ilustrasi: sebuah perjuangan dan penghargaan

Oleh: Devi Yuliana*

“Wisudawati selanjutnya, Farhatul Jennah binti Abdul Shomad, Yudisium Mumtaz.” ucap sang MC disambut tepuk ria dari para hadirin.

Meski jam sudah hampir menunjukkan pukul 11 siang. Namun suasana dalam gedung tersebut masih sangat bersemangat apalagi ketika yang dipanggil adalah wisudawan dengan yudisium mumtaz. Kini giliran Jenna maju ke panggung kehormatan.

“Agak sungkan rasanya ketika kita berjalan dan menjadi sorotan seisi gedung,” gumam Jenna sambil berjalan melalui wisudawan dan menuju ke panggung. 

“Selamat ya, sudah menjadi yang terbaik.” Ucap KH. Amin, Pengasuh Pondok At-Tanwir di atas panggung.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Nggih Yai, nyuwun pandunganipun.” Jawab Jenna sembari menunduk ta’dzim. Tak terasa air matanya ingin menetes dari ujung matanya, ia terharu. Tak disangka ia bisa sampai pada titik ini.

*****

5 tahun lalu…

Jenna merenung di jemuran lantai tiga sembari menikmati matahari sore. Jumat sore adalah saat diniyah diliburkan sehingga Jenna bisa berada di jemuran saat ini. Seperti biasa, ia tak sendirian, di samping kananya ada Noura yang ikut menikmati pemandangan dari atas jemuran pondok tersebut. Yah meskipun yang mereka lihat hanya atap rumah warga karena pondok mereka berada di tengah-tengah perkampungan. Tapi setidaknya kegiatan itu membuat mereka bisa refreshing sejenak dari kegiatan pondok yang super duper padat.

“Jen, tahun depan kita kan kelas 3 Aliyah, kamu udah ada rencana mau lanjut kemana?” celetuk Noura asal menyomot pembahasan. Matanya masih memandang ke tiap atap warga yang ada di depan sembari memperhatikan santri yang berjalan-jalan di jalanan setapak depan pondok.

“Hmmmm, pengennnya sih ke Lirboyo, pengen mendalami kitab lagi, kamu sendiri mau lanjut kemana, Ra?” jawab Jenna sambil memandang ke arah Noura.

“Keknya aku mau kuliah di UIN deh, ambil jurusan Sastra Inggris” kata Noura.

“Wah keren dong, aku sebenernya juga pengen kuliah juga di UIN, tapi kayaknya dari ibu ataupun bapak ga mendukungku deh,” jawab Jenna dengan raut muka agak sedih.

“Gimana kalau kita konsultasikan ke Yai Idris kapan-kapan?” ungkap Noura.

“Boleh-boleh, kayaknya emang waktunya kita mendapat petuah dari beliau,” jawab Jenna.

Kiai Idris merupakan pengasuh pondok pesantren dimana Jenna dan Noura menimba ilmu. Beliau dikenal sebagai sosok yang alim dan wirai sehingga sering dijadikan rujukan tatkala para santri mengalami kesulitan dalam memutuskan suatu hal. Beliau juga lah yang menjadi motivasi Jenna ingin melanjutkan ke pesantren Lirboyo, karena beliau merupakan salah satu dari alumni pondok tersebut.

Beberapa hari kemudian, tatkala jam sudah menunjukkan waktu istirahat dan para santri mulai berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Jenna dan Noura pun mendekat ke tempat Yai Idris yang saat itu masih murojaah. Beliau terlihat sedang fokus membaca kitab hingga akhirnya Yai idris pun menyadari kehadiran Jenna dann Noura yang ada di samping beliau.

Ono opo nduk?” tanya Yai Idris sembaari menutup kitabnya dan mengalihkan pandangannya ke Jenna dan Noura.

Niku Yai, bade nyuwun saran, menawi kulo kepingin mondok teng Lirboyo, persiapanipun nopo mawon?” (Mau minta saran Yai, kalau saya ingin mondok di Pesantren Lirboyo, persiapan apa saja yang harus disiapkan?) tanya Jenna dengan ta’dzim dan masih menundukkan pandangannya.

“Ohhh Lirboyo yo. Lha kenapa kok pingin ke Lirboyo bukan ke pondok lain?” tanya Yai Idris.

“Soalnya saya ingin memperdalam kitab lagi Yai” jawab Jenna. Yai Idris terdiam sejenak setelah mendengarkan alasan Jenna.

“Kalau kamu masuk Lirboyo setelah Aliyah, kamu ndak mesti dapat kelas Aliyah juga nduk di sana, di sana masuknya pakai tes, setidaknya dengan kemampuanmu sekarang kamu mungkin masuk kelas ibtida’ dan itu butuh waktu bertahun-tahun lagi untuk mondok di sana,” ucap Yai Idris.

Semangat Jenna untuk menjadi santri salaf dan mendalami kitab pun perlahan luntur, ia sendiri sebenarnya juga tahu akan resiko itu apabila ia memilih untuk melanjutkan mondok ke Lirboyo. Karena meski dia sudah kelas 2 Aliyah di pondok ini, pelajaran kitab yang ia peroleh belum begitu dalam sehingga ketika disandingkan dengan Pondok Lirboyo ia hanya bisa maasuk ke kelas ibtida.

“Atau gini wes…” ucap Yai Idris melanjutkan, “aku ijazahkan kamu sebuaah doa, sering-seringlah baca doa ini setiap setiap selesai sholat الَّلهُمَّ أَنْزِلْنٍيْ مُنْزَلًا مُبَارَكًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْمُنْزِلِيْنَ  Insya Allah nanti kamu bakal ketemu tempatmu dimana” Ucap Yai Idris.

“Nggih qobilna yai,” ucap Jenna dan Noura secara bersamaan. Mereka pun pamit undur diri dan berjalan menuju kamar mereka. Sehabis jamaah ashar, ketika santri lain mulai berhamburan keluar masjid, Jenna masih terduduk di tempatnya, ia mulai membaca doa yang ia peroleh dari Yai Idris siang tadi denga khusyuk.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tibalah tahun terakhir Jenna berada di pondok tersebut. Kini ia merupakan santriwati kelas 3 Aliyah. Sama seperti yang dilakukan santriwati kelas akhir lainnya, Jenna dan kawan-kawannya termasuk Noura pun mulai mencari-cari informasi perihal jenjang pedidikan lanjutan yang akan diambil.

Namun tak sedikit kawan Jenna yang tidak melanjutkan pendidikannya karena harus membantu orang tuanya di rumah. Jenna pun masih rutin membaca doa yang diberikan Yai Idris tahun lalu. Namun hingga saat ini pula hatinya masih condong ke Pondok Lirboyo, meski ketika ia membicarakan keinginannya ke Lirboyo orang tua Jenna sebenarnya masih merasa sedikit keberatan.

“Kok harus jauh-jauh ke Lirboyo sih nduk?” ucap ibu Jenna dalam telpon setelah mendengar keinginan Jenna yang ingin lanjut ke Lirboyo.

“Lha kan bapak berasal dari Kediri bu, jadi kalau bapak sama ibu mau ke rumah mbah bisa sekalian nyambangi Jenna kan,” rayu Jenna dengan nada sedikit memelas.

“Tetep aja nduk, ibu sama bapak ga tega kalau kamu lanjut di sana. Nanti gimana kalau kamu tiba-tiba sakit dan ngerengek minta pulang, apa kamu dulu ga inget pas awal-awal mondok selalu nangis sampe kelas 2 semester 2,” ucap ibu Jenna sambil menahan tawa.

“Nggih mboten to, kan Jenna udah gede, udah bisa jaga diri sendiri, udah tau keadaan di pondok. Ibu mah yang diinget masa pahitnya aja, buktinya Jenna sekarang udah 6 tahun mondok di sini,” ucap Jenna membela diri.

“Jen waktu telponnya udah mau habis,” ucap salah satu pengurus penunggu telpon.

“Ohh nggih mbak sebentar,” sahut Jenna.

“Nggih pun bu, waktu telponnya sudah habis, Jenna mau lanjut kegiatan yang lain, Ibu dan Bapak jaga kesehatan nggih.” Pamit Jenna.

“Iya nduk, kamu juga dijaga kesehatannya di sana, semoga kamu nemu apa yang kamu cari, wes yo, Assalamualaikum…” Ucap ibu Jenna.

“Walaikum…” belum selesai Jenna mengucap salam.

“Tet tet..” Ibu Jenna sudah mematikan telponnya.

“Astaghfirulah ibu…” ucap Jenna sambil menepuk jidatnya. Ia pun segera mengembalikan hp tersebut ke pengurus.

*****

Waktu terus berlanjut, kawan-kawan Jenna termasuk Noura pun sudah mulai mendaftar untuk jenjang selanjutnya. Jenna pun menemani Noura yang sedang mencari informasi beasiswa dari kampusnya melalui laptop.

Mereka berdua sedang duduk di teras ndalem karena hanya di sanalah para santri diperbolehkan memakai laptop dan kebetulan juga para santri juga difasilitasi wifi. Akan tetapi tentu yang perlu digarisbahwahi adalah laptop dan wifi ini hanya boleh digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Para santriwati tetap dilarang keras untuk membuka media sosial ataupun hal-hal mudharat lainnya.

“Jen..kenapa kamu ga mencoba cari informasi beasiswa sekalian aja, baraangkali ada yang bikin kamu minat?” celetuk Noura.

“Ya gimana mau nyari informasi beasiswa Nur, aku ajaa lho belum nemu mau lanjut dimana, kamu ini aneh-aneh aja.” Jawab Jenna agak ketus.

“Ya coba aja, barangkali dapat hidayah” jawab Noura. Jenna pun mulai membuka laptopnya dan mencari-cari informasi seputar beasiswa. Matanya tiba-tiba tertuju pada nama sebuah lembaga di salah satu website info beasiswa. Ia pun segera menepuk Noura

“Eh Nur, mahad aly itu sekolah model gimana ya” tanya Jenna.

“Mahad Aly? Ga pernah denger aku” jawab Noura, ia pun segera melihat ke arah laptop Jenna. “coba aja kamu cari informasi di website officialnya,” kata Noura.

Jenna pun segera mencari informasi perihal mahad aly tersebut. Hingga akhirnya ia merasakan perasaan senang karena akhirnya ia menemukan apa yang selama ini ia cari.

“Nur, aku nitip laptop dulu ya, mau telpon ibuk, mumpung antrian telpon sepi,” ucap Jenna yang bergegas pergi berlari ke aarah pondok.

”Lho Jen trus gimana ini aku bawanya nanti,” sahut Noura yang samar-samar terdengar di telinga Jenna.

*****

Setelah 4 tahun berlalu. Kini Jenna sadar bahwa semua yang ia cari ada di Mahad Aly at-Tanwir. Mulai dari pembelajaran yang masih memakai kitab kuning dan bahasa pengantar yang memakai bahasa arab.

Bahkan ketika dalam masa pengabdian pun Jenna masih mendapat kejutan lain dimana pondok yang ia tempati untuk mengabdi ternyata menjadikannya sebagai guru al-Quran, guru diniyah, dan guru program bahasa. Sehingga ilmu-ilmu yang ia peroleh dulu semasa mondok di pondok Kiai Idris hampir semua ia ajarkan dan bagikan di sini.

Alhamdulillah ya Allah, ternyata Engkau memberi apa yang aku butuhkan, bukan apa yang aku inginkan, mungkin keinginanku untuk lanjut di Pondok Lirboyo tidak tercapai, namun Engkau beri aku ganti yang jauh lebih baik di sini,” guman Naura di sela-sela waktu istirahat mengajarnya.

*Mahasantri Tebuireng.