Persentuhan antara modernitas dengan agama-agama konvensional (termasuk Islam) menurut Karen amstrong berlangsung dalam kondisi yang tidak cukup damai. Modernitas yang berpijak pada etik rasionalisme-ilmiah yang efesien berambisi untuk menyeragamkan dunia dengan kebenaran tunggal ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain kalangan agama, menganggap zaman baru ini kurang ramah terhadap mereka. Modernitas berkecenderungan agresif, menyerbu pola hidup lain yang tidak sesuai dengan etos mereka.
Amstrong juga menggaris bawahi pola agresif yang agak berlebihan ketika modernitar menyentuh dengan masyarakat dunia ketiga. Modernitas dibawa masuk para penjajah Eropa yang beragama Kristen, sementara sebagian bangsa jajahan tersebut adalah Muslim. Pergesekan yang sengit antara keduanya sulit terhindarkan. Dalam konteks inilah mestinya kita bisa meletakkan relation antara Islam Indonesia dengan modernitas.
Tema yang Anda baca ini menempatkan seorang figur yang terlibat langsung dalam diskursus antara Islam modernitas baik dalam pemikiran (konsep) maupun tindakan (aksi). Figur ini adalah K.H. Abdul Wahid Hasyim, putra Hadlaratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). K.H. Abdul Wahid Hasyim merupakan objek kajian yang penting karena: Pertama; Beliau hidup dalam era generasi pertama masyarakat Indonesia terdidik, kedua; beliau adalah pemimpin yang sangat penting (bahkan tokoh kunci ) komunitas NU pada era-era tersebut yang ditandai dengan sejumlah kejadia penting dalam proses berbangsa dan bernegara,
Ketiga; hingga saat ini masih jarang karya ilmiah yang secara spesifik mengurai kiprah beliau. Pak Wahid Hasyim dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1914, hanya terpaut 14 tahun setelah kebijakan Politik Balas Budi etichal policy digulirkan pemerintah Belanda. Kebijakan ini penting karena mengingat sejak itulah mulai diselenggarakan pendidikan modern bagi warga pribumi (inlander), modernitas baru benar-benar diperkenalkan kepada bangsa Indonesia karena pendidikan modern adalah kunci memasuki peradaban modern yang dipromosikan Barat.
Pengaruh dari kebijakan ini sangat terasa. Para penggerak kemajuan di Indonesia, para pemimpin dan founding fathers RI adalah generasi pertama yang memperoleh pendidikan Barat. Pak Wahid Hasyim adalah kader NU generasi pertama yang merasakan betul dampak dari politik balas budi ini di tengah-tengah masyarakat. Sekalipun tidak pernah menempuh pendidikan Barat, beliau adalah orang yang gigih belajar secara otodidak materi pendidikan Barat.
Figur Wahid Hasyim sendiri adalah tipikal produk pendidikan pesantren. Sejak kecil mendapat pendidikan keagamaan sendiri dan Sang Ayah di Pesantren Tebuireng Jombang. pada usia tiga belas tahun telah mengembara ke sejumlah pesantren seperti pesantren Siwalan Panji Sidoarjo dan Lirboyo Kediri dan bahkan sempat nyantri di Makkah pada tahun 1932.
Pondok pesantren sendiri adalah sistem pendidikan yang telah eksis di kalangan umat Islam Indonesia (khususnya Jawa) selama ratusan tahun. Sistem ini telah mapan menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia bagi ummat Islam kala itu. Bahwa pesantren hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, seperti aqidah, fiqih dan tasawuf. Hal ini tentunya terkait dengan semangat zaman itu yang memandang begitu penting ilmu ke-akhiratan dibanding ilmu-ilmu dunia.
Kehadiran pendidikan modern gaya Barat sejak awal abad ke 20 yang berlatar belakang pada fakta keunggulan Barat dalam segi duniawi ini tentunya menghadirkan berbagai reaksi dikalangan ummat Islam Indonesia. Sebagian diantaranya menyambutnya dengan suka cita ikut memanfaatkan kesempatan ini namun sebagian besar yang lain tetap bertahan dengan cara pesantren.
Pak Wahid Hasyim adalah sedikit di antara para pemimpin NU yang berupaya mendamaikan dua kutub ini pada dekade ke-3 abad ke 20. Pendidikan Barat adalah penting demi melihat fakta Barat, namun pendidikan Islam juga maha penting mengingat tujuan asasi kehidupan umat Islam adalah kebahagiaan akhirat. Bahkan sekembali dari Makkah (1933) dan membantu sang ayah mengajar di Tebuireng, Wahid Hasyim telah mengusulkan perombakan yang radikal dalam sistem pendidikan pesantren yakni metode tutorial untuk menggantikan metode bandongan yang cenderung menjadikan santri pasif.
Meskipun usulan itu ditolak, namun Sang Ayah memperkenankan K.H. Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan Masrasah Nidzamiyah yang memperkenalkan model pendidikan Hybrid, mengajarkan pendidikan umum dan agama sekaligus dan menjadi modal eksperimentasi Wahid Hasyim dalam mengelola pendidikan pesantren di masa depan. Pak Wahid Hasyim tentu saja bukan satu-satunya dan kalangan Muslim Indonesia yang mencoba merespon problem pendidikan Islam.
Sebelum itu telah berdiri Madrasah Adabiyah di Minangkabau oleh Syaikh Abdullah Ahmad (1909) maupun perguruan tinggi Muhammadiyah di Jawa oleh K.H. Ahmad Dahlan sejak tahun 1911. Dua yang terakhir ini dalam pengelompokan sosial di Indonesia sering disebut sebagai kelompok Islam Modern, sementara NU acapkali disebut sebagi kelompok tradisionalis. Anggapan yang sering dibenarkan dalam studi dan kajian ilmiah ini teramat sering menjadi stereotype yang kajian ilmiah simplistic, bahwa kelompok islam modernis adalah kelompok yang dinamis, kompromis dan adaptif dengan perkembangan dunia modern. Sementara kelompok tradisionalis seringkali dipojokkan sebagai konservatif, anti-modern bahkan reaksioner. Anggapan ini sesungguhnya diproduksi oleh kalangan modernis yang kemudian diamini oleh sebagian ilmuwan tanpa periksa ulang.
Sesungguhnya kelimpok Islam yang disebut modernis pada dasarnya adalah kaum puritan (pemurni) yang kecewa dan menolak hampir seluruh pencapaian peradaban Islam dan menganjurkan kembali kepada sumber-sumber asli asli (al Quran dan hadist). Dengan demikian sesungguhnya ini lebih ortudok dan literer, dalam hal membatasi diri dengan teks al Quran dan Hadist, dengan memotong dradisi yang terbangun ribuan tahun.
Pelopor pergerakan ini adalah Muhammad Ibn Abd al-Wahhab (1703-1792) sehingga dinamai dengan gerakan Wahabi yang kemudian menyebar ke berabagai penjuru dunia Islam. Sejumlah pembaharu seperti Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla (1865-1935) dan Hasan al- Banna (1906-1949) tetap berpijak pada asumsi pemurnian Islam gaya Wahabi ini. Demikian juga dengan kalangan pembaharu Islam di Indonesia, yang dipelopori Muhammadiyah.
Kalangan pembaharu sekaligus pemurni ini merupakan reaksi pertama ummat Islam atas keunggulan Barat sekaligus kekecewaan terhadap orthodoksi dan ortopraxi di dunia Islam sendiri. Pemurnian menjadi satu-satunya jalan kerena tradisi dianggap telah mengotori pemahaman Islam yang murni dan sekaligus menghalangi kemajuan duniawi. Dalam aspek pendidikan, Karena telah terlanjur membuang hampir seluruh disiplin, metode dan tradisi pendidikan Islam klasik, maka kalangan ini sangat mudah mengadopsi pola pendidikan barat dengan memasukkan materi pendidikan Islam di dalamnya.
Dalam kasus Indonesia, Muhammadiyah adalah pelopor pendirian sekolah-sekolah umum berlebel Muhammadiyah dan berhasil mengundang minat banyak kalangan Muslim untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana. Ini dianggap lebih baik dari pada sekolah-sekolah Barat yang seratus persen umum. Respon NU tentu tidak dapat secepat itu karena NU mewarisi tradisi panjang pendidikan pesantren dan NU menganut paham bahwa tidak seluruh tradisi tersebut harus digusur.
Dalam hal pendidikan misalnya, perbedaan antara pendidikan Islam klasik dangan pendidikan Barat bukan hanya menyangkut metode (seperti umumnya anggapan kaum pembaharu) tetapi juga orientasi. Bila orientasi pendidikan Barat modern sekedar mengisi (refill) otak anak didik dengan pengetahuan, maka orientasi pendidikan Islam adalah memperhalus (refine) akal budi, pengajaran susila dan mempersiapkan kehidupan siswa dalam aspek keikhlasan dan kesucian hati. Pencangkokan materi pendidikan Islam ke dalam model pendidikan sekolah umum pada dasarnya mempersamakan ilmu Islam dengan ilmu umum yang material oriented. Ini dibuktikan dalam pendirian Madrasah Nizdamiyah di Pesantren Tebuireng oleh Pak Wahid Hasyim pada tahun 1935.
Madrasah tersebut terinspirasi oleh institusi pendidikan yang didirikan oleh pemimpin Bani Saljuk di Baghdad Nizam al-Mulk pada tahun 1092 yang mengajarkan filsafat Yunani selain materi keislaman, selain lagi Pak Wahid Hasyim tidak penuh keinginan untuk mengubur tradisi Pendidikan Islam klasik. Perubahan yang dilakukannya tetap berpijak pada warisan tradisi panjang pedidikan dan keilmuan Islam. Ini yang membedakannya dari sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Pada dasarnya NU bersikap moderat dalam menghadapi perubahan zaman. Sisi inilah yang kurang banyak dilihat oleh para ilmuwan yang menganggap NU anti perubahan. Sikap moderat ini sesungguhnya lebih adaptif terhadap modernitas dibanding sikap radikal yang biasanya bersumber dan pemikiran ortodoks. Bahkan hingga saat ini, sikap moderat NU ketika berhadapan dengan perubahan sosial di Indonesia terus diperlihatkan. Ini berbeda dengan kalangan Islam Modernis yang seringkali terjebak dalam pemikiran ortodoks dan radikal. Moderasi adalah sesuatu yang compatible dengan kemajuan.
Hanya saja aspek progresif di kalangan NU dijalankan dalam kerangka yang terukur, sehingga dapat diterima massa tanpa terlalu banyak kejutan dan penolakan. Karakter NU adalah mempersatukan diri dengan massa, NU tidak pernah berkeinginan meninggalakan garis massa. Inilah faktor yang sering melahirkan tudingan bahwa NU itu lembat dan konservatif.
Kasus perubahan kurikulum pesantren yang dilakukan oleh Pak Wahid Hasyim bukan hal yang pertama. Jauh sebelumnya, Sang Ayah Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari juga pernah melakukan perombakan metode pendidikan pesantren dengan menambahkan model Musyawaroh (seminar) disamping metode Sorogan (Individual) dan Bandongan (kolektif) yang telah ada. Metode seminar ini dikhususkan kepada santri-santri senior dan di dalamnya diperkenankan untuk berdebat secara bebas asal tetap memiliki kerangka acuan yakni kitab-kitab utama. Hal ini untuk menjawab tantangan bahwa para santri umumnya pasif dan pembaharuan ini sama sekali tidak merusak sendi-sendi pendidikan gaya pesantren. Inilah perubahan cara NU.
Dalam kapasitasnya sebagai menteri agama (dalam tiga kabinet berselang-seling mulai 1949-1953), Pak Wahid Hasyim selain berkiprah besar dalam membenahi pengorganisasian dalam kementerian tersebut, juga telah mendirikan PGA (Pendidikan Guru Agama) dan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, cikal bakal IAIN). Beliau menyadari bahwa bagi umat Islam modernisasi pendidikan harus dilakukan secara massif dan terorganisir secara baik.
Lewat kiprah tersebut, muncul sejumlah tudingan bahwa Pak Wahid Hasyim adalah aktor yang telah menyebabkan dualisme dalam sistem pendidikan yang berlangsung di Indonesia hingga kini. Tudingan ini sungguh tidak masuk akal dan a-historis, karena sistem pendidikan Islam telah eksis ratusan tahun sebelum pendidikan modern Barat diperkenalkan. Dalam konteks ini justru sistem Baratlah yang menyebabkan dualisme terjadi. Namun ini bulanlah soal yang penting karena dualisme ini adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri.
Pendidikan Islam mulai Madrasah Ibtidaiyah hingga IAIN memiliki alasan untuk hadir yang sama kuatnya dengan sekolah-sekolah umum. Saat ini kita banyak tersentuh oleh nasib dan situasi pendidikan Islam yang mutunya kurang baik dibanding sekolah umum. Tentu hal ini harus menjadi tanggungjawab kita sebagai generasi penerus. Pak Wahid Hasyim dengan berani telah meletakkan landasan pertama bagi sistem pendidikan Islam, generasi berikutnya harus sama kuat perjuangannya.
Jembatan itu
Salah satu aspek yang menarik dikaji adalah visi dan peran strategis yang dilakukan K.H. Abdul Wahid Hasyim dalam membangun jembatan kultural yang sungguh rumit, yakni antara kehidupan Muslim Indonesia yang masih diselimuti pola hidup tradisional dengan kehidupan modern yang Asing. Selain itu beliau juga berupaya keras untuk membangun (jembatan antara kubu Islam dengan Nasionalis) guna menyempurnakan bangunan kebangsaan yang saat itu tengah digagas. Berbagai aktifitas yang dilalui Pak Wahid Hasyim selama hidupnya sangat kental dengan usaha ini. Baik itu menyangkut pendidikan Islam yang menjadi perhatian utamanya sejak belia, maupun soal politik yang harus dijalaninya sebagai tokoh kunci NU.
Masa hidupnya yang singkat, memberi isyarat kita bahwa tugas-tugas mediasi, membangun jembatan kultural dan memberi bentuk yang utuh dan padu pada pembangunan nasional adalah tugas seluruh generasi. K.H. Abdul Wahid Hasyim boleh dikata merupakan penggagas awal, peletak landasan, sedang bangunan itu sendiri masih belum tuntas hingga saat ini. Apa yang hari ini kita saksikan di negeri ini ternyata masih belum berubah banya sejak zaman para “founding-fathers” kita yaitu antara lain, pertikaian, egoisme, dan kesenjangan kultural. Inilah yang mesti mejadi perhatian kita saat ini.
DR. (HC) Ir. KH. Shalahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng