sumber ilustrasi: www.google.com

Oleh: Enda Sartika Sari*

“Nda, kamu kan wanita, sedangkan Al-Quran menyebutkan bahwa wanita itu dijadikan terasa indah bagi manusia sebagai bagian dari perhiasan dunia?” bagaimana pendapatmu sebagai wanita?”

Pertanyaan itu dilontarkan oleh temanku saat aku masih duduk di kursi kelas 2 MA. Saat itu, aku tak pikir panjang. Sebagai wanita kita perlu instropeksi diri dan berusaha menjadi wanita yang baik. Itu saja yang ada dalam benakku.

Pertanyaan yang setipe pun dilontarkan oleh temanku juga saat menjadi mahasiswi semester 2, “Kenapa ya wanita itu pasti dapat stereotip dari masyarakat harus bisa pekerjaan rumah tangga? terus pasti dibilang sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya ya di dapur,” lantas hal ini menjadi topik yang menarik untuk direnungkan kembali terlebih lagi aku sebagai wanita.

Pikirku, jawaban dari pertanyaan saat aku menjadi mahasiswi, tergambarkan dari kisah BJ Habibie dan Bu Ainun. Dengan pendidikan tinggi yang mereka raih, keduanya memiliki cita-cita luhur  untuk menjadi individu yang bermanfaat bagi negara.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Siapa yang maju? Salah satu dari kita harus ada yang maju dan ada yang di belakang, Tut Wuri Handayani. Kita tak mungkin maju bersama,” ungkap Pak Habibie, di dalam interviewnya yang terakhir mengenai film Habibie dan Ainun 3.

“Saya tahu kamu wanita, silakan tentukan siapa yang maju. Kalau kamu (Bu Ainun) yang maju maka saya jadi bapak rumah tangga.  Saya akan jaga rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah selain itu saya juga akan mendalami ilmu pengetahuan bidang pesawat terbang tapi kamu yang nonjol.”

Lalu, apa jawaban Bu Ainun? Bu Ainun  yang berpendidikan tinggi dengan segala prestasi yang diraih memilih berperan di belakang, di balik layar. Alasannya karena beliau memahami kodratnya sebagai wanita, Bu Ainun menjawab bahwa beliau dititipi oleh Allah SWT keturunan dari BJ Habibie, di mana dia yang akan mengandung selama 9 bulan dan tidak mungkin bapak BJ Habibie menggantikan Bu Ainun untuk mengandung. Memang latar belakang pendidikan tinggi yang disandang wanita tidak menjamin bahwa kelak dia akan menjadi seorang yang menonjol di masyarakat. Tetapi, wanita sebagai Ibu dapat melahirkan tokoh-tokoh penting dalam masyarakat atau menjadi sebab dibalik kesuksesan seorang suami yang didampinginya.

Banyak tokoh-tokoh besar yang dilahirkan oleh sosok ibu yang luar biasa. Sebut saja Gus Dur. Gus Dur yang memiliki peran vital dalam perkembangan sejarah Indonesia tidak terlepas dari sosok dibalik layar yakni ibunya, Bu Nyai Solichah. Sejak kecil, Bu Nyai Solichah yang merupakan putri dari pendiri pondok pesantren mambaul Ma`arif (Denanyar) Jombang memiliki kecerdasan yang lebih unggul dari saudaranya yang lain. Beliau aktif di berbagai organisasi salah satunya di muslimat NU.

Ada suatu kisah heroik yang menunjukkan batapa teguhnya beliau sebagai seorang wanita. Kala itu suaminya, KH. Abdul Wahid Hasyim, menteri agama pertama meninggal dalam di usia yang relatif muda, 38 tahun. Bu Nyai Solichah yang masih mengandung anak ke-6, menolak tawaran keluarga untuk tetap tinggal di Tebuireng. Beliau justru memilih menetap di Jakarta dengan saudara yang tidak banyak di sana. Dengan 6 orang anak, beliau menghidupi keluarga secara mandiri.

Gus Sholah menulis dalam bukunya yang berjudul “Ibuku, Inspirasiku”  juga mengungkapkan bahwa memang Bu Nyai Solichah tidak memilki banyak waktu bersama karena kesibukan beliau mengurusi organisasi. Tetapi setiap apa yang diminta oleh anak-anaknya berusaha dipenuhi sebagai bentuk kasih sayang sehingga anak-anak tetap merasa diberi perhatian yang cukup dari orang tuanya.

Bahkan dalam cara berkomunikasi, Bu Nyai Solichah memilik cara tersendiri dibandingkan keluarga pesantren yang lain. Umumnya dalam budaya pesanten komunikasi yang dilakukan oleh orang yang lebih tua ke seperti kiai ke santrinya memiliki pola vertikal sehingga informasi yang disampaikan di dominasi oleh pihak yang atas. Tetapi Bu Nyai Solichah mengajarkan kepada anak-anaknya dengan pola komunikasi vertikal sehingga kedekatan dan keluasan berpikir anak bisa dibangun lebih baik.

Dari kisah tersebut bu nyai Solichah yang memiliki kecerdasan tinggi dan pola asuh yang tidak asal-asalan. Tentu dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang luar biasa dalam mendidik dan hal itu sukar didapat apabila wanita sebagai ibu tidak cukup memiliki keunggulan intelegensi yang matang.

Ternyata, dibalik 2 orang presiden Indonesia yang mempunyai kecakapan dalam memimpin negara ada sosok wanita yang luar biasa. Hal ini mengingatkan aku pada sebuah ungkapan yang berbunyi:

الْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ

“Wanita adalah tiang Negara, apabila wanita itu baik maka akan baiklah nega­ra, dan apabila wanita itu rusak, maka akan rusak pula negara.”

Coba kita renungkan, apakah akan lahir sosok seperti Gus Dur dari wanita yang memiliki pola asuh yang kurang baik? sedangkan pola asuh tersebut merupakan buah kematangan karakter dan tingkat intelektual dari seorang ibu yang mengasuh anaknya. Apakah akan muncul sosok seperti BJ. Habibie dari seorang istri yang tidak mendukung suami untuk maju bahkan mengorbankan waktu bersama keluarga untuk mengurusi negara? Sedangkan dalam keluarga, seorang suami wajib menafkahi istrinya secara lahir maupun batin. Bagaimana dia akan menafkahi atau mengemban amanat terhadap orang lain jika nafkah istrinya belum tercukupi? Tentulah akan terjadi peran sosial yang tidak seimbang. Jika peran sosial di lingkup keluarga saja tidak seimbang, maka peran sosial dalam lingkup negara tidak akan seimbang pula.

Hal ini harusnya meningkatkan kesadaran wanita akan pentingnya intelektualitas dan memahami perannya sebagai istri maupun ibu kelak. Intelektualitas saja tidak cukup apabila dia tidak memahami bagaimana intelektualitasnya kelak akan sangat berguna dalam menajalankan perannya sebagai istri maupun ibu dan sebaliknya pemahaman peran saja tidak akan berpengaruh tanpa adanya intelektualitas yang dibutuhkan dalam mendampingi suami, mengurus rumah tangga dan mendidik anaknya kelak.

*Alumni Santri Pondok Putri Tebuireng.