Sumber gambar: www.youtube.com

Saya mau menikah, ayah dan kakek saya sudah meninggal. Tersisa adik dari ayah saya (paman). Namun hubungan dengan paman tidak baik setelah ayah meninggal, beliau membuka dendamnya selama ini dengan mengungkit kekurangan ayah saya dan mencela ibu saya dengan kata yang sangat tidak pantas. Waktu saya beritahu akan menikah, beliau mau menjadi wali namun sebenarnya saya berat hati. Rasanya tidak tega melihat ibu saya yang sudah dihina, dan beliau juga tidak mau minta maaf atas perbuatannya itu dan masih saja menghina ibu saya. Yang mau saya tanyakan, apa boleh untuk wali nikah saya digantikan oleh wali hakim saja? Terima kasih.

Hamba Allah, Jakarta

Agama Islam mengatur segala aktivitas seorang muslim, salah satunya adalah pernikahan. Pernikahan merupakan sunah Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam yang memiliki beberapa rukun dan syarat sah yang harus dipenuhi, seperti wali nikah. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Musa yang terdapat dalam kitab Sunan Abi Daud.

” عَنْ أَبِي مُوسَى ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

“Dari Abi Musa bahwasannya Nabi shallallahu ‘alahi wassalam bersabda, “Nikah tanpa Wali tidak sah.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam redaksi hadis yang dinilai shahih di atas bahwa dalam hukum pernikahan harus terdapat wali bagi mempelai wanita dan tidak dapat menikah dengan sendirinya. Imam Ibnu Qosim dalam kitab Fathul Qarib, yang berhak menjadi wali secara urutan ialah ayah, lalu kakek dari pihak ayah, ayahnya kakek dan seterusnya, saudara laki-laki seayah dan seibu (kandung), saudara laki-laki seayah, keponakan lelaki dari saudara laki-laki kandung, keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seterusnya, paman (saudara dari ayah kandung, paman seayah (saudara dari ayah seayah lain ibu), anak laki-laki paman kandung, anak laki-laki paman seayah. Berdasarkan urutan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ayah adalah orang yang lebih berhak menjadi wali bagi anak perempuannya dan apabila ayah tidak ada maka dapat diganti sesuai urutan tersebut. Namun, jika pihak yang lebih berhak sesuai urutan itu masih ada, maka anggota yang lain tidak boleh menjadi wali.

Imam Abu Suja dalam matan Taqrib menjelaskan tentang syarat-sayarat perwalian dalam nikah yaitu harus beragama Islam, baligh, berakal sehat, bebas/merdeka (bukan seorang budak), laki-laki, dan adil (bukan seorang yang fasik). Lalu, apakah boleh bagi wanita wali nikahnya digantikan oleh wali hakim sebagaimana deskripsi di atas?

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa wali nikah yang utama adalah orang yang terdapat dalam urutan-urutan tersebut. Dan perlu diketahui bahwa menjadi wali nikah harus sesuai urutan tidak boleh wali yang jauh menikahkan sedangkan wali yang lebih dekat secara urutan perwalian itu masih ada. Keterangan tersebut berdasarkan penjelasan kitab al Mughni Ibnu Qadamah Juz 7 halaman 78 sebagai berikut:

إذا زوجها الولي الأبعد، مع حضور الولي الأقرب، فأجابته إلى تزويجها من غير إذنه، لم يصح. وبهذا قال الشافعي وقال مالك: يصح

“Jika wali yang jauh menikahkan seorang perempuan sedangkan wali yang lebih dekat hadir (ada), dan perempuan tersebut  menerima untuk dinikahkan tanpa adanya izin dari wali yang terdekat maka nikahnya tidak sah. Dan inilah yang dikatakan oleh Imam Syafi’i. Akan tetapi menurut Imam Malik hukumnya sah.”

Namun, apabila wali yang berhak tidak ada atau tidak memenuhi persyaratan perwalian maka perwalian pernikahan bisa digantikan oleh wali hakim. Lalu, apakah boleh wali hakim menikahkan perempuan tersebut sedangkan wali yang berhak masih ada?

Wali hakim tersebut boleh menikahkannya sesuai dengan pendapat ulama dalam kitab Al-Fiqh ‘alal Madzhibil al-Arba’ah juz 4 halaman 19, yang berbunyi:

والحاكم يزوجها بإذنها ورضاها بعد أن يثبت عنده خلوها من الموانع وأن لا ولي لها أو لها ولي منعها من الزواج أو غاب عنها غيبة بعيد

“Seorang hakim boleh menikahkan wanita atas izin dan restu wanita itu setelah jelas tidak ada penghalang pernikahan, dan tidak ada wali, atau ada wali tapi menolak untuk menikahkan atau lokasi wali berjauhan.”

Begitu juga dijelaskan dalam kitab as Syarh Kabir yang artinya “kami tidak mengetahui khilaf di antara ahli ilmu tentang bahwa sulthan mempunyai wilayah (hak menjadi wali) untuk menikahkan seorang wanita ketika tidak ada walinya, atau ketika mereka enggan menikahkannya. Dan dengan itu Imam Malik, Imam Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Ashhab al-Ra’yi berpendapat berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wassalam: “maka Sulthan adalah wali bagi wanita yang tidak ada walinya”.  Sulthan dalam hal ini yaitu penguasa tertinggi negara, hakim atau orang yang mereka berdua diberi mandat menagani urusan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan wali hakim boleh menjadi wali mempelai wanita jika walinya tidak ada, atau walinya ada tapi tidak mau menjadi walinya atau walinya berada jauh (jarak bolehnya qashar shalat sekitar 83 km). ketika dalam keadaan seperti itu, maka wali hakim boleh menjadi wali bagi mempelai wanita. Sebagai solusinya jika tidak menginginkan sang paman menjadi wali dengan alasan tersebut, maka dapat meminta kepada paman untuk mewakilkan perwalian ke orang yang ia kehendaki karena ia yang berhak menjadi wali atau mewakilkan kepada orang lain.

Kesimpulannya wali hakim tidak dapat menikahkan mempelai wanita apabila wali yang lebih terdekat masih ada dan memunuhi persayaratan perwalian. Akan tetapi, jika walinya tidak ada, atau walinya ada tapi tidak mau menjadi walinya atau juga walinya ada tapi berada jauh dari mempelai wanita, maka boleh menggunakan wali hakim sebagai wali bagi sang mempelai wanita. Wallahu ‘alam bisshowab.


Dijawab oleh Miftah Al-Kautsar, Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.