “Biih… Yang mana lagi biih? Yang ini ya??”

Bayangan putih   : “iya cak”

Cak Jahlun agak kaget sebab suara si Qobih agak serak. Tapi ia tidak memperdulikan. Lalu “Buuk” lagi. Sebuah kelapa mengelinding kea rah pembuangan air. Hal itu terlihat oleh Cak Jahlun dari atas.

Cak Jahlun             : “Biih… kelapanya jatuh ke pecerren biih. Diambil biih”

Bayangan putih   : “iya cak”

Mendengar jawaban yang ke dua tersebut cak Jahlun menjadi yakin kalau pemilik suara di bawah itu bukan si Qobih, temannya, melainkan suara yang sangat familiar di telingannya setiap pengajian shubuh. Tak lain dan tak bukan pemilik suara tersebut adalah bapak kyai sendiri.

Dengan penuh ketakutan bermandikan keringat cak Jahlun turun dengan pela-pelan. Sesampainya di bawah tangan bapak kyai langsung memelintir telinganya seperti ia memelintir buah kelapa bapak kyai tadi. (F@R)