(Refleksi Pengajian Gus Baha’ atas Kitab Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib)

Oleh: M. Rizki Syahrul Ramadhan*

Dalam salah satu vidio pengajian, Gus Baha’ menerangkan tentang fikih penyembelihan. Pengajian tersebut menggunakan Kitab Hasyiyah Al-Bajuri, sebuah syarah dari kitab Fathul Qarib. Karena kitab ini berisi pembahasan fikih mazhab Syafi’i, tentu Gus Baha’ banyak membahas pendapat mazhab Syafi’i terkait cara menyembelih hewan.

Tidak Wajib Membaca Basmalah

Pembahasan pertama berkaitan dengan bacaan basmalah. Apakah kita wajib membaca basmalah (bismillahirrahmanirrahim) sebelum menyembelih? Kiranya begitu pertanyaan utamanya.

Banyak orang mungkin mengira bahwa menyembelih hewan wajib didahului dengan membaca basmalah. Padahal, dalam mazhab Syafi’i, hal itu tidak wajib, melainkan sunnah. Mengapa? Gus Baha’ dalam hal ini memberi argumentasi logis yang sangat menarik.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Dalam mazhab Syafi’i, perintah membaca basmalah dipahami sebagai etika atau afdhaliyyah, bukan sebagai syarat sah. Secara logis, hal ini juga mungkin ditujukan untuk menjaga agar kultur atau kebiasaan membaca basmalah tidak hilang. Berbeda dengan para ulama yang mewajibkannya. Perintah basmalah dalam hal ini dipahami sebagai syarat sah karena harus pamit kepada Allah selaku pemberi nyawa”.

Mari kita lihat dalam kajian fikih. Pendapat yang kontra dengan mazhab Syafi’i bisa diwakili oleh mazhab Hanafi atau Abu Hanifah. Dalam salah satu penelitian komparatif yang dilakukan oleh mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, disebutkan analisis bahwa Imam Abu Hanifah menyatakan wajib membaca basmalah saat menyembelih dengan mendasarkannya pada dalil keumuman ayat dalam QS. Al-An’am ayat 121. Hal ini menghasilkan produk hukum berupa: “Segala sembelihan yang tidak terdapat tasmiyah (menyebut nama Allah) menjadi haram untuk dimakan”.

Bagaimana dengan Imam Syafi’i? Oleh Imam Syafi’i, ayat yang menjadi dalil di atas ditakhsish (digandengkan dengan ayat lain yang lebih khusus), yaitu QS. Al-An’am ayat 145. Sehingga produk hukum yang muncul adalah: “Ayat tersebut khusus untuk larangan memakan sembelihan yang di dalamnya terkandung unsur pendurkahaan kepada Allah”. Kemudian, Imam Syafi’i menyorot hadis yang memperbolehkan orang yang lupa untuk memakan sembelihan tanpa tasmiyah dan menariknya sebagai dalil umum bahwa tidak apa-apa menyembelih tanpa tasmiyah.

Melalui pendapat seperti itulah fikih mazhab Syafi’i tentang hukum penyembelihan terbangun. Jika kita tengok secara detail di kitab Fathul Qarib atau syarahnya, yaitu Hasyiyah Al-Bajuri, tidak disebutkan sama sekali perihal tasmiyah atau membaca basmalah sebagai rukun atau syarat sah dalam proses penyembelihan. Melainkan, yang berkaitan dengan hal itu adalah penjelasan tentang siapa yang boleh menyembelih sehingga sembelihannya menjadi halal dimakan?

Fathul Qarib menyebutkan bahwa semua orang Islam, baik baligh atau kecil, gila atau tidak, boleh menyembelih. Begitu pula dengan seorang ahli kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani. Dalam Hasyiyah Al-Bajuri, lebih detail lagi dijelaskan urutan prioritasnya. Ketika bisa dipilih, maka secara berurutan prioritas eksekutor penyembelihan adalah: lelaki muslim yang berakal, perempuan muslim yang berakal, anak-anak muslim yang mumayyiz, ahli kitab, orang gila, dan orang mabuk. Untuk dua jenis terakhir, diberi keterangan bahwa hukumnya makruh.

Bagaimana kita menanggapi perbedaan pendapat di antara ulama seperti di atas? Gus Baha’, masih dalam pengajian yang sama, memberi alternatif solusi bahwa perbedaan seperti itu adalah hal yang sangat biasa dalam fikih, sehingga kita tidak perlu kaget apalagi bertengkar. Terserah mau ikut yang mana. Kalau mengaku sebagai penganut Syafi’iiyah, berarti seperti itu tadi penjelasannya. Toh, kedua pendapat ini berasal dari ulama ahlussunnah, para mujtahid mazhab yang diakui oleh umat Islam mayoritas. Jadi, tidak masalah ikut yang mana. Yang lebih penting adalah mengetahui keindahan perbedaan pendapat tersebut beserta kejelasan duduk perkara, argumentasi, dan kedetailan pemahamannya. Itulah arti mencari ilmu.

Menyembelih Hewan yang Sekarat

Pembahasan selanjutnya dalam pengajian Gus Baha atas kitab Hasyiyah Al-Bajuri adalah terkait menyembelih hewan yang sekarat, ayam yang akan mati karena tertabrak sepeda motor misalnya. Bagaimana hukum ayam itu? Apakah sama saja dengan ayam hidup biasanya? Atau sudah tidak boleh disembelih?

Menjawab pertanyaan itu, Gus Baha mengajak pendengar untuk meninjau kembali apa definisi menyembelih. “Menghilangkan harair (nafas, hawa panas, nyawa) hewan, dari hidup menjadi mati”, itulah menyembelih. Lantas, apakah ayam yang sekarat bisa disebut hewan yang hidup? Karena jika hewan itu tidak bisa dikatakan hidup, berarti tidak mungkin ada perbuatan menyembelih. Itu cara berpikir fikih.

Lebih lanjut Gus Baha menjelaskan bahwa fikih mazhab Syafi’i mengharamkan sembelihan hewan yang sekarat seperti itu, karena tidak memenuhi persyaratan hayat mustaqirrah atau hayat mustamirrah. Ya, di mazhab Syafi’i, hayat mustaqirrah dan hayat mustamirrah (bisa salah satu saja) adalah salah satu kriteria yang harus dimiliki oleh hewan yang akan disembelih. Tanpanya, hewan itu dianggap sebagai tidak hidup dan tidak mungkin bisa disembelih.

Hayat mustaqirrah adalah kondisi hidup suatu hewan. Di Hasyiyah Al-Bajuri dituliskan bahwa mudahnya, jika hewan tersebut masih bisa hidup satu atau dua hari, maka dia memiliki hayat mustaqirrah. Level hayat yang lebih pendek, yaitu kehidupan hewan menjelang kematian, disebut sebagai hayat mustamirrah. Akan mati, tapi belum kejang-kejang sekarat. Yang lebih rendah lagi, kondisi sekarat hewan, disebut sebagai harakat al-madzbuh. Ini adalah istilah untuk menyebut gerakan terakhir sang ayam. Ketika ayam selesai disembelih, dia biasanya masih bergerak-gerak tak karuan, itulah harakat al-madzbuh.

Di fikih Syafi’i, khususnya mengacu pada kitab Hasyiyah Al-Bajuri yang dibaca Gus Baha’, ayam yang sekarat karena tertabrak itu jika berada dalam kondisi kejang-kejang atau harakat al-madzbuh, maka dia tidak halal dimakan walau disembelih. Lebih jelasnya begini: ketentuan awalnya, sembelihan hewan menjadi halal dimakan jika memiliki hayat mustaqirrah. Namun, jika terjadi kecelakaan pada sang hewan seperti jika hewan memakan tumbuhan beracun, terluka karena hewan buas bagi domba, keruntuhan bangunan bagi hewan ternak, terluka karena kucing bagi burung merpati, atau hal lain yang mendatangkan kematian bagi hewan, maka cukuplah dia memiliki hayat mustamirrah. Perlu diingat, dispensasinya hanya di hayat mustamirrah, bukan di harakat al-madzbuh. Maka, kasus ayam sekarat tadi tidak bisa ditolerir lagi. Haram.

Lumayan tegas fikih mazhab Syafi’i dalam hal ini? Sayang rasanya, jika ayam kita sudah besar, lalu tertabrak sepeda motor, kok tidak bisa dimakan. Menanggulangi hal ini, Gus Baha menceritakan versi fikih lain. Yaitu fikih mazhab Maliki.

Di mazhab Maliki, ada hitungan yang cukup detail terkait menghukumi boleh tidaknya memakan sembelihan yang seperti itu. Hitungannya berdasarkan perkiraan waktu. Contohnya begini: jika ayam yang sekarat tadi dibiarkan, dia akan mati dalam waktu 10 menit. Tapi jika disembelih, dia akan mati dalam waktu 5 menit. Jika begitu, hukumnya halal dimakan. Sebab, yang menyebabkan kematian si ayam bukanlah ketabraknya, melainkan sembelihannya.

Fikih mazhab Maliki yang seperti itu dijelaskan oleh Gus Baha sebagai solusi bagi yang mau. Karena tidak semua orang bisa merelakan begitu saja. Juga, fikih itu penuh khilaf. Ketika terdapat pendapat yang lebih relevan, mengapa tidak dipakai? Sekali lagi, toh, itu adalah khazanah fikih para ulama ahlussunnah yang menjadi bukti ikhtilafu ummati rahmah, perbedaan adalah rahmat.


*Alumni Ma’had Aly Tebuireng Jombang