Jalaluddin Rumi (604-672 H/1207-1275 M) dalam kitabnya yang tersohor, Masnawi, bercerita, “Dahulu, ada seorang muadzin bersuara jelek di sebuah negeri kafir. Ia memanggil orang untuk shalat, tetapi umat muslim lainnya justru menegur, “Janganlah kamu memanggil orang untuk shalat. Kita tinggal di negeri yang mayoritas bukan beragama Islam. Bukan tidak mungkin suaramu itu akan menyebabkan terjadinya kerusuhan dan pertengkaran antara kita dan orang-orang kafir”.
Namun muadzin tersebut menolak nasihat banyak orang. Ia merasa bahagia dengan melantunkan azannya yang tidak bagus itu di negeri orang kafir. Ia merasa mendapat kehormatan untuk memanggil shalat di satu negeri di mana orang tak pernah shalat.
Kekhawatiran itu berwujud nyata. Seorang kafir datang kepada mereka (orang muslim) suatu pagi, dengan membawa jubah, lilin, dan manisan. Berulang-ulang dia bertanya, “Katakan kepadaku di mana sang muadzin itu? Tunjukkan padaku, siapa dia, muadzin yang suara dan teriakannya selalu menambah kebahagiaan hatiku?” Seorang muslim bertanya, “Kebahagiaan apa yang engkau peroleh dari suara muazin yang jelek itu?”.
Lalu orang kafir itu bercerita, “Suara muadzin itu menembus ke gereja dan tempat kami tinggal. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik dan berakhlak mulia. Ia berkeinginan sekali untuk menikahi seorang muslim. Ia mempelajari agama dan tampaknya tertarik untuk masuk Islam. Aku tersiksa, gelisah, dan terus-menerus dilanda kerisauan memikirkan anak gadisku itu. Aku khawatir dia akan masuk Islam. Sampai suatu saat anak perempuanku mendengar suara azan. Ia bertanya, suara apakah yang terdengar jelek dan mengganggu telingaku itu? Belum pernah dalam hidupku mendengar suara sejelek itu di tempat-tempat ibadat atau gereja”.
Orang kafir melanjutkan ceritanya. Anak gadisku itu hampir tidak percaya. Dia bertanya lagi kepadaku, “Apakah benar suara yang jelek itu adalah suara untuk memanggil orang sembahyang?” Namun ketika dia sudah diyakinkan bahwa betul suara itu adalah adzan, wajahnya berubah pucat pasi. Dalam hatinya tersimpan kebencian pada Islam. “Begitu aku menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari segala kecemasan dan penderitaan,” katanya.
Singkat cerita, ketika orang kafir itu bertemu dengan si muadzin, dia berkata, “Terima kasih hadiah ini karena engkau telah menjadi pelindung dan juru selamatku. Berkat kebaikan yang telah engkau lakukan, kini aku terlepas dari kegelisahan. Sekiranya aku memiliki kekayaan dan harta benda yang banyak, akan aku isi mulutmu dengan emas”.
Hikmah parodi
Rumi mengajari kita sebuah cerita yang berisi parodi, sebuah sindiran yang sangat halus. Azan yang dikumandangkan dengan buruk bukan hanya dapat menghalangi orang untuk masuk Islam, tetapi ini juga soal metode komunikasi—atau dalam bahasa agama “metode dakwah”—yang kurang tepat. Bahwa betul apa yang disampaikan itu suatu kebenaran Ilahi, tetapi jika caranya salah, seperti orang memberikan makanan lezat kepada orang lain dengan cara melemparnya, tidak dengan yang lazim/sopan sebagaimana menjadi aturan adat atau norma agama, orang lain akan emoh menerimanya.
Jalaluddin Rakhmat (2007) menyebut model keberagamaan seperti yang ditunjukkan oleh muadzin di atas sebagai “kesalehan pulasan”, yaitu orang yang meletakkan nilai pada segi lahiriah. Seperti orang yang beradzan, ia merasa adzannya betul-betul sebagai bentuk pelaksanaan perintah agama, karena adzan itu, seperti disebutkan dalam hadis, adalah suatu kewajiban yang mulia. Dengan berpegang pada teks itu, maka orang berlomba-lomba mengumandangkan adzan, apalagi dilakukan dengan menggunakan pengeras suara bersahut-sahutan. Ini juga berlaku kepada amalan ibadah lain yang cenderung—meminjam istilah wakil presiden Jusuf Kalla—melakukan “polusi udara” pada kasus pemutaran kaset ngaji.
Apakah hal itu salah? Tentu saja tidak, tetapi mungkin perlu mempertimbangkan aspek substansi (batiniah) selain aspek lahiriah ibadah. Apakah dengan beradzan atau bahkan mengaji menggunakan pengeras suara dapat melipatgandakan pahala di sisi-Nya? Bagaimana jika dengan lantunan ayat atau adzan itu justru mengganggu masyarakat lain yang non-muslim karena bising yang ditimbulkannya? Atau jangan-jangan kita menganggap bahwa Tuhan itu jauh (padahal Dia sendiri mengatakan (Q.S al-Baqarah: 186) bahwa diri-Nya sangat dekat dengan kita, fainni qarib) dan tidak mendengar (padahal Dia adalah sami’, Maha Mendengar) sehingga perlu dipanggil lewat pengeras suara?
Gus Dur dan Gus Mus
Jadi ingat humor berikut ini. Tokoh agama Islam, Kristen, dan Budha sedang berdebat. Gus Dur mewakili dari agama Islam. Kala itu yang diperdebatkan mengenai agama manakah yang paling dekat dengan Tuhan? Seorang biksu Budha langsung menjawab, “Agama sayalah yang paling dekat dengan Tuhan, karena setiap kami beribadah ketika memanggil Tuhan kami mengucapkan ‘Om’. Nah kalian tahu sendiri, begitu dekatnya hubungan keluarga antara paman dengan ponakannya?”.
Seorang pendeta dari agama Kristen menyangkal, “Ya tidak bisa, pasti agama saya yang lebih dekat dengan Tuhan”, ujar pendeta. “Lah kok bisa?”, sahut biksu penasaran. “Kenapa tidak, agama Anda kalau memanggil Tuhan hanya Om, tetapi kalau di agama saya memanggil Tuhan itu ‘Bapa’. Nah kalian tahu sendiri, lebih dekat mana anak dengan bapaknya daripada keponakan dengan pamannya?”, jawab pendeta.
Gus Dur yang belum mengeluarkan argumen masih tetap tertawa malah terbahak-bahak setelah mendengar argumen dari pendeta. “Loh kenapa Anda kok tertawa terus?”, tanya pendeta penasaran. “Apa Anda merasa bahwa agama Anda lebih dekat dengan Tuhan?,” sahut biksu bertanya pada Gus Dur.
Gus Dur masih saja tertawa sambil mengatakan “Ndak kok, saya ndak bilang gitu, boro-boro dekat justru agama saya malah paling jauh sendiri dengan Tuhan.” Jawab Gus Dur dengan masih tertawa. “Lho kok bisa?” Tanya pendeta dan biksu makin penasaran. “Bagaimana tidak, lah wong kalau di agama saya itu kalau memanggil Tuhan saja harus memakai toa (pengeras suara),” jawab Gus Dur.
Karena itulah, tidak berlebihan, jika KH. Musthafa Bisri atau Gus Mus menulis puisi berjudul Kau ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana, yang penggalannya berbunyi, “… Aku harus bagaimana/Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara tiap saat. Kau bilang suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai”.
*Guru pesantren dan dosen tasawuf dan filsafat Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA) Yogyakarta.