KH. Habib Ahmad ketika mengajar di Masjid Tebuireng. (Foto: Farid Mubarok).

Etika Guru tak hanya ditampakkan dalam keseharian saja, tetapi juga harus ditunjukkan ketika ia sedang mengajar. Wibawa dan akhlak yang baik akan memberikan dampak positif kepada para murid atau santri yang diajar. Setelah sebelumnya kami mengulas tentang 10 Nasihat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada para guru dalam mengajar kami akan lanjutkan bagian selanjutnya. Berikut adalah ulasannya:

Ketika Tak Bisa Jawab, Harus Mengatakan “Tidak tahu”

Jika guru ditanya perihal sesuatu yang dia tidak tahu jawabannya, maka katakan saja “tidak tahu” atau “tidak mengerti”, sebab dalam hal ini perkataan “tidak tahu” merupakan ciri orang yang berilmu. Sebagian ulama berkata, “Perkataan tidak mengerti sebagian dari ilmu.” Ibnu Abbas berkata, “Jika seorang alim salah mengucapkan ‘saya tidak tahu’, maka perkataannya itu sudah benar.” Muhammad bin al Hakam berkata, “Saya pernah bertanya pada as-Syafi`i tentang nikah mut`ah, apakah di dalamnya juga terdapat talak atau warisan atau ada kewajiban nafkah atau ada persaksian? maka beliau menjawab, “demi Allah aku tidak tahu.”

Ketahuilah bahwa perkataan seseorang “saya tidak mengerti” tidak meruntuhkan derajat keilmuannya seperti prasangka orang-orang yang bodoh. Justru hal itu malah mengangkat derajat kelimuan seseorang karena menunjukkan bahwa seseorang tersebut memiliki pengetahuan yang luas, agama yang kuat, ketakwaan pada Tuhannya yang tinggi, hati yang bersih, dan kehati-hatian yang positif dalam memastikan sesuatu.

Bisa Mengukur Kemampuan Bagian dari Menjaga Nama Baik

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kisah-kisah ulama terdahulu dapat dijadikan tauladan akan hal itu. Mereka yang enggan mengatakan “saya tidak mengerti” hanyalah orang-orang yang agamanya lemah dan ilmunya dangkal, sebab mereka takut harga diri mereka jatuh di depan para hadirin. Hal ini adalah tanda kebodohan dan tipisnya agama. Padalahal kalau kesalahan mereka sampai diketahui banyak orang, justru hal itu malah membuat mereka terjerembab ke dalam sesuatu harusnya dihindari dan membuat nama baik mereka di mata publik tidak sesuai dengan yang mereka inginkan. Allah ta`ala telah mendidik ulama dengan kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. tatkala Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah semata ketika beliau ditanya, “Apakah ada orang lain yang lebih berilmu dibanding dirimu?”.

Guru Harus Bersikap Santun Pada Murid Baru

Hendaknya guru bersikap santun dan ramah pada orang baru yang ikut pengajiannya, supaya orang itu merasa tentram. Sebab setiap orang baru pasti merasa kurang nyaman. Jangan terlalu banyak memperhatikannya karena itu bisa membuatnya malu. Apabila datang orang yang memiliki kedudukan tinggi sementara guru baru memulai menerangkan suatu masalah, maka hendaknya dia menghentikan aktivitasnya sejenak sampai orang tersebut duduk. Tetapi jika kedatangan orang itu pada waktu guru sudah separoh jalan dalam menerangkan suatu masalah, maka guru sebaiknya mengulangi penjelasannya dari awal  atau bagian yang menjadi poin-poinnya saja. Bila kedatangan orang itu saat pengajian tinggal menunggu ditutup oleh guru dan diperkirakan bebarengan dengan bubarnya hadirin, maka guru hendaknya menunda menutup majlis supaya orang itu tidak malu dikarenakan hadirin mau bubar padahal dia sendiri baru tiba.

Mengatur Jadwal Mengajar dengan Baik

Guru hendaknya mempertimbangkan kepentingan jama`ah dalam hal memajukan atau memundurkan waktu pengajian, selama guru tidak merasa tambah diribetkan dan direpotkan.

Menakhiri Pelajaran dengan “Allah Maha Tahu”

Dan setiap selesai pelajaran, guru hendaknya mengatakan Wallau a’lam atau “Allah Maha Tahu”, setelah mengatakan sebelum itu perkataan yang mengindikasikan penutupan pelajaran seperti perkataan “Pelajaran telah berakhir dan pelajaran selanjutnya pada pertemuan berikut insyallah” dan perkataan lain yang senada, supaya perkataan “Allah Maha Tahu” murni dzikir kepada Allah ta`ala dan pesan maknanya lebih tersampaikan.

Memulai Pelajaran dengan Basmalah

Telah disebutkan bahwa guru seyogyanya memulai setiap pelajaran dengan bacaan basmalah, sehingga awal dan akhir pelajaran diisi dengan dzikir kepada Allah.

Usai Mengajar, Sebaiknya Guru Tidak Beranjak Dulu dari Majlis

Guru hendaknya tidak segera beranjak dari majlis setelah para hadirin berdiri mau pergi. Sebab dalam hal ini terkandung beberapa faedah dan adab, seperti tidak berdesakan dengan para hadirin, bila ada seorang murid memiliki pertanyaan tersisa maka dia bisa mengajukannya, menghindari naik kendaraan bersama-sama dengan hadirin jika kebetulan guru naik kendaraan, dan lain sebagainya.

Bila Akan Pergi dari Majlis, Hendaknya Membaca Kaffaratul Majlis

Bila guru mau pergi dari majilis, hendaknya berdoa dengan doa yang telah tercantum dalam hadis, yang disebut dengan doa kaffartul majlis, yaitu:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ أَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَ اَتُوْبُ اِلَيْكَ.

Artinya, “Maha suci Engkau, ya Allah dan aku memuji-Mu. Tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertaubat pula kepada-MU.”

Punya Kualifikasi Mengajar

Seseorang tidak diperkenankan mengajar, jika dia tidak memiliki kualifikasi sebagai pengajar. Tidak menyebutkan satu materi yang tidak dia kuasai, sebab sedemikian itu merupakan tindakan yang mempermainkan agama dan melecehkan orang lain. Rasulullah saw bersabda, “Seseorang yang mengenyangkan diri dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya, maka seakan-akan dia mengenakan pakaian kepalsuan dan kebohongan.”

Diriwayatkan dari sebagian ulama bahwa, “Barangsiapa yang terburu-buru tampil sebelum tiba saatnya, maka dia sedang menyambut datangnya kehinaan baginya.” Imam Abu Hanifah berkata, “Siapa orang mengejar kepemimpinan sebelum waktu yang tepat datang, maka dia senantiasa menanggung kehinaan seumur hidupnya.”

Guru Harus Kompeten dalam Disiplin Ilmu yang Ia Ajarkan

Kerusakan terkecil yang ditimbulkan oleh pengajar yang tidak berkompeten adalah para hadirin tidak akan menemukan jalan tengah yang adil saat mereka berbeda pendapat, sebab orang yang mengelola majlis itu pun tidak tahu mana yang benar yang patut dibela dan mana yang salah yang harus diluruskan.

Pernah diberitakan kepada Imam Abu Hanifah bahwa di masjid ada kumpulan orang yang sedang berdiskusi tentang fikih. Abu Hanifah pun bertanya, “Apakah ada yang memimpin diskusi itu?” Dijawab, “Tidak.” Abu Hanifah pun berkata, “Mereka tidak akan pernah menemukan pemahaman.”

Sebagian ulama memberi ulasan tentang pengajar yang tidak layak mengajar, “Banyak orang nekad lagi bodoh yang maju untuk mengajar; supaya dia disebut-sebut sebagai orang yang fakih dan guru; adalah hak bagi orang alim untuk meneladani; (kisah) sebuah keluarga kuno yang terkenal dimana-mana; mereka telah tergelincir dalam kesalahan yang sedemikian nyata; sehingga diibaratkan bahwa orang-orang yang bangkrut pun bahkan berani menawar harga mereka.”


*Disarikan dari kitab Adabul Alim wal Muta’allim karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari