Menteri Susi Pudjiastuti menyita perhatian publik lewat aksi eksentriknya. “Gak usah lari, bu” kata Jokowi saat memanggil Susi. Dia diperkenalkan sebagai pembantunya yang mengurusi kelautan dan perikanan menggantikan Syarif Cicip. Bertato seakan menggenapi atribusi-minor Susi, selain latar belakang pendidikannya yg hanya sampai SMP dan kebiasaannya merokok. Susi adalah liyan, berbeda dari jutaan perempuan yang dianggap “lurus” oleh masyarakat. Bagi kebanyakan masyarakat, ukuran kelurusannya jelas; tidak merokok apalagi menato dirinya. Perempuan yang melanggar ukuran tersebut acapkali dipandang miring. Jika tidak dianggap sebagai “bukan perempuan baik-baik”, ia pastinya sulit diprediksi mampu menjadi sosok terhormat.
Penodaan Tato
Masyarakat kita memang sudah mampu menerima kehadiran pemimpin perempuan namun belum pada yang bertato. Cibiran keras publik di media sosial atas tato Susi sejatinya merupakan hal “lumrah” mengingat tato sendiri mempunya akar historisitas yang unik, terutama jika ditautkan dengan agama dan sejarahnya. Jika dilacak, sebagian besar muslim Indonesia berfaham Sunni. Dalam tradisi sunni-syafii tato dihukumi haram. Pemilik tato akan dituduh secara subversif “merubah ciptaan” tuhan sebagaimana termaktub dalam An Nisa 119. Tidak hanya itu, ia juga dianggap najis (filthy). Status shalat pemakai tato tidak sah karena wudlunya bermasalah. Tinta tato yang mengkontaminasi darah pemakai dianggap sebagai biang keladi kenajisan (Rasheed, 2005). Lain Sunni, lain Syiah. Kelompok ini tidak mempermasalah penggunaan tato, baik temporer atau permanen. Ayatullah Khameini dan Grand Ayatullah Sistani memperbolehkannya.
Dalam tradisi Islam awal dikenal nama henna atau mehndi. Sejenis tato yang kerap dijumpai menghiasai kaki dan tangan mempelai perempuan. Setidaknya ada 22 hadist berkaitan dengan henna dengan tujuan beragam; dari hanya sebagai ornamen tubuh hingga terkait kebutuhan medis. Salah satu dari hadits tersebut menceritakan keberadaan seorang transgender (mukhannats) yang dibawa menghadap nabi untuk dimintakan fatwa bunuh. Nabi menolak dengan alasan darah muslim tidak boleh tertumpah untuk alasan tersebut. Nabi selanjutnya memerintahkan transgender itu diasingkan ke al-Naqi, tempat yg berjarak 3-4 mil dari Madinah (Rowson, 1991). Sayyidati Aisha, salah satu istri Nabi, pernah ditanya soal pemakaian henna. Menurutnya hal tersebut diperbolehkan meski ia tidak memakainya karena Nabi tidak suka baunya (Abu Dawud, Buku 33, #4153).
Sungguh pun demikian, ada preseden “buruk” terkait pemakaian henna pascawafatnya nabi. Adalah Abu Bakar, mertua Nabi yang terpilih menjadi khalifah pertama. Dia dikabarkan memotong tangan perempuan karena memakai semacam tato di tangannya. Kurang jelas apa penyebab vonis dijatuhkan. Sebagian sumber menyebut perempuan ini adalah pelacur. Sumber lain menyebut perempuan ini menato tangan dan kakinya sebagai upaya selebrasi kepedihan atas represifitas yang dialami agamanya. (Beeston,1952. Lichtensadler, 1939). Pada masa kekhalifahan Hisham bin Abd al-Malik tato dengan cara menempelkan besi panas berbentuk singa juga diterapkan. Juga terdapat ceritapenduduk setempat menato dirinya agar bisa terbebas dari pembayaran pajak (al-Duri, 2011).
Ambiguitas Islam dalam merespon tato juga dialami kekristenan. Alkitab melalui Levicticus 19:28 memberikan restriksi jelas terkait hal ini. Namun demikian komunitas Katolik-Roma di Bosnia dan Herzegovina melakukan sebaliknya sejak imperium Usmani pertengahan abad 15. Mereka menandai anak-anak mereka dengan simbol kekristenan atau stechak agar selamat dari praktek penculikan pasukan Turki yang kerap menjadikan mereka sebagai tentara atau budak (Truhelka, 1896).
Clurit Tato
Di Indonesia, tato mengalami stigmatisasi yang perih. Ia erat dikaitkan sebagai simbol penista –untuk sekedar menuduh seseorang sebagai kriminal. Stigmatisasi dengan meminjam tangan aparatus ini dibingkai dalam Operasi Clurit pada media 1082-1985. Ribuan orang dibunuh secara misterius atas nama perang melawan kriminalitas. Korbannya mencapai 9000 orang (Bourchier, 1990). Mayatnya ditaruh sembarangan agar masyarakat mengalami efek jera. Bagaimana seseorang diidentifikasi sebagai kriminal? Gampang, melalui tato. Hampir semua korban tidak mempunya identitas saat ditemukan warga kecuali totolan tato di tubuhnya. Kepala remuk, badan penuh luka dan leher terjerat plastik merupakan ciri-ciri lain korban (Komnas HAM, 1992). Nama LB Moerdani dan Sudomo banyak dikaitkan dengan peristiwa yang diakui sendiri oleh Soeharto dalam biografinya.
Suci dan Terhormat
Dalam sejarah kuno, tato sering diidentikkan sebagai penanda strata sosial kelas bawah seperti yang terjadi dalam landskap-historis China. Begitu juga saat tato disandingkan dengan perempuan. Berbagai profesi “rendahan” seperti penghibur, penyanyi, dan pelacur merupakan deretan label yang kerap tersemat. Namun demikian, tato pernah hidup terhormat ribuan tahun sebelum masehi. Para arkeolog pernah menemukan mummi bernama Amunet. Dia adalah pendeta perempuan yang menjaga kuil tempat bersemayam Hathor, dewi tertinggi Mesir Kuno (2160-1994 SM). Hathor merupakan simbol utama dan representasi seluruh kehidupan. Dia dipercaya sebagai ibu dari alam raya. Pada mumi Amunet tersebut dijumpai tato di lengan dan paha, berbentuk garis paralel dengan bulatan panjang di bawah pusar (John Rush, 2005). Sejarahwan Islam terkemuka Jarir al-Thabari pernah menceritakan istri Abu Bakar, Asma binti Umays, mentato kedua tangannya (mawsumat al-yadayni) sebagaimana terekam dalam Tarikh al rusul wa’l muluk (Al-Tabari, 1993:146-7).
Burung Phoenix
Pengguna tatto mempunyai motif dan alasan menghiasi tubuhnya dengan berbagai simbol. Biasanya, tato digunakan untuk mendeskripsikan cita-cita seseorang maupun refleksi panjang dari timeline kehidupan. Bu Susi jelas bukan seorang penghibur apalagi harlot. Dia adalah semacam anomali. Latar belakang pendidikan yang merepresentasi ciri status kelas bawah terasa kontras dengan pencapaiannya selama ini. Memulai dari jualan ikan keliling hingga merajai bisnis carter pesawat. Bagi para nelayan di Pangandaran dan wilayah lain, dia dianggap laksana Amunet, yang berperan penting menjaga stabilitas kehidupan.
Cukup sulit menyangsikan kegigihan Susi berkiprah di dunia yang digelutinya. Etos dan kepribadiannya sangat mungkin terwakili oleh pilihan gambar tato di kaki kanannya; burung Phoenix – sejenis fauna suci yang bisa hidup ribuan tahun. Dia adalah simbol keabadian karena bisa hidup kembali sekejab setelah mati.
Mitologi Yunani menjelaskan burung ini juga dipercayai sebagai simbol kebangkitan-kembali, kreativitas, sosok spesial, kemenangan setelah kematian. Kekhususan burung ini bahkan diadopsi menjadi elemen penting kekristenan awal sebagai simbol kehidupan surga, Kristus dan Perawan Maria (Broek, 1972). Tokoh-tokoh besar seperti Herodotus(484 SM), Lucan (39M), Pliny the Elder (45M), Pope Clement I (88M), Lactantius (250M) dan Isidore of Seville (560) mengabadikan dalam karya-karya mereka.
Ujian Susi
Menteri Susi benar-benar akan diuji integritas dan kapasitasnya. Tumpukan problem kelautan menunggu diselesaikan. Terutama dalam rangka memperbaiki taraf hidup nelayan kecil dan menjaga kedaulatan maritim dari intervensi ekonomi global. Dia menghadapi kenyataan subsidi BBM sektor kelautan belum berbanding lurus dengan pendapatan yang masuk kas negara. Di internal kementerian, Susi juga akan menghadapi model birokrasi yang terkenal lamban, korosif, dan cenderung antiperubahan.
Memang, dia telah teruji sebagai seorang die-hard dalam bisnis ikan dan carteran pesawat selama ini. Namun mengurus sebuah kementerian tentu mempunyai kompleksitasnya tersendiri. Justru di titik inilah kesucian simbol tatonya akan dipertaruhkan. Apakah dia memang layak menorehkan burung Phoenix di tubuhnya, ataukah tato tersebut perlu diganti, misalnya emprit.
Revolusi Jokowi
Presiden Jokowi, terlepas dia mengetahui tato menteri Susi sebelumnya atau tidak, telah mengambil terobosan kultural yang revolutif. Yakni, merekrut sosok “bermasalah” masuk dalam kabinetnya. Konsepsi revolusi mental memang masih belum menemukan bentuk definitifnya hingga saat ini. Meski demikian masuknya Menteri Susi memberikan petunjuk kemana revolusi mental akan diarahkan. Mentalitas anak bangsa ini perlu diukir kembali agar lebih mementingkan substansi ketimbang bentuk; mampu membedakan wilayah privat dan publik; serta menghargai dan menghormati kemanusiaan diatas keragaman identitas. (*)
Aan Anshori (@aananshori), Peneliti Pusat Kajian Pesantren & Masyarakat (PKPM) Tebuireng . Penggerak Jaringan GUSDURian