Ilustrasi wanita membaca Al-Qur'an (sumber: muslim.or.id)
Ilustrasi wanita membaca Al-Qur’an (sumber: muslim.or.id)

Oleh: Ustadz Zaenal Karomi*

Pertanyaan:

Perlombaan Akhirussanah di pondok pesantren sudah menjadi agenda rutin setiap tahun, yang terdiri dari perlombaan kategori jasmani dan rohani. Salah satu lomba rohani yakni Musabaqoh Hifdzul Qur’an. Perlombaan ini akan bermasalah ketika bebarapa santriwati mengikuti lomba tersebut, tetapi masih dalam keadaan haid. Para santriwati itu tidak diperbolehkan untuk membaca Al-Qur’an kecuali untuk belajar. Bolehkah seorang wanita yang sedang datang bulan (haid) membaca Al-Qur’an dengan tujuan perlombaan?

Abdul Hafidz, Mojokerto

Jawaban:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Terima kasih Mas Abdul Hafidz dari Mojokerto. Menurut Jumhurul ‘ulama (mayoritas ‘ulama), pada asalnya wanita keadaan haid itu haram membaca Al-Qur’an. Namun, apabila terdapat hajat, yakni belajar, mengajar, perlombaan, dan lain-lain serta tidak bermaksud membaca Al-Qur’an, maka hukumnya diperbolehkan. Tetapi menurut Malikiyyah, Dzahiriyyah, dan qaul jadid Imam Syafi’i bahwa wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an secara muthlak selama tidak menyentuh mushaf.

Argumentasi pendapat para ‘ulama

Ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menanggapi permasahalan ini. Beberapa keterangan dari kitab-kitab di bawah ini memberikan penjelasan mengenai hukumnya. Seperti yang ada dalam kitab al-Bujairimi ala al-Khatib juz 3 halaman 259-260 di bawah ini:

( وَ الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ ، فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }. الشَّرْحُ قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ، وَعَنْ الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا نَقَلَهُ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ. ( حاشية البجيرمي على الخطيب ج 3 ص 259-260)

Dalam redaksi kitab al-Bujairimi di atas (yang bergaris bawah), Imam Malik berpendapat bahwa diperbolehkan bagi orang haid membaca Al-Qur’an. Selain itu Imam Thohawi juga memperbolehkan membaca namun tidak lebih dari satu ayat. Beliau menukil keterangan dalam kitab Syarh al-Kanzi salah satu kitab ulama Hanifiyyah.

Dalam yang sama (al-Bujarimi), Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi memberikan tanbih (peringatan atau sesuatu yang harus diperhatikan) seperti keterangan di bawah ini:

تَنْبِيهٌ : يَحِلُّ لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ : { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ : { إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا . (حاشية البجيرمي على الخطيب ج 3 ص 264)

Dalam keterangan di atas, Syaikh Sulaiman yang merupakan pengarang kitab tersebut mengatakan bahwa halal atau boleh membaca dzikir dari ayat-ayat Al-Qur’an dan selainnya bagi orang yang hadas besar (termasuk haid), namun tidak dengan maksud membaca Al-Qur’an. Seperti membaca tasbih saat ruku’ atau istirja’ saat terjadi musibah. Begitu pula kalau orang yang hadas besar tersebut tidak sengaja. Namun, kalai sengaja membaca Al-Qur’an saja, atau sengaja membaca Al-Qur’an dan Dzikir bersamaan, maka itu haram.

Dalam kitab lain, yaitu kitab Tarsyih al-Mustafidin karya Sayyid Abdurrahman as-Segaf, seperti redaksi di bawah ini:

خلافا لما أفتى به النواوي اي من حل قراءة الصبي ومكثه في المسجد مع الجنابة ووافقه كثيرون ، وقال في الإيعاب اختار إبن المنذر و الدارمي وغيرهما ما روي عن ابن عباس وغيره أنه يجوز للحائض والجنب قراءة كل قرأن وهو قول الشافعي قال الزركسي الصواب إثبات هذا القول في الجديد قال بعض المتأخرين هو مذهب داود وهو قوي فإنه لم يثبت شيء في المسئلة يحتج به والأصل عدم التحريم والمذهب الأول وهو التحريم. (ترشيح المستفيدين ص: 29)

Dalam kitab tersebut Sayyid Abdurrrahman mengutip keterangan Ibnu hajar al Haitami dalam kitab al-I’ab yang menuturkan bahwa Ibnu Mundzir dan Imam Dzairimi memilih sebuah pendapat sesuai dengan yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata, “Sesungguhnya diperbolehkan bagi orang yang haid dan junub membaca Al-Qur’an”. Pendapat itu adalah pendapat Imam syafi’i saat masih berada di Mesir yang terkenal dengan sebutan qaul Jadid dan juga pendapat Imam Abu Daud. Untuk itu menurut Imam az-Zarkasi benar dan memang boleh dijadikan ibarat pembolehan membaca Al-Qur’an bagi orang yang hadas besar (haid dan junub).

Itulah pendapat para ulama tentang hukum membaca Al-Qur’an bagi perempuan haid dan orang yang junub. Mayoritas ulama mengatakan pada asalnya adalah haram, namun kalau ada hajat, boleh dan sah-sah saja seseorang yang hadas membaca al-Qur’an asal tidak bermaksud secara sengaja membaca Al-Qur’an. Sedangkan sebagian ulama, seperti Malikiyah, Dhohiriyah dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid-nya, memperbolehkan secara mutlak asal tidak menyentuh mushaf Al-Qur’an.

Bagaimana sebaiknya? Sebaiknya pilihlah pendapat mayoritas ulama, karena kesepakatan mayoritas ulama itu lebih kuat daripada pendapat perseorangan. Wallahu a’lam.

*Penggerak Bahtsul Masail di Pesantren Tebuireng