pak subandiOleh: Bambang Subandi*

KH. Ishaq Lathif adalah putra seorang petani kaya di Desa Pulosari Kecamatan Prambon Kabupaten Sidoarjo. Saat pertama kali masuk Pesantren Tebuireng, Kiai Ishaq Lathif muda pernah merasa kesulitan dalam menangkap pelajaran. Ia mengadukan keadaan dirinya kepada KH A. Shobari, guru kesayangannya. Kiai Shobari memberikan saran, agar Kiai Ishaq mengikuti shalat jamaah lima waktu bersama KH. Idris Kamali selama 40 hari tanpa ada putus. Ketika Kiai Idris Kamali menjadi imam shalat jamaah, durasi waktunya agak panjang, terutama Shalat Shubuh yang ditarget bacaan satu juz al-Qur’an. Kiai Idris sendiri enggan menggunakan pengeras suara, sehingga suaranya nyaris tidak terdengar dari kejauhan. Karena itu, barisan depan menjadi favorit meski tertahan dalam waktu yang lama. Kiai Ishaq pun melaksanakan saran tersebut dengan baik. Sejak itu, Kiai Ishaq merasa tidak ada kesulitan dalam menangkap pelajaran apapun. Lebih dari itu, Kiai Ishaq menjadi salah satu murid terbaik dari KH. Idris Kamali, menantu Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

KH. Idris Kamali memiliki beberapa santri yang dibina secara khusus. Di antara santri-santri khusus Kiai Idris adalah Kiai Ishaq lathif (Sidoarjo), Kiai Syuhada’ Syarif (Lumajang), Kiai Makmun Mahbub (Tegal), Kiai Ismail (Tegal), dan Kiai Abdurahim (Pasuruan). Pengajian untuk para santri khusus ini diselenggarakan pada waktu Dluha. Metode pengajarannya adalah hafalan dan sorogan. Santri baru diperkenankan untuk mengikuti pengajian Kiai Idris tentang kitab Fathul Qorib, misalnya, bila ia telah hafal teks Taqrib- Kitab diberi makna dahulu oleh para santri, lalu Kiai Idris menjelaskannya. Absensinya menggunakan pengawasan shalat jamaah di baris depan. Ketekunan Kiai Ishaq selama belajar kepada Kiai Idris membuahkan cinta yang amat dalam pada ilmu pengetahuan.

Dalam kesehariannya, Kiai Ishaq banyak menggunakan waktunya untuk belajar dan mengajar. Ia mempertanggungjawabkan pengajarannya melalui belajar terlebih dahulu. Rencana materi pengajaran dipersiapkan tiap hari, sehingga peserta pengajian dapat mengetahui penjelasan yang komprehensif dari Kiai Ishaq. Hampir tiap malam, ia tidak pernah tidur, karena ia menghabiskan keheningan malam untuk membaca dan menelaah ilmu pengetahuan. Karena itu, Kiai Ishaq sering menyisipkan penjelasan menarik yang dikutip dari kitab-kitab besar. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan menafikan kecintaan pada keindahan dunia. Kiai Ishaq menjadi tidak tertarik pada harta, tahta, dan wanita. Kiai Ishaq pun hidup sebagai seorang sufi.

Pada suatu hari, Kiai Ishaq menerima tamu seorang militer dari Bandung, Jawa Barat. Tamu ini mendapatkan tugas militer di kawasan Irian Jaya (Papua). Menurut cerita sang tamu, di suatu malam ia melihat bayangan putih dari langit yang turun tepat di hadapannya. Sosok bayangan ini mengaku sebagai Ishaq Lathif dari Tebuireng Jombang. Setelah kejadian ini, ia pun segera ingin mencari dan menemui orang yang bernama Ishaq Lathif di Tebuireng Jombang. Akhirnya, ia dipertemukan dengan Kiai Ishaq Lathif. Atas cerita tersebut, Kiai Ishaq hanya menyatakan, bahwa kejadian itu merupakan salah satu cara Allah dalam mempertemukan hamba-Nya. Kiai Ishaq pun memberikan ijazah doa kepada tentara tersebut sebagai bekal dalam bertugas di Irian Jaya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Cerita di atas menggambarkan kerendahan hati seorang santri, meski tabir keutamaannya disingkap sedikit oleh Allah. Tidak ada guratan sedikit pun di hati santri sejati untuk diistimewakan di antara kebanyakan orang. Kiai Ishaq hidup di antara santri yang lain. Ia tidak segan untuk makan bersama dengan para santri. Meski masak nasi liwet tidak berlaku di Pesantren Tebuireng, Kiai Ishaq kerap mengajak para santri untuk memasak nasi liwet. Ia pun makan bersama di tempat yang sama serta lauk yang tidak berbeda. Kiai Ishaq amat pantas berada di posisi atas, namun ia menurunkan posisinya, agar ia lebih dekat dengan santri-santrinya.

Kerendahan hati hanya dapat dilakukan oleh orang yang tidak gila hormat. Kiai Ishaq selalu mendahului dalam mencium tangan orang-orang alim serta para keturunan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Ia juga mendahului dalam mengucapkan salam kepada siapapun yang ditemuinya. Selain itu, percakapan yang halus dan santun disampaikan kepada siapapun, meski kepada para santri muda maupun anak kecil. Ketika ia bersama dengan orang lain, kedermawanannya selalu mengemuka. Ajakan makan bersama, pemberian baju, rokok, maupun uang saku menjadi kebiasaannya. Tatkala ia dalam pembicaraan yang serius, ia tidak lagi memanggil nama, melainkan panggilan kehormatan: sampean/panjenengan. Ketika ia dipamiti pulang, Kiai Ishaq tidak lupa menitipkan salam untuk keluarga atau kawan orang yang pamit. Karena kerendahan hati dalam bergaul, Kiai Ishaq pun diminta untuk makan gratis di warung Haji Fakih maupun warung Pak Syahri selama hidupnya.

Kiai Ishaq amat perhatian dalam kaderisasi santri. Kiai Ishaq mudah marah saat melihat kemunkaran yang dilakukan para santri. Namun, kemarahan Kiai Ishaq cepat reda tanpa penyimpanan dalam hati. Baginya, sikap tegas atas kemunkaran perlu dikemukakan sebagai pelajaran agar kemunkaran tidak terulang. Meski demikian, Kiai Ishaq selalu memberikan kesempatan kepada para santri untuk mengisi beberapa acara yang telah ditentukan. Ia juga tidak segan untuk bersenda gurau dengan para santrinya. Pendek kata, Kiai Ishaq adalah santri yang diakui sebagai kiai atau kiai yang berjiwa santri. Presiden Gus Dur pun pernah ingin menobatkan Kiai Ishaq sebagai santri teladan, namun Kiai Ishaq menolaknya secara halus. Gus Dur pun memahaminya.

Kiai Ishaq juga melaksanakan pengabdian santri di kampung halaman. Hal ini didasarkan titah al-Qur’an: “faliyundziru qoumahum idza roja’u ilaihim”. Kiai Ishaq berhasil menyelenggarakan pengajian rutin di rumahnya tiap Selasa dan Jum’at, saat pengajian di Pesantren Tebuireng libur. Pengujung pengajian Kiai Ishaq pun makin bertambah. Selain itu, undangan ceramah di beberapa daerah juga makin bertambah pesat. Namun, Kiai Ishaq masih lebih mementingkan pengajian rutin yang dibinanya, baik di Pesantren Tebuireng maupun di rumahnya. Kemasyhuran Kiai Ishaq tidak merubah gaya hidupnya yang tetap dengan penampilan sederhana. Kiai Ishaq juga tidak membeli mobil pribadi meski mampu untuk melakukannya. Ia lebih menyukai kendaraan yang disiapkan oleh jamaahnya. Hingga akhir hayatnya, Kiai Ishaq masih berdomisili di sebuah kamar dalam Pesantren Tebuireng sebagai santri sekaligus kiai.

Profil singkat KH Ishaq Lathif di atas menegaskan keterkaitan yang erat antara santri dan ilmu yang bermanfaat. Pertama, tujuan utama santri adalah menelaah ilmu sepanjang hidupnya. Kedua, identitas ilmu dalam diri santri membuatmya tidak silau dengan keindahan dunia. Ketiga, ilmu menjadi ukuran bagi santri dalam pergaulan. Penghormatan santri hanya ditujukan kepada para ‘allamah, ‘alim, mu’allim, dan muta’allim. Keempat, ilmu digunakan santri sebagai instrumen perubahan sosial, sehingga santri selalu melakukan transformasi nilai melalui pengajian. Kelima, ilmu menjadi petunjuk bagi santri dalam mengamalkan ajaran agamanya. Lebih dari itu, ilmu menjaga perilaku santri dari perbuatan yang bisa menjatuhkan kewibawaannya.

*Alumnus Pesantren Tebuireng (1987-1997), Dosen di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.