Oleh: Khoshshol Fairuz*

Terik masih membakar jantung kota saat Alif menginjakkan kakinya, tubuh itu tampak tegap meski lapar mendera. Mata birunya mencari-cari sosok yang sejak dua purnama lalu menunjukkan alamat lewat surat. Gila, tahun dua ribu tujuh belas masih memakai jasa tukang pos?

“Hei, cari apa?”

“Saya mau ketemu sama temen pena,” jawab Alif. Memandang sekilas, gadis bertopi.

“Kamu nggak punya BBM?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Punya,”

“WA? FB? IG?” kali ini pertanyaan gadis bertopi semakin menjadi.

“Ada,” jawab Alif tenang.

Mungkin pemandangan ini terasa hambar jika disaksikan orang-orang yang kebetulan lewat, remaja setengah delapan belas dengan segenggam amplop cokelat yang sobek di tepiannya, mungkin isinya uang kiriman wesel atau surat? Lagi-lagi orang-orang akan mengernyitkan dahi bila mendengar kata surat. Mana mungkin jaman serba tak berkabel seperti saat ini masih ada ritual surat menyurat, menulisnya saja perlu hati-hati, jika satu kata salah hidup di atas kertas itu, maka matilah semua. Tidak ada kesempatan untuk memperbaiki, kecuali diremas atau jadi abu.

“Begini saja, Alif … tinggalkan hape berisi aplikasi itu, lalu pergilah ke sudut taman bagian utara yang menghadap matahari. Orang yang kau cari ada disana,” suara gadis bertopi tidak aneh, tapi namanya? Dari mana gadis itu tahu.

“Ada masa depan yang perlu kau tukar,” gadis bertopi melanjutkan.

Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, tanpa percakapan lagi Alif segera meletakkan gawai, juga seluruh sisi normalnya. Sejak mengenal surat dan penulisnya ia tidak bisa tidur lebih dari 2 jam selama dua setengah minggu. Alif meremas dadanya dan berharap isinya baik-baik saja.

Assalamu’alaikum Alif, ini aku

Belum lama ini aku mengenal rautmu yang bagi penghuni kepalaku tak terasa asing. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku datang melalui surat bersampul coklat ini, aku punya akun sosmed juga seperti orang kekinian. Itu tidak perlu ku jawab di sini, perlahan akan kautemukan jika hatimu memutuskan untuk mempercayaiku. Sudah dulu, bersama surat ini kubawakan sesuatu yang mungkin membantu (menemukanku).

Ingatan Alif berputar mengelilingi kejadian dua bulan lalu, sebagai ketua panitia pentas seni di SMA, Alif kehilangan kepercayaan sebagai pemimpin. Bendahara dan sekretaris acara berontak dan memutuskan membawa uang proposal. Saat itu hanya ada dua pilihan yang bisa diambil Alif, lari dari tanggung jawab atau minum racun tikus. Khusus untuk pilihan kedua Ia merasa jerih demi memikirkan kematian yang akan datang terlalu awal sebelum kakinya menginjak setapak menuju kedewasaan. Surat itu muncul, bersama segenggam uang merah sejumlah uang proposal lebih selembar. Di sudut tiap lembarnya tertulis dengan huruf kecil ‘aku yang berperan sebagai pengganti’.

Tapi kenapa taman? Tidak adakah tempat sempit dan sedikit sepi sekadar berterima kasih kepada ‘aku’ dalam surat-suratnya? Alif sampai sudut bagian utara taman, benar yang dikatakan gadis bertopi, sebuah kursi panjang yang menghadap matahari, persis seperti khayalan masa senja sepasang kakek-nenek. Di kursi telah duduk seorang pria berambut tipis, Alif melemparkan senyum satu miligramnya sebelum duduk.

“Kayaknya dia juga dikerjain orang yang berbaik hati mengirimkan uang, lalu memberikan teka-teki untuk menemui si pengirimnya. Ternyata aku korban kedua,” bisik Alif dalam hati sambil menyimpan tawa.

“Cari siapa Nak?” pria berambut tipis memulai percakapan, wajahnya seperti awan.

“Anu, pak tua, teman pena. Dia ngirim uang dan surat,” jawab Alif. Nada datar.

“Baik sekali teman penamu, Nak. Dia mau kirim uang, padahal dia tidak mengenalmu dengan baik, dan kenapa surat? Bukankah jaman sekarang sudah ada email?”

“Email, pak tua. Iya ada memang, tapi surat sering dilupakan, seperti lupanya anak dengan orang tuanya,” Pria rambut tipis yang dipanggil Alif dengan sebutan ‘pak tua’ tersenyum berkali kali.

“Kamu banyak belajar Alif,” mata Alif melotot demi mendengar kalimat pak tua. Hari itu dua orang tidak dikenal mengenal namanya.

“Bukan hanya namamu, Nak. Aku tahu semua tentangmu, bahkan nasi pecel yang dibeli bukan dari warung pojok, kamu tidak mau kan?” sela pak tua.

Belum genap rasa penasaran Alif yang membukit, mulutnya beku. Jika isi kepalanya lihai menangani organisasi OSIS dan kegiatan pentas seni, kini Ia harus menghadapi skenario yang dipentaskan oleh orang entah. Ia yakin betul pak tua yang duduk di samping kanannya itu yang mengirimkan surat beserta uang guna melanjutkan kebutuhan pentas seni yang hampir pupus.

“Apa saya mengenal bapak sebelumnya?” tanya Alif.

“Apa itu penting untuk diketahui sekarang, anak muda?” pak tua menjawab pertanyaan Alif dengan pertanyaan lain. Alif diam, pikirnya itu adalah hari dengan sejuta pengalaman aneh.

“Aku tidak melihatmu sebagai Alif, anak muda. Aku tidak melihat kesulitan yang datang menjengukmu dua bulan lalu, kemudian atas dasar iba aku memberikanmu uang. Aku juga tidak menghendaki membuatmu terjebak di dunia tulis menulis surat. Itu klise dan sangat kekanakan,” pak tua berhenti untuk mengambil napas dua-tiga hirupan sambil memandang tubuh barat, “Aku melihatmu sebagai aku, aku mendengar kesulitanmu dua bulan lalu sebagai kesulitanku dua puluh tahun lalu, alasanku mengajakmu kembali menyelami surat-surat supaya tidak lupa akar dari kehidupan orang-orang jaman ini.” Sekarang matanya yang sayu menatap lekat Alif.

“Bapak ketua panitia juga dulu?” Alif memberanikan diri bertanya.

“Ya, dan jumlah uang yang hilang lima kali lipat uang proposalmu. Bedanya aku lari dari masalah dan masuk ke masalah yang lain, dan kamu tidak,” jawab pak tua.

“Surat dan uang bapak datang seketika setelah kabar hilangnya uang proposal, bagaimana bapak tahu kalau saya tidak akan lari dari masalah itu?

“Anak muda, orang tua ini punya Whatsapp. Dan guru-gurumu pasti punya nomorku,” kata pak tua.

“Informasi guru-guru saya?”

“Bukan, dari gadis yang kau temui di pinggir jalan sana,” pak tua menjelaskan. Batuk dua kali, lalu melambaikan tangannya ke arah jalan raya.

Setengah menit kemudian datang gadis berjilbab biru langit, memakai kain gamis warna senada lebih tua. Berdiri merunduk di belakang pak tua.

“Anak saya, Bina. Bambina Natazkeeya, dia adik kelasmu. Mungkin kamu tidak mengenalnya Alif,” pak tua mengenalkan gadis ‘bertopi’ yang sudah tidak bertopi.

“Iya benar, pak,” jawab Alif yang sekarang menanggalkan sebutan ‘pak tua’.

“Abi sewaktu muda senang sekali dengan organisasi dan dunia seni. Saat kuceritakan Kak Alif dari awal hingga akhir, Abi memutuskan menitipkan surat itu untukmu. Beserta uang dengan jumlah sekian, lebih selembar. Saat penampilan pentas seni di acara perpisahan Kak Alif, Abi hadir di sana, menyelesaikan suguhan karyamu hingga tuntas kenangannya saat muda dulu,” Bambina menjelaskan, wajahnya bagai rintik hujan.

“Aku datang sebagai ketua komite di sekolah kalian, dan pakaianku mirip kiai waktu itu, memakai songkok. Saat penampilan terakhir selesai, aku berdiri melepas songkok hitamku, memberikan tepuk tangan untukmu kemudian diikuti hadirin semuanya,” kata pak tua terkekeh. Alif meraba ingatan, tetap tidak menemukan apa-apa selain saat itu Ia sibuk menyelesaikan rangkaian acara.

“Alamat di surat itu ada di seberang taman ini. Kalau kamu mau, sekali-kali mainlah, kita bahas rencana besar. Ada beberapa santri yang perlu diberi pengertian hidup, biar lebih nyeni. Mau?” tanya pak tua. Tangan Alif menggaruk kepalanya yang tidak gatal demi melihat bapak-anak yang memiliki paras sama meneduhkan. Sekarang wajah Alif tertunduk, “Inggih, pak kiai.”


*Sastrawan muda Jombang, Mahasiswa STIT UW, akif di Tebuireng Online, asal Cilacap.