Sumber gambar: tasnimnews.com

Oleh: M. Rizki Syahrul Ramadhan

Pandangan Awal

Agama Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi objektifitas kebenaran, mempunyai banyak khazanah keilmuan. Di antara keilmuan tersebut terdapat tiga kategori besar yang masyhur diketahui, yaitu teologi, fikih, dan tashawuf. Namun secara praktis, ilmu fikih lebih mendominasi hari-hari umat Islam. Alasannya sederhana, karena manusia butuh hukum praktis dalam menjalani kehidupan.

Sejarah dan perkembangan ilmu fikih sangatlah panjang. Fase atau tahapan di dalamnya beraneka ragam. Salah satu pengelompokan tahapan yang bagus ditulis oleh seorang sejarawan Islam, Khudhari Bik, dalam karangannya yang berjudul Tarikh Tasyri’ Al-Islamy. Dalam karangan tersebut terlihat betapa besarnya pengaruh empat orang ulama yang kemudian dikenal sebagai ulama madzhab. Abu Hanifah, Malik bin Anas, Ibn Idris Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal, merekalah punggawa ilmu fikih dalam sejarah.

Yang menarik dari hal itu adalah keempat ulama tersebut mempunyai hubungan guru-murid satu sama lain, walaupun tidak semuanya belajar secara langsung dalam suatu bimbingan intensif. Dengan hubungan tersebut, lebih menarik lagi ketika diketahui bahwa produk hukum fikih yang dikeluarkan (baca: hasil ijtihad) oleh keempat ulama tersebut berbeda. Yang satu menghukumi A pada kasus tertentu, dan yang lain menghukumi B.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lumrah, mungkin itu jawaban yang pantas dilontarkan, bagaimana tidak lumrah, sebuah hukum pastilah mengalami perkembangan seiring berkembangnya keadaan. Selain itu, kondisi geografis para ulama juga berbeda, maka kuatlah pelumrahan atas suatu perbedaan ijtihad. Bukan berarti fleksibilitas ijtihad tidak terbatasi. Para ulama tetap berpikir bagaimana cara agar, walaupun produk hukum di antara mereka berbeda, mereka tetap mempunyai pegangan dalam berijtihad. Di sinilah peran sebuah keilmuan yang sekarang masyhur dengan nama Ushul Fiqh.

Kecenderungan Tekstual

Ushul fiqh merupakan metode yang dapat diacu oleh generasi penerus dalam berijtihad ternyata juga tidak lepas dari perbedaan. Keempat ulama madzhab di atas mempunyai metode yang tidak sama seratus persen dalam menetapkan hukum. Dari perbedaan-perbedaan tersebut, hal yang menarik adalah sebuah kecenderungan tekstualis yang semakin menguat seiring jauhnya generasi.

Generasi tua, Abu Hanifah, mempunyai metode yang cenderung longgar terhadap teks. Dikenal istilah-istilah ushul yang cukup longgar dalam madhab hanafiyah, seperti istihsan. Kelonggaran tersebut kemudian semakin sempit dalam metode generasi muda seperti Ahmad bin Hambal. Maka diketahuilah bahwa istihsan ditolak dalam ushul fiqh madzhab hambali.

Karena perkembangan fikih tidak hanya dilakukan oleh keempat ulama madzhab seperti penjelasan awal, maka kecenderungan tekstualis ini semakin menjadi-jadi seiring jauhnya jarak generasi. Tak asing lagi nama kelompok Wahabi yang mengaku Salafi. Mereka generasi yang lebih muda dari keempat ulama madzhab, dan terlihat dengan jelas betapa tekstualis mereka. Kecenderungan tekstualis sebenarnya tidak melulu buruk, hanya saja, kelompok yang terakhir ini keblabasan dalam tekstualitas mereka hingga menggemakan gerakan “Menolak bermadzhab dan kembali ke Al-Quran dan Hadis”.

“Gundulmu! Bagaimana bisa memahami Al-Quran dan Hadis jika tidak membaca karya-karya Imam Madzhab?!” itu jawaban yang sering dibalaskan kepada gerakan tadi. Memang, menggali hukum langsung dari Al-Quran dan Hadis tidak semudah membalik telapak tangan. Metodenya panjang, juga bermacam-macam. Maka, apa salahnya bermadzhab guna memperbesar kemungkinan tepatnya pemahaman atas dua teks sumber hukum tersebut?

Sebenarnya ajakan kelompok Wahabi untuk kembali ke Al-Quran dan Hadis sangatlah bagus, jika saja tidak disertai ajakan menolak madzhab. Mengingat realitas muslim telah cukup lalai mengabaikan runtutan hukum hingga sumbernya. Katakanlah seorang santri yang mencari hukum melalui bahtsul masail, jawaban yang akan diputuskan pastilah berbasis ibarot (redaksi hukum dalam karya ulama atau kitab kuning) dan seringkali tidak menyinggung Al-Quran dan Hadis sebagai dalil dasarnya. Mengapa bisa seperti itu? Hal itu tentunya berkat kekhusnudzonan para santri terhadap para muallif kitab fikih. Sudah pasti muallif kitab mendasarkan hukumnya pada Al-Quran atau Hadis, atau setidaknya dua sumber hukum yang selevel dengannya, yaitu ijma’ atau qiyas, begitu kiranya kekhusnudzonan yang dimaksud.

Memosisikan Nash

Perbedaan mengenai hukum furu’ (non-akidah) tidak akan ada habisnya untuk dibahas. Begitu pula perbedaan mengenai metode yang digunakan untuk menetapkan hukum furu’. Jalan paling aman dalam menghadapi masalah tersebut tentulah dengan tidak gegabah menyalahkan pihak lain sebelum benar-benar tuntas memahami persoalan. Khazanah keilmuan dalam agama Islam tidaklah sesempit “tempurung si katak”. Islam telah tumbuh dewasa dalam perbedaan. Maka kefanatikan buta akan mengkonyolkan diri sendiri.

Nash, sebuah dalil tekstual dari Al-Quran maupun Hadis memanglah harus selalu dijadikan rujukan hidup jika seseorang mengaku muslim. Namun, tentang pemahaman atas nash tersebut haruslah berani terbuka dengan orang lain. Membaca karya pendahulu, berdiskusi dengan sesama pengkaji, dan merenungkan kondisi realitas, kiranya ketiga hal itu yang perlu dilakukan sebelum membawa teks ke mana-mana, hingga tidak menjadi mudah mengklaim kebenaran.

Selain itu, hal yang cukup penting untuk diketahui adalah bahwa nash seringkali mempunyai pasangan kontradiktif. Tentang satu hal, tak jarang terdapat dua nash yang bertentangan. Seperti halnya dalam masalah “penyampaian kebenaran”. Benar jika seorang dai berkata bahwa Rasul menyuruh kita menyampaikan kebenaran walaupun hanya satu ayat. Namun terdapat hadis lain yang mengatakan bahwa Rasul menyuruh kita belajar dulu dengan benar sebelum berkoar-koar.

Dalam samudera perbedaan yang termuat dalam literasi keislaman tersebut, entah pendapat para ulama, teks-teks hadis, maupun cara tetangga memahami teks, tentulah akan menjadi beruntung mereka yang berkenan mengalah dan tetap tersenyum sembari yakin bahwa yang benar hanya satu, Dia, Al-Haqq. Wallahu a’lam.


Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang