
Setahun yang lalu, saat ia meninggalkan kampung halaman, perasaan haru dan pilu menghantuinya. Tak ada yang lebih berat baginya selain berpisah dengan keluarga, terutama ibunya yang sudah menua dan ayahnya yang tak lagi sekuat dulu. Namun, demi mimpi besar yang ada di benaknya, Lukman Sardi tetap melangkah.
Di negeri orang, kehidupannya tidak mudah. Lelaki kepala tig aitu harus bekerja keras sebagai buruh pabrik di sebuah kota besar. Setiap pagi ia bangun sebelum subuh, merasakan dingin yang menggigit tubuhnya, lalu bekerja dengan mesin-mesin besar yang mengeluarkan suara bising dan asap yang pekat. Hari-harinya begitu panjang dan penuh perjuangan. Wajah lelahnya sering kali memunculkan senyum tipis, berusaha menutupi rasa rindunya pada tanah air, pada keluarganya yang jauh di sana.
Tapi tekad anak lelaki Abah Salman dan Umi Salimah itu sangat kuat. Ia ingin melihat keluarganya bahagia. Ibu dan ayahnya yang sudah lanjut usia, adiknya yang baru saja lulus sekolah, semuanya ada di pikirannya setiap saat. Ia merasa, untuk bisa memberi mereka kehidupan yang lebih baik, ia harus berjuang lebih keras, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan waktu dan rasa rindu.
Bulan berganti bulan. Setiap kali Lukman mendapat kiriman uang dari hasil kerjanya, ia selalu mengirimkan sebagian besar untuk keluarganya. Baginya, tidak ada yang lebih bahagia daripada mendengar suara ibunya yang selalu berkata, “Terima kasih, Nak. Kamu sudah membuat kami merasa aman di sini.” Itu sudah cukup membuatnya merasa tenang meskipun tubuhnya kelelahan.
Namun, kebahagiaan itu tidak selalu datang tanpa ada kesedihan yang menyertai. Pria yang pernah patah hati karena ditinggal menikah pujaan hatinya itu merasa terasingkan di negeri orang. Meskipun ia bekerja keras dan bisa bertahan hidup, rasa kesepian sering kali datang menggerogoti. Tiap malam, sebelum tidur, ia sering menghubungi ibunya lewat telepon, mendengarkan suara lembutnya yang menenangkan. Tetapi, ada juga saat-saat merasakan kebuntuan. Mimpi-mimpi yang dulu ia jaga dengan erat mulai terasa semakin jauh, seiring dengan semakin banyaknya waktu yang hilang.
Suatu malam, saat ia sedang duduk di sudut kamar kontrakannya yang sempit, ia menerima telepon dari adiknya. “Kak, Mama sakit. Kami bawa Mama ke rumah sakit tadi pagi. Dokter bilang harus operasi,” suara adiknya terdengar cemas, membuat hatinya terhimpit.
Tubuhnya gemetar. Semua rasa takut dan khawatir yang ia coba sembunyikan tiba-tiba muncul tanpa bisa dihentikan. Ia tahu, ibunya sudah menua. Ia ingin sekali ada di sana, merawatnya, membantunya. Namun, bagaimana bisa ia kembali ke tanah air? Uang yang ia kumpulkan hampir habis untuk biaya hidup sehari-hari, belum lagi cicilan rumah yang harus ia bayar.
Hari-hari setelah telepon itu, ia semakin tertekan. Ia merasa seolah waktu tak berpihak padanya. Namun, tekadnya kembali menguat. Ia memutuskan untuk bekerja lebih keras.
“Aku harus bisa,” gumamnya pada diri sendiri setiap kali rasa lelah datang menyerang. Setiap tetes keringat yang menetes dari tubuhnya adalah doa untuk ibu dan keluarga yang ia cintai.
******
Tiga bulan kemudian, sebuah kabar baik datang. Ibunya sudah pulih dari operasi, dan keadaan kesehatannya semakin membaik. Lelaki manis itu tak bisa menahan air mata saat mendengar suara ibunya di telepon.
“Syukurlah, Mama sudah baik-baik saja, Nak. Kami semua sehat-sehat di sini. Jangan terlalu khawatirkan kami,” kata ibunya dengan suara yang sedikit lemah namun penuh kehangatan.
Kabar itu membuat hatinya sedikit lebih tenang. Meski masih jauh, meski masih harus bertahan di negeri orang, dirinya merasa apa yang ia lakukan bukanlah sia-sia. Ia tahu, setiap langkah yang ia ambil, setiap tetes keringat yang ia curahkan, adalah untuk kebahagiaan keluarganya.
Setahun kemudian, ia berhasil mengumpulkan cukup uang untuk membeli sebidang tanah kecil di desa dan membangun rumah untuk keluarganya. Meski ia belum bisa kembali ke tanah air, hatinya terasa lebih ringan, lebih damai. Dan ketika ia melihat foto keluarga yang dikirim adiknya, ia tersenyum.
Di balik segala senyum yang luka, atau bahkan luka yang membuat bahagia, ia tahu bahwa usaha kerasnya akan membawa kebahagiaan untuk orang-orang yang ia cintai. Sesungguhnya, perjuangan ini bukan hanya tentang mengumpulkan uang, tetapi tentang memberi harapan dan membuktikan bahwa meskipun terpisah jauh, cinta dan kasih sayang akan selalu menghubungkan mereka.
Penulis: Ummu Masrurah