Memanusiakan manusia berarti memperlakukan manusia sesuai dengan perannya sebagai manusia, memperlakukan manusia dengan baik tanpa memandang perbedaan. Banyak di antara kita yang belum bisa memandang semua manusia dengan kaca mata setara sebagai makhluk Allah. Meskipun secara tampak kita sebagai manusia pasti memiliki perbedaan, perbedaan itu bisa berupa gender, status sosial, atau perbedaan pendapat, bahkan perbedaan agama atau keyakinan. Ketika terjadi perbedaan, seringkali muncul pembentukan kelompok yang mendukung kelompoknya masing-masing. Jika ini tidak didasari dengan ilmu seni memanusiakan manusia, maka yang terjadi adalah permusuhan antar kelompok, pertikaian di mana-mana, hingga perpecahan yang bisa berujung pada kekerasan atau pembunuhan.
Terkadang, terlalu asyik dengan kelompok sendiri juga tidak terlalu baik, karena kita membutuhkan saling mengenal antar kelompok atau bahkan dengan mereka yang tidak memiliki kelompok sekalipun.
Contohnya adalah Bapak Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, yang memiliki pemikiran humanisme dan mudah bergaul dengan siapa saja. Meskipun berbeda agama, beliau tetap memiliki pandangan bahwa semua manusia itu sama, tanpa pandang bulu. Gus Dur mengajarkan bahwa meskipun ada perbedaan pendapat, kita harus tetap saling menghormati dan menghargai perbedaan tersebut. Beliau juga mengajarkan kita untuk tidak mendiskriminasi masyarakat yang minoritas, seperti masyarakat Tionghoa yang menganut agama Konghucu. Gus Dur sangat pantas jika dijuluki sebagai “Bapak Tionghoa” karena berkat beliau, masyarakat Tionghoa bisa bernapas lega, beribadah, melaksanakan adat istiadat, dan melestarikan budayanya.
Dilansir dari Majalah Tebuireng edisi ke-94, Gus Dur: dari santri, politisi hingga wali, sebelumnya perayaan Tionghoa tidak diperbolehkan di masa Orde Baru melalui peraturan No. 4 tahun 1967 yang berisi larangan melaksanakan adat istiadat, agama, dan kebudayaan. Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2000 yang mencabut peraturan No. 4 Tahun 1967 dan mengizinkan masyarakat Tionghoa untuk menjalankan adat istiadat, kebudayaan, dan agama Konghucu. Setelah adanya aturan ini, perayaan Hari Raya Imlek dilakukan secara terbuka dan agama Konghucu diakui secara sah di Indonesia.
Memanusiakan manusia ini perlu dibahas dan dipelajari lebih lanjut, karena ilmu humanistik adalah ilmu hasil pembentukan, bukan keturunan. Ini membuktikan bahwa meskipun seseorang berasal dari keturunan bangsawan, jika dalam dirinya tidak ada jiwa sosial yang tinggi, tidak mau bergaul dengan orang lain, dan tidak mau menerima pendapat orang lain, maka itu tidak ada artinya. Kita sebagai makhluk sosial, hidup berdampingan dengan manusia lain, dan kelak ketika kita mati, kita pasti membutuhkan pertolongan untuk menguburkan jasad kita.
Memberikan hak manusia untuk bertahan hidup adalah bagian dari memanusiakan manusia. Memberikan hak untuk berpendapat atau memberikan saran juga bagian dari itu. Terkadang, ketika memberikan pendapat, tetap saja ada yang berbeda dengan pendapat kita. Maka, kita seyogyanya harus bisa menerima perbedaan tersebut. Yang dipandang bukan menang atau kalah, tetapi siapa yang bisa menghargai pendapat orang lain. Tidak apa-apa kita mengalah demi mereka yang menang, tetapi tidak bisa menghargai.
Berhadapan dengan manusia tidak dibutuhkan keegoisan yang tinggi, melainkan kerendahan hati. Maka, merendahlah sampai tidak ada yang bisa merendahkan kita.
Baca Juga: Islam Memanusiakan Manusia!
Allah telah berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Sesuai dengan ayat tersebut, tidak ada yang membedakan di sisi Allah kecuali tingkat ketaqwaan kita kepada-Nya. Tidak ada kaum yang lemah atau yang kuat. Semua sama di sisi Allah—cantik, jelek, pintar, cerdas, kaya, atau miskin, semuanya sama sebagai makhluk Allah, hamba Allah.
Oleh karena itu, sepantasnya kita mengatur diri kita untuk selalu berbuat baik kepada siapa pun, selalu menghargai adanya perbedaan pendapat, membantu orang yang sedang kesusahan, tidak menindas yang lain, dan merasa bahwa diri kita bukanlah yang paling kuat. Kita juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan latar belakang mereka, seperti ras, agama, suku, atau faktor lainnya.
Penulis: Nabila Rahayu