Beberapa hari terakhir, ramai di internet video remaja melakukan “klarifikasi” tentang pencurian HP yang dilakukannya. Bukannya malah melakukan klarifikasi, remaja itu malah membuat pernyataan bahwa wajar jika manusia melakukan kesalahan sebab manusia memang tempatnya salah dan lupa, dengan ending kalimatnya ialah “Wajarlah, manusia bukan nabi, boyy”. Penulis tergelitik mendengarnya. Meski begitu, apakah benar bahwa manusia bukan nabi? Apakah nabi bukan manusia? Atau jika nabi adalah manusia, maka apakah nabi juga melakukan kesalahan sebagaimana manusia yang merupakan tempatnya salah dan lupa?
Barangkali sepenggal kisah Rasulullah SAW yang akan saya sampaikan ini bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sudah banyak yang mengetahui bahwa apa yang dilakukan Rasulullah SAW itu menjadi dalil. Akan tetapi, dalil tersebut terkadang tidak terjadi secara seketika dan tidak mendadak menjadi syariat. Hal itu melibatkan sisi kemanusiaan Rasulullah SAW. Ya, Rasulullah SAW adalah manusia, yang membawa ajaran untuk manusia.
Sisi kemanusiaan Rasulullah SAW terlihat dari cara beliau menjalani kehidupan sehari-hari. Makan, minum, buang air besar, tidur, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan Rasulullah SAW pun sama seperti bahasa yang digunakan oleh masyarakat (bahasa Arab). Beliau juga berjalan dengan dua kaki, mendengar dengan dua telinga, berbicara dengan mulut, melihat dengan mata, dan berpakaian dengan kain selayaknya adat masyarakat tempat beliau menetap.
Hanya saja, sisi kemanusiaan Rasulullah SAW tersebut tidak menjatuhkan kehormatan beliau sebagai nabi dan rasul yang diutus oleh Allah. Meskipun beliau manusia biasa, Rasulullah SAW adalah teladan bagi umat manusia, terlebih dalam bab keluhuran akhlak, kemuliaan moral, bahkan gaya hidup. Yang paling penting, beliau adalah seseorang yang diutus oleh Allah untuk umat manusia. Ya, Allah mengutus manusia untuk umat manusia. Allah tidak mengutus malaikat atau iblis untuk memperbaiki dan memberikan hidayah kepada manusia. Namun, meski Rasulullah SAW adalah manusia pilihan, beliau juga pernah keliru dalam berpendapat mengenai suatu persoalan yang bersifat duniawi.
Penyerbukan Kurma di Madinah
Dalam suatu kesempatan, Rasulullah SAW pernah keliru dalam berpendapat tentang suatu perkara. Ketika itu beliau mendapati masyarakat Madinah melakukan penyerbukan kurma. Penyerbukan dilakukan dengan memasukkan benih pejantan ke dalam benih betina. Dengan begitu, terjadilah penyerbukan.
Rasulullah SAW menduga bahwa jika hal itu tidak dilakukan, maka hasilnya akan lebih baik. Pendapat Rasulullah SAW itu kemudian diikuti oleh masyarakat. Mereka pun meninggalkan penyerbukan pada kurma.
Beberapa waktu berlalu, hingga tibalah saat pemetikan kurma. Ternyata, hasil panen kurma justru berkurang. Mengetahui hal itu, bisa dikatakan bahwa pendapat Rasulullah SAW untuk meninggalkan kegiatan penyerbukan merupakan penyebab berkurangnya hasil panen kurma. Peristiwa itu pun dilaporkan kepada Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW pun menyadari kekeliruan beliau. Bahwa pendapat tersebut terbukti tidak benar. Menanggapi hal tersebut, Rasulullah SAW kemudian menyatakan bahwa beliau hanya menduga. Beliau melanjutkan bahwa jika ternyata penyerbukan memberikan hasil yang lebih baik, maka hendaknya penyerbukan tetap dilakukan. Pendapat Rasulullah SAW tentang tidak dilakukan penyerbukan merupakan dugaan beliau sebagai manusia biasa. Oleh karena pendapat tersebut hanya sebatas dugaan dan bukan wahyu dari Allah, dugaan itu pun ternyata keliru. Lantas beliau bersabda:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui tentang perkara duniawi kalian.” (H.R. Muslim No.2363)
Kisah tersebut membuktikan bahwa ketika pendapat Rasulullah SAW kurang tepat, beliau juga mengoreksi diri. Hal itu membuktikan bahwa Rasulullah SAW juga manusia biasa yang pernah keliru dalam berpendapat. Dapat kita renungkan bahwa hal yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika keliru adalah mengoreksi, memperbaiki, dan meralatnya. Tentu hal tersebut merupakan kebaikan.
Kisah tersebut memberikan hikmah kepada kita agar bisa membedakan urusan agama dan urusan dunia. Jika urusan agama (akhirat), Rasulullah SAW tentu menjadi panutan. Namun, dalam urusan duniawi (seperti penyerbukan kurma), Rasulullah SAW tidak mutlak menguasainya sebab beliau bukan ahli dalam bidang tersebut.
Dapat juga kita petik pelajaran bahwa apa pun yang dilakukan oleh ahlinya, maka akan menjadi baik. Akan tetapi, jika tidak dilakukan oleh ahlinya, maka tunggu saja saatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
“Jika suatu perkara itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saatnya (kehancurannya).” (H.R. Bukhari No.6015)
Bagaimanapun, Rasulullah SAW adalah seorang nabi dan rasul yang memiliki akhlak luhur dan mulia. Beliau juga manusia yang pernah melakukan kekeliruan. Namun, kekeliruan tersebut pada akhirnya menjadi pelajaran dan mengandung hikmah.
Baca Juga: Rasulullah SAW, Suka Bekerja Tidak Banyak Bicara
Penulis: Uzair Assyaakir