sumber ilustrasi: hellosehat.com

Oleh: Dimas Setyawan*

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, terdapat sekitar 14 juta remaja usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kecemasan. Berarti setidaknya terdapat 6% dari keseluruhan warga Indonesia yang mengalami gangguan kecemasan.

Kita ketahui bersama, bahwa usia remaja merupakan masa transisi, masa dimana terjadi perubahan baik berupa fisik, emosional dan kognitif. Masa remaja juga sering disebut sebagai masa topan dan badai karena banyak gejolak yang terjadi dimasa tersebut.

Perubahan yang terjadi menimbulkan kecemasan pada diri remaja yang pertama kalinya mengalami perubahan dari aspek kehidupan. Kecemasan sendiri bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu respon yang terjadi bagi setiap individu ketika menghadapi suatu tekanan.

Kecemasan dapat timbul sebagai akibat akumulatif dari frustasi, konflik dan stres. Memang, kecemasan tidak selalu berdampak merugikan, karena pada dasarnya rasa cemas yang muncul dalam intensitas tidak berlebihan dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap diri untuk tetap mawas terhadap setiap peristiwa yang terjadi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tetapi, apabila kecemasan yang dirasakan muncul secara berlebihan, akan menjadi sebuah gangguan dan hal itu dapat berdampak merugikan.

Tentu kita harus cegah dan berhati-hati pada kebiasaan buruk ini, kebiasaan yang akan berakibat pada psikis atau mental kita. Terutama bagi kaum remaja.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai penanganan dari rasa kecemasan tersebut, saya mencoba membuka obrolan dengan seorang teman (yang tak ingin disebutkan namanya), saat ini sedang menekuni Pendidikan Psikologi di salah satu Universitas di Jakarta.

Salah satu yang menimbulkan kecemasan dalam diri seseorang adalah saat mengalami kegagalan. Menurutnya, kegagalan itu sebenarnya bisa dimaklumi, karena sudah menjadi bagian hidup yang manusiawi. Dan kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Hanya kita perlu dapat berdamai dengan diri sendiri.

Sesederhana itu, namun terkadang fase inilah yang tak sedikit membuat orang-orang termasuk kaula muda mengalami kecemasan bahkan pada tingkat ketakutan dan stres.

Pertanyaan berikutnya yang muncul saat kita menghadapi kecemasan adalah apa yang bisa kita lakukan ketika kita sudah mengalami kecemasan? Jawabannya adalah belajar untuk menerima, bahwa manusia tidak ada yang sempurna.

Kegagalan itu wajar, setiap manusia pasti akan gagal. Tanpa terkecuali bagi orang-orang yang sudah berjuang begitu hebat. Jangan salah, orang-orang yang saat ini telah menjadi figur publik atau bahkan yang sukses, mereka telah melewati banyak pahit manis perjuangan sebelumnya. Bukan lantas tiba-tiba ada di atas.

Yang perlu kita pahami bersama, salah satu produk dari kecemasan adalah kebiasaan buruk kita, yang tidak kita sadari sepenuhnya, yaitu overthinking. Overthinking merupakan salah satu produk dari kecemasan, sederhananya induknya kecemasan. Ini juga menjadi momok bagi psikis kita.

Overthinking akan membuat kita semakin terpuruk, merasa begitu buruk, bahkan mungkin akan menghukum diri dan tidak adil pada kehidupan sendiri. Inilah yang perlu diwaspadai bahkan harus kita hindari demi kesehatan mental kita.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, saat kecemasan atau overtinking itu melanda kita. Misalkan saat cemas itu datang, kita bisa menenangkan diri, tarik napas dan mengembuskan pelan-pelan.

Tentu hal yang paling penting adalah jangan lupa untuk selalu menanamkan hal-hal positif dalam pikiran kita, misalnya dengan kalimat, “Gapapa, kegagalan itu manusiawi kok. Abis ini berjuang lagi…”

Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat positif lain yang itu akan membangun semangat dan menciptakan kebahagiaan, bukan kehancuran dan keterpurukan.

Semoga kita bisa berdamai dengan diri kita dan mampu menjadi pribadi yang sehat lahir batin, termasuk mampu memanage rasa cemas.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.