Sumber gambar: https://news.detik.com

Oleh: Dr. Fathur Rohman, M. PdI*

Ada seorang santri yang tiba-tiba menghampiri saya dan meminta nomer HP saya kemudian saya beri, setelah ia selesai menulis nomer HP saya. Saya bertanya; “mau ada apa mas?”. Ia menjawab; “saya ingin tanya-tanya konsultasi bila ada hal-hal yang saya tidak mengerti,” saya jawab: “silakan, memangnya ada masalah apa, cerita saja tidak apa apa.” Ia bercerita kalau saudaranya atau familinya sekarang berubah, beraliran yang mirip wahabi. Saya tanya lagi, “bagaimana ciri-cirinya?”, ia menjawab, “banyak ustadz, seperti ia sering membid’ahkan amalan kita yang NU seperti do’a/wiridan setelah shalat dll, serta menuduh amaliyah kita yang lain tidak sesuai dengan tuntunan Al Quran dan As-Sunnah. Sehingga menyebabkan hubungan keluarga agak renggang atau tidak baik. Nah saya mau bertanya, bagaimana caranya ustadz agar sudara saya kembali menjadi NU seperti sediakala, soalnya bawaannya kalau kita dengar omongannya dan kalau kita bantah kebawanya tambah saling marah-marah.”

Saya sampaikan padanya beberapa cara yang bisa ditempuh adalah sebagai berikut;

Pertama, jangan marah atau emosi dengan omongannya. Jadilah pendengar yang baik, utarakan beberapa pertanyaan kepadanya tentang pemahaman terhadap ayat-ayat atau hadis yang menjadi rujukan atau pedoman pemahamannya agar kita bisa memahami kerangka atau alur berfikirnya sehingga kita bisa memahami kenapa mereka bisa memiliki pemahaman seperti itu.

Kedua, jangan dibantah dengan ayat atau hadits lain yang bertentangan, karena biasanya dalil hadis yang kita sebutkan yang berbeda dengan hadis yang mereka pedomani dianggap sebagai hadits dhoif. Atau kita dituduh salah dalam memahami ayat Al Quran.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketiga, carilah titik temu pembahasan masalah-masalah keagamaan yang bisa mempererat persaudaraan, karena sepengetahuan saya saat diskusi sepanjang perjalan dari Surabaya ke Jombang bersama atase kedutaan Saudi Arabia yang kewahabiannya tidak diragukan lagi bahwa sebenarnya diantara orang-orang wahabi itu berpedoman pada pendapat madzab imam Hambali, jadi masih ketemu dengan kita yang NU yang berpedoman pada imam empat madzab; Syafii, Maliki, Hanafi, dan Hambali.

Keempat, berdiskusilah dengannya dengan cara yang ahsan (tidak berbantah bantahan) tentang ayat atau hadits yang menjadi rujukan/pedoman pemahaman mereka dengan saling mengutarakan sumber dasar pemaknaan lafadh-lafadhnya, sumber dasar pemahaman terjemahan lafadh-lafadhnya, sumber dasar istimbat hukumnya, sumber dasar penafisiran ayatnya, dan sumber-sumber keilmuan yang lain, karena sebenarnya untuk memahami ayat Al Quran dan Hadis itu memerlukan seperangkat ilmu tersendiri.

Kelima, yakinlah setiap orang akan menemukan jalan pemikirannya sendiri, bagi kita jalan pemikiran keagamaan kita mengikuti NU, namun saudara kita yang lain bisa jadi mengikuti selain NU seperti Muhammadiyah, Wahabi, LDII, Syiah, Jama’ah tabligh, Jamaah Tarbiyah, dan lain-lain. Itu semua adalah hak mereka untuk memilihnya, sebagaimana hak kita juga untuk memilih mengikuti NU.

Jadi bila itu semua adalah hak masing-masing, maka kita harus bisa memahami jalan pemikiran keagamaan mereka dan mereka juga harus bisa memahami jalan pemikiran keagamaan kita. Bila saling memahami jalan pemikiran keagamaan masing masing seperti ini, maka tidak akan saling menyalahkan satu sama lain.

Itulah kenapa pentingnya berdiskusi dengan cara yang baik dengan mereka, sebagaimana sepengalaman saya mereka bisa memahami pemikiran keagaam saya yang berpijak pada manhaj NU, walaupun mereka tidak mau mengikuti pendapat saya, setelah saya sampaikan bahwa saya bisa memahami jalan pemikiran keagamaan mereka dengan menjelaskan sumber atau dasar pemikiran keagamaan mereka dan saya sebutkan bahwa ada sumber-sumber lain yang jauh lebih banyak yang bisa melahirkan pemahaman yang berbeda dengan pemahaman saya dan pemahaman mereka.

Keenam, didoakan yang baik-baik saudaranya. Berdoa agar kita semua sama-sama memiliki keluasan pemahaman dalam beragama Islam agar kita sama-sama tetap bisa berkasih sayang dalam perbedaan pendapat masalah-masalah furuiyah, sehingga kita tidak membenci saudara kita sesama muslim yang berbeda madzab atau pemahaman dengan kita.

Ketujuh, bila yang dikaji adalah ayat Al Quran ajaklah memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu yang digunakan oleh para ulama dalam memahami Al Quran sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ulumul Quran, bila yang dikaji itu adalah hadis Nabi, maka ajaklah memahaminya dengan menggunakan ilmu-ilmu yang digunakan oleh para ulama untuk memahami hadits-hadis Nabi sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Ulumul Hadits.

Kedelapan, bila itu ranah ijtihat, maka yang harus dipedomani adalah pemahaman yang kita ikuti belum tentu benar, demikian pula pemahaman yang mereka ikuti juga belum tentu benar atau bisa jadi pemahaman kita benar dan pemahaman mereka benar, karena kebenaran sangat banyak. Bila toh kalau pemahaman kita salah atau pemahaman mereka salah, kita semua masih sama-sama dapat satu pahala yaitu pahala ijtihat, demikian juga bila pemahaman kita benar dan pemahaman mereka benar, kita semua juga dapat dua pahala yaitu pahala ijtihat dan palaha kebenaran.

Ingatlah sejarah umat Islam pada zaman dahulu yang saling berperang, bermusuhan, bahkan saling membunuh satu sama lain karena mereka saling merasa benar sendiri dan menyalahkan yang lainnya, padahal perbedaan pendapat merupakan sunnatullah.

Mari kita perkuat persatuan umat Islam di dunia ini dengan saling berkasih sayang, saling tolong menolong, dan menebar kebaikan yang lainnya di antara sesama umat Islam.

Allahu A’lam bisshowab.

*Penulis adalah salah satu dosen Universitas Hasyim Asy’ari.