Pimpinan Pesantren Tebuireng dan jajaran dosen Mahad Aly Hasyim Asy’ari foto bersama Syaikh Muhammad Al-Dhzawini usai acara di aula lt.3 Yusuf Hasyim Tebuireng.

Tebuireng.online– Wakil Universitas Al-Azhar Syaikh Muhammad Al-Dhzawini mengisi kuliah umum di Pesantren Tebuireng, Rabu (8/2). Tokoh besar Al-Azhar ini berbicara tentang wasathiyah di hadapan puluhan mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari. Agenda ini juga dihadiri oleh Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Hakim Mahfudz, Prof. Masykuri Abdillah, dan beberapa masyayikh Tebuireng lainnya. 

Sebelum memulai perkuliahan beliau mengucap terima kasih kepada para masyayikh pendiri Tebuireng, “saya memulainya dengan berterima kasih kepada pendiri Pesantren Tebuireng, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid. Semoga Allah memberi ampunan dan anugerah kepada mereka, membaguskan tempat di sisinya, mengangkat derajatnya, dan menempatkannya di surga Allah. Semoga Allah menjadikan pesantren ini, kontribusinya, alumni, dan santrinya sebagai amal jariyah bagi mereka sampai hari kiamat.” 

Setelah itu beliau memberikan gambaran fakta yang ada pada saat ini, yakni banyak terjadinya kekerasan, penyimpangan, pelanggaran. Baik penyimpangan itu pada pemahaman Islam, maupun pergerakan. Untuk berbicara mengenai wasathiyah kita harus memahami Al-Qur’an dan Hadis dengan baik. Sehingga wasathiyyah dipahami sebagai metode berpikir sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah, bukan berarti dianggap sebagai hal yang berlebihan dalam agama dan tidak menyalahi Rasulullah saw. Agar jauh dari pemikiran peradaban Barat, atau pemikiran yang lain.  

Beliau juga meyakini bahwa wasathiyah sudah sangat mengakar di kehidupan Indonesia, “saya yakin betul bahwa metode berpikir—khususnya—NU itu adalah wasathiyah. Yang memahami Al-Qur’an dan Hadis selaras dengan baik, tanpa adanya pemahaman ekstrim maupun liberal. Secara umum wasathiyah merupakan pemikiran yang selalu memandang kemanusiaan dan kehidupan. Sehingga kita bukan golongan muta’ashibin (ekstrim) atau mutafarthin (liberal), akan tetapi kita merupakan golongan muttabi’in (pengikut) Nabi Muhammad saw.”

Mahasantri dan santri mengikuti acara kuliah umum di gedung Yusuf Hasyim Tebuireng. (foto: masnun)

Ada beberapa pokok yang menjadi kuliah umum tersebut, pertama secara sederhana dapat dikatakan bahwa wasathiyah adalah berdiri tegak di antara globalisasi dunia tanpa batasan dan penutupan diri tanpa kebebasan. Karena tidak mungkin menghindari keduanya, tapi bisa mengambil apa yang baik dan menghindari apa yang buruk. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kedua, berdiri tegak bersamaan dengan akal tanpa menuhankannya, serta mendahulukan nash yang shahih. Penggunaan akal dan pemahaman apa yang ada dalam nash, dengan tidak mendahulukan akal sebelum nash. Juga tidak melaksanakan nash tanpa akal. Dan inilah yang diajarkan di Al-Azhar Al-Syarif. 

Kalimat wasathiyah meski secara bahasa dipahami dengan arti tengah-tengah, namun secara istilah harus kita pahami bermakna adil, istiqamah, baik. Wasathiyah bukan berarti berada antara sisi kanan dan kiri. Wasathiyah merupakan keseimbangan, seperti ruh dan fisik. Kita (Ruh) tidak mungkin selalu beribadah dengan meninggalkan kebutuhan-kebutuhan jasmani (fisik) kita sebagai manusia biasa. Karena pada hakikatnya manusia terbuat dari ruh dan jasad, yang masing-masing punya hak dan tugasnya. Dan kita tidak mungkin bisa condong kepada salah satu dengan meninggalkan satunya lagi.

Ketiga, bahwa wasathiyah merupakan berjalan di atas kenyataan (waqi’iyyah) dan pandangan (mistaliyah). Kenyataan adalah apa yang dilihat dan dirasakan oleh indera. Sementara pandangan adalah apa yang diangankan/dianggap, seperti memandang bahwa semua orang di dunia ini punya salah. Karena manusia sebagai makhluk lalai pasti bisa saja benar atau salah. Manusia lain tidak bisa selalu dipandang salah, atau selalu benar. 

Keempat, Wasathiyah antara apa yang ditetapkan dan apa yang diubah. Syariat Islam merupakan sesuatu yang tetap yang tidak berubah, juga berasal dari sesuatu yang sudah diubah karena waktu dan zaman. Syariat kita merupakan syariat yang wasathi, oleh karena itu Allah menjadikan syariat Islam tetap dan selamanya. Sementara syariat yang dahulu—Musa, Isa—merupakan syariat yang khusus diberikan kepada umat dan keadan yang khusus juga, sehingga syariat tersebut terbatas waktu. 

Pewarta: Yuniar Indra Yahya