Oleh; Wildan Habibi*

Pagi, di langger depan rumah, tiba-tiba aku kedatangan tamu. Kutahu itu Gutteh Satimin yang telah duduk di situ sejak fajar sehabis sholat subuh tadi. Tampak olehku wajah tegang kebingungan dengan bitur-butir keringat terperas di dahinya, di tangannya, di bahunya. Astaga. Tubuhnya bermandi keringat!

Masih pagi, sinar mentari muncul mengusir embun-embun untuk bergantian menunaikan tugas memberi nikmat kepada makhluk-makhluk ciptaan. Awan memudar terkontaminasi cahaya yang sudah ditunggu-tunggu tumbuhan. Ah, siapakah yang bisa menghitung nikmat Tuhan?

Di langger, cicak malam mulai bersembunyi. Mereka tahu akan kedatangan Teh Satimin yang sedang tegang. Di langger, aku menyalami tangan gutteh yang basah keringat. Tahu hangat buatan ibu, cabai merah yang menemaninya, coklat warna teh yang mengepul, semua menemani pertemuan kami.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Silahkan dimakan, Teh.

“Tidak, nanti saja. Saya ingin langsung bercerita saja, Mas! Mas tahu kenapa saya pagi-pagi sudah berkeringat begini, saya barusan datang dari Makkah. Sungguh, Mas. Saya barusan datang dari Makkah.”

“Loh, yang bener, Teh? Tadi malam kan gutteh masih ikut tahlilan. Jangan mengada-ngada, Teh.”

“Iya, Mas. Saya sungguhan dari Makkah.”

Memang, semua orang di kampungku ingin pergi ke Makkah. Tua, duda, kaya, janda, miskin, laki-laki, perempuan, semua ingin pergi ke Makkah. Entah apa sebenarnya tujuan mereka pergi kesana. Jika ditanya, jawabannya, bermacam-macam.

“Ingin melihat Ka’bah, Mas”

“Ya, kami ingin tahu seperti apa sih Ka’bah itu”

“Dari batu ya, Mas? terus diukir-ukir?”

Ya, bisa dibilang aku ini orang yang paling rajin bertanya kepada orang-orang kampungku mengapa mereka ingin ke Makkah. Aku masygul, sebenarnya apa yang membuat mereka rela meninggalkan tanah air ini. Negeri yang tanahnya sewangi melati, airnya sebening mata burung garuda lambang negeri kami. Apa yang salah dari orang-orang kampungku, apa benar semua ini karena mereka kurang pendidikan?

Dan pagi ini tiba-tiba aku didatangi seorang tetangga yang mengaku, benar-benar baru datang dari Makkah. Dan orang itu Gutteh Satimin. Orang yang selama ini dikenal baik dan jujur. Tidak pernah aku mengalami kejadian dimana Teh Satimini berbohong. Dia juga suka bersedekah. Itulah hebatnya. Meskipun dia hidupnya pas-pasan, tapi dia tetap saja bersedekah. Dan hebatnya lagi, dia juga seorang pekerja yang rajin. Apa saja dilakukannya. “Untuk menabung biar bisa pergi ke Makkah,  Mas” katanya.

“Mas Ishaq tidak percaya kalau saya tadi malam pergi ke Makkah?” Rupanya gutteh memang serius.

“Saya sih percara-percaya aja, Teh. Tapi kejadian itu kalau dipikir terlalu tidak mungkin. Masak ada orang pergi ke Makkah cuma satu malam?” kataku penasaran. Dia pun mulai bercerita.

“Sungguh, Mas. Saya ini tidak mengada-ngada, saya juga belum gila. Ini nyata. Tadi malam sehabis tahlilan saya pulang melawati bukit yang biasa menjadi tempat saya ngarek. Nah, tiba-tiba, mata saya melihat sinar datang dibalik bukit itu. Sinar itu seperti mengejek saya, Mas. Terus saya ikuti saja sinar itu. Anehnya, tanpa sadar ternyata dari awal saya melihat sinar itu, saya menginjak pasir, Mas. Pasir tanah Makkah.”

Jujur, melihat Teh Satimin hatiku miris. Mungkin ini efek dari kepercayaan orang-orang kampungku yang selalu ingin pergi ke Makkah. Mungkin saking inginnya ia pergi ke Makkah, sampai-sampai ia membayangkan hal-hal aneh seperti ini.

“Ah, sepertinya Mas tidak percaya saya. Apakah selama kenal sama Mas Ishaq, saya pernah berbohong? Gak pernah kan, Mas? Lagian tidak ada untungnya saya membohongi Mas Ishaq.”

“Iya, iya. Teruskan saja ceritanya, Teh.”

“Tapi, Mas percaya kan?”

“Iya, saya percaya Gutteh memang orang jujur. O iya, setelah Gutteh sadar bahwa telah mengingjak pasir, terus bagaimana?” tanyaku. Sementara aku diam mendengarkan, gutteh mulai bercerita kembali.

“Setelah saya sadar bahwa saya menginjak pasir, jauh dari pandangan, saya melihat sebuah bangungan melingkar yang dikelilingi bukit-bukit. Selama berjalan saya juga bertemu dengan orang-orang arab yang bersurban dan berjenggot. Tapi, di sana panas mas. Ya Tuhan!. Ketika itu saya langsung menangis. Bayankan mas, saya saja yang baru jalan sebentar langsung merasakan panas yang membakar ubun-ubun, bagaimana dengan perjuangan Nabi yang dulu hijrah dari Makkah menuju Madinah? Bagaimana Nabi memimpin perang sementara hawa di sana panasnya minta ampun? Allahumma Shalli ‘ala sayyidina Muhammad.”

“Allahumma Shalli ‘alaihi” jawabku.

Teh Satimin terus bercerita. Dari raut mukanya saya dapat menebak bahwa apa yang dibicarakannya itu memang pernah ia alami.

“Setelah saya berjalan di tengah kepungan sinar matahari padang pasir, saya sampai di kota Makkah, Mas. Saya mulai melihat orang memakai baju ihram. Karena sudah tidak sabar lagi, saya berlari. Di depan saya sudah terlihat Masjidil haram. Saya terus berlari. Berlari, berlari. Teruuuuuuuuuuss….. sampai kaki ini tak bisa lagi berdiri. Mata saya sudah tak tahan membendung ribuan titik air mata yang ingin keluar, ingin menerjang, meneriakkan nada keharuan. Saya melihat Ka’bah, Mas. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, Mas. Bukan hanya melihat di sajadah atau di lukisan rumah H. Sukiman lagi. Ya Tuhan, betapa besar nikmatmu. Saking senangnya, langsung saja saya thawaf, mencium Hajar Aswad dan menggantungkan tangan saya di Multazam.

Sesudah thawaf, secara kebetulan saya bertemu H. Shaleh. Dia langsung memeluk saya. Dia memang sudah lama bekerja di Makkah. Terus saya dibawa menuju rumahnya. ‘Biar kamu ketemu sama orang-orang kampung kita yang sudah lama bekerja di Makkah’ katanya. Ternyata benar, dia tinggal satu komplek dengan H. Salim, H. Syukur, Mak Sulaikho, dan yang paling membuatku kaget, disana juga tinggal Mbah Suliha. Dia itu bibiku, Mas, adik bapakku. Setelah beberapa tahun akhirnya aku bertemu juga dengan dia.

Mereka semua menyalamiku dengan haru. ‘Dengan menyalamimu, saya serasa mencium bau sawah dibelakang rumah saya’ kata mereka. Mereka semua menangis haru. Terutama Mbah Suliha. Dia serasa melihat wajah kakaknya ketika melihat saya. Saya juga heran, apakah saya benar-benar mirip sama bapak?

            Kemudian saya dikasih sajadah sama Mbah Suliha. ‘Ini buat shalat,’ katanya. Ini sekarang saya bawa sajadahnya.”

“Jadi sajadah yang Gutteh bawa ini pemberian Mbah Suliha?” tanyaku penasaran.

“Iya, bagus kan, Mas? Masih wangi lagi, wangi-wangi kota Makkah,” Teh Satimin meyakinkanku.

            Aku kaget bukan main. Ternyata sajadah yang dibawa gutteh itu memang masih baru, dan baunya wangi! Apakah ini benar-benar sajadah yang dibawanya dari Makkah? Rupanya saya memang harus berpikir ulang. Gutteh ini benar benar dari Makkah atau hanya sekedar berhayal?

Tetapi tiba-tiba handphone-ku berbunyi.

“Sebentar ya, Teh, ini ada yang menghubungi saya” pamitku.

“Halo, Assalamualaikum. Iya, ini saya Ishaq. Oh, Bik Siti. Iya, ini Teh Satimin suami Bibik sekarang ada di rumah saya. Kenapa? Iya. Gutteh memang bercerita bahwa dirinya baru saja datang dari Makkah. Apa? Yang bener, Bik? Tadi malam Teh Satimin masih tidur disamping Bibik?”

****

Kabar mengenai Teh Satimin terus menyebar di kampung. Orang-orang penasaran mengenai kebenaran berita itu. Diantara mereka ada yang senang,

”Ternyata orang yang tidak punya sekalipun bisa pergi ke Makkah ya? Asal berusaha, jalannya ada saja.”

“Kamu gimana sih, ‘kan Tuhan kita tidak tidur.”

“Iya, yang penting apabila sudah dipanggil oleh-Nya, bagaimanapun keaadaannya pasti sampai juga di Makkah. Tapi kalau belum dipanggil, meskipun kaya tetap saja tidak mau pergi ke Makkah.”

Dan tentunya tidak sedikit pula yang mengumbar desas-desus bahwa Teh Satimin itu sudah gila. Desas-desus, kabar-mengabar, berita, gosip, selalu terdengar di setiap sudut kampungku. Di pelataran masjid, di petak-petak sawah dan di gorong-gorong belakang warung rujak cingur Bik Satiyah. Semua mempertanyakan, semua bingung. “Apakah orang miskin seperti Teh Satimin juga bisa pergi ke Makkah?”

Jogajkarta, 4 Juni 2013

Untuk orang-orang kampungku yang selalu ingin melihat kakbah.

 

Gutteh/teh          :    Sebutan untuk orang laki-laki yang sudah agak tua. (Indonesia: Paman,  Om)

Langger             :    Semacam surau untuk sholat yang biasa dimilki setiap rumah orang        Madura.

 

*Wildan Habibi adalah alumni SMP A. Wahid Hasyim Tebuireng dan SMA N 2 Yogyakarta . Sekarang masih nyantri di PP. as-Salafiyyah Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman