Diantara sekian problem sosial, kemanusiaan dan keagamaan yang dewasa ini makin merabah baik di tingkat lokal, nasional bahkan Internasional adalah praktek perdagangan manusia (human trafficking). Malpraktek perdagangan manusia menjadi persoalan bersama yang menggelisahkan banyak pihak. Pasalnya, hal itu sangatlah bertentangan dengan semangat kebebasan dan kemerdekaan ruhani yang merupakan pangkal kemanusiaan universal dalam Islam. Islam sedari awal dengan tegas telah menyamakan derajat semua manusia tanpa melihat statusnya apakah sebagai orang merdeka atau budak, bangsawan atau tidak bahkan dari Arab atau tidak dan seterusnya.

Sebagaimana Firman Allah QS Al Isra ayat 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. Imam al-Razi menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk di bumi yang memiliki kelebihan banyak berupa takrīm dan tafdlīl di banding makhluk lainnya. Takrīm di indikasikan dianugerahinya manusia oleh Allah dengan sesuatu yang sifatnya bawaan seperti akal, bisa berbicara dan berbahasa, struktur tubuh yang sempurna dan wajah-wajah yang rupawan.

Adapun tafdlīl lebih diarahkan kepada kemampuan manusia dalam menggunakan potensinya menemukan akidah yang benar, cara hidup yang baik dan etika yang mulia. Takrīm dari Allah ini berimplikasi kepada kemuliaan manusia di bumi secara totalitas bahwa manusia mendapatkan hak untuk menaklukkan daratan dan lautan sebagai ma’īsyah-nya (rizky), manusia juga berhak mendapatkan rizki dari hal-hal yang baik, manusia semuanya sama dan sederajat, sehingga tidak dibenarkan apapun bentuk prakteknya yang menjadikan manusia tidak sederajat dengan manusia lainnya.

Dengan demikian jika ada suatu sistem yang menggerogoti ke-takrīm-an tersebut maka secara tegas sistem itu harus ditentang. Diantara sistem yang dapat menggerogoti ke-takrīm-an tersebut adalah diberlakukannya model perbudakan dan termasuk di dalamnya adalah perdagangan manusia, karena dengan adanya perbudakan itu sama saja dengan mengurangi ke-takrīm-an manusia di mana ia tidak bisa bekerja dan menikmati hasil jerih payahnya untuk dirinya sendiri melainkan dieksploitasi oleh pihak-pihak lainnya.

Dalam sebuah hadis juga dinyatakan: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman: “ Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua: seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga: seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya”. (H.R. Al-Bukhārī).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Memetik Kisah Yusuf

Kisah keluarnya Nabi Yūsuf A.S. dari sumur kemudian dijual kepada Raja al-Azīz ‘asebagaimana terekam dalam firman Allah SWT: “Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, Maka dia menurunkan timbanya, dia berkata: “Oh; kabar gembira, Ini seorang anak muda!” Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. (19). Dan mereka menjual Yūsuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yūsuf (20).

Dan orang Mesir yang membelinya Berkata kepada isterinya “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.” dan demikian pulalah kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yūsuf di muka bumi (Mesir), dan agar kami ajarkan kepadanya ta’bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya (21)”. (Q.S. Yūsuf: 19-21).

Ayat diatas secara garis besar masuk dalam cakupan gambaraan dari tahapan-tahapan ujian yang diberikan allah kepada Nabi Yūsuf sebelum menjadi Nabi dan penguasa memiliki jiwa yang tangguh. Ada hal yang perlu ditekankan dalam memahami ayat-ayat ini bahwa sebenarnya ayat-ayat ini dalam tema besarnya lebih berbicara tentang bagaimana Allah menyelamatkan Nabi Yūsuf dari dalam sumur kemudian diperkenalkannya Nabi Yūsuf dengan orang-orang besar (Raja al-’Azīz, karena kelak beliau akan jadi penguasa yang besar) dari pada tentang masalah diperjualbelikannya Nabi Yūsuf.

Hemat penulis, sangatlah logis, mengingat jika dilihat dari munāsabat al-āyatnya, ayat-ayat ini dimulai dengan proses pengasingan Nabi Yūsuf oleh saudara-saudaranya hingga dibuang dalam sebuah sumur. Kemudian diselamatkan Allah melalui serombongan yang kemudian menjualnya kepada Raja al-’Azīz diman dalam kerajaan ini Nabi Yūsuf justru mulai hidup sebagai orang yang sangat dihormati.

Andaikan dipaksa untuk di bawa ke ranah perdagangan manusia sejatinya dalam ayat ini dijelaskan tentang perdagangan manusia yang suci. Maksudnya, Allah memberikan gambaran bahwa betapapun di antara ujian Nabi Yūsuf adalah beliau diperjualbelikan akan tetapi beliau masih sangat dimuliakan Allah lantaran orang-orang yang menjualnya tidak sedikitpun memiliki niat untuk mengabil keuntungan yang besar apalagi untuk sampai mengeksploitasi Nabi Yūsuf jelas tidak.

Lebih dari itu dalam kisah perdagangan Nabi Yūsuf ini, beliau dibeli oleh seorang raja agung yang sangat mulia sehingga setelah dibeli pun Nabi Yūsuf tidak dieksploitasi, alih-alih diperbudak Nabi Yūsuf justru sangat dimuliakan dalam lingkungan kerajaan karena Raja ini melihat ada potensi kebaikan yang besar dalam diri Nabi Yūsuf sehingga Raja tersebut tidak hanya berharap akan kebaikan Nabi Yusuf semata melainkan siap menjadikannya sebagai anak angkat.

Dalam kisah di atas dapat dipahami, bahwa meskipun Nabi Yūsuf dibesarkan dalam tradisi di mana sistem perbudakan masih berjalan, namun sejatinya beliau selamat dari itu semua, karena semua orang yang terlibat dalam proses jual belinya adalah adalah orang-orang baik yang dipilih oleh Allah SWT. Justru sebaliknya di zaman-zaman masih gencarnya perbudakan kisah Nabi Yūsuf ini sudah memberikan teladan yang jauh ke depan dengan mengedepankan rasa-rasa kemanusiaan seperti yang terdapat dalam karakter si raja dan rombongan si penjual. Sehingga tidak tepat kiranya jika praktek perdagangan manusia dilegalkan dengan mengambil pola dari kisah diperjualbelikannya Nabi Yūsuf A.S.

Manusia Makhluk Egaliter!

Islam adalah agama dengan semangat ke-egaliter-an dan anti perbudakan. Secara umum, ajaran Islam tentang kemanusiaan yang bersumber pada Al-Qur’ān berdiri di atas prinsip-prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban individu, prinsip kesetaraan derajat manusia di hadapan Allah, prinsip keadilan, prinsip persamaan manusia di hadapan hukum, prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, prinsip kritik dan kontrol sosial, prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan, prinsip tolong menolong untuk kebaikan, prinsip yang kuat melindungi yang lemah, prinsip musyawarah dalam urusan bersama, prinsip kesetaraan suami-istri dalam keluarga, dan prinsip saling memperlakukan dengan ma’ruf antara suami dan istri.

Konsekuensi dari pemahaman ini adalah mendudukkan manusia secara totalitas dalam satu pemahaman utuh bahwa manusia di mata Tuhan itu sama. Tidak ada yang mengungguli satu atas lainnya dan sebaliknya. Kemuliaan manusia di mata Tuhan tidak dilihat dari tingkat keperkasaannya sehingga yang kuat akan mengalahkan yang lemah, tingkat ekonominya sehingga yang kaya akan merajai yang tak punya, tingkat sosialnya sehingga bangsawan akan memperbudak kaum dlu’afa dan seterusnya.

Prinsip ini sebaliknya menganggap manusia sebagai entitas yang sama dan sederajat. Hal yang membedakan di antara mereka hanyalah tingkat kebaikan mereka, sebagaimana dalam firman Allah SWT: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujurat: 13).

Islam dengan tegas melalui ayat di atas memberikan penegasan bahwa manusia secara totalitas itu sama dan sederajat betapapun jenis kelamin, kelompok, suku dan budayanya berbeda atau bahkan bertentangan. Sehingga tidak dibenarkan adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk apapun apalagi sampai berujung pada memperdagangkan manusia satu atas manusia lainnya. Selain itu, dalam konteks keagamaan sebagaimana dalam ayat di atas, ditekankan bahwa kemuliaan seseorang atas orang lain di mata Allah justru dilihat dari tingkat ketaqwaannya bukan dari eksistensi kuat-lemahnya atau kaya-miskinnya atau tuan-budaknya.

Sejatinya dengan melekatnya keimanan dan ketakwaan dalam diri masing-masing manusia akan mengantarkan pada kebahagiaan kolektif. Sehingga keimanan dan ketaqwaan ini harus diterjemahkan ke dalam bentuk yang kongkrit dalam kehidupan, yaitu dengan tindakan-tindakan kebaikan yang sejalan dengan semangat kemanusiaan universal sehingga berdampak pada baiknya kehidupan bersama. Human trafficking jelas sangat bertentangan dengan moral Islam sehingga tidak ada pilihan lain selain menginggalkan dan jauh-jauh menanggalkannya.

Tidak dibenarkan adanya pemahaman parsial karena akan memperbolehkannyaa hukum perbudakan, seperti yang terdapat dalam fiqh klasik, termasuk human trafficking. Hal ini didasarkan atas tujuan-tujuan pokok dalam Islam (maqāshid) paling dasar sesungguhnya menyatakan bahwa perbudakan dan human trafficking adalah suatu perbuatan yang tidak terpuji dan karenanya harus dihapuskan. Dengan dihapuskannya praktek human trafficking berarti mewujudkan cita-cita besar Islam, yaitu terwujudnya masyarakat sama, sederajat dan egaliter.

Oleh: Muhammad Makmun-Abha, Alumni Ponpes Darut Ta’lim Bangsri Jepara, kini tinggal di Yogyakarta