Ilustrasi: Ifa

Suikerfabriek Tjoekir

1/
Ingatan menghidu wangi gula. Sejarah
Menggaung di kesunyian pendengaranku
Seperti suara mesin menggiling berbatang-
Batang tebu. Sementara pada terik hari

Begini, cuaca mengubahku menjadi angin,
Membuatku ingin menyibak gumpalan-
Gumpalan asap yang mengepul dari julang
Cerobong tua itu, lalu menemukan 

Peristiwa masa silam yang menggelepar
Di tahun-tahun murung: tentang lahan-lahan
Yang dirampas, rakyat sengsara, &
Zaman berwajah muram. Tapi 

Kemudian pelita itu datang, dengan nyala
Matahari—nyala yang kuasa membawa
Terbenam penderitaan-penderitaan tak
Berkesudahan. Maka kita memanggilnya 

Kiai Hasyim, dengan kalbunya benderang
Telatah Cukir.

2/
Mengenang segala yang enggan dilupakan,
Kita masih berdiri di sana, memandangi
Peninggalan-peninggalan. Pabrik yang
Terus beroperasi, langit memintal

Asap-asap berterbangan, serta lalu-lalang 
Kendaraan: menjadi simbol kesibukan
Sebuah kota. Kita masih mengenang
& akan selalu mengenang—sembari
Turut berjerih menerbitkan cahaya

Di wajah zaman.

(Pare, Oktober 2024)


Memasuki Pasar Menuju Pesarean 

Dari area parkir, kita beralih menuju pesarean
Teramai di Cukir. Namun, sebelum itu, kita
Musti melewati sebuah pasar; tempat di mana
Barang-barang dagang didasar. Menyusuri

Lorong-lorong pasar menuju pesarean, mata kita
Seketika kaca jendela yang senantiasa terbuka bagi
Hati yang begitu rindu memiliki sesuatu yang
Terpampang di kios-kios yang berjajar itu:

Pernak-pernik, jajanan khas daerah, busana 
Muslim, serta serba-serbi lainnya, sebagai oleh-
Oleh yang tentu kita boleh membelinya bersama
Kenangan. Memasuki kerumunan orang-orang

Yang seolah menenggelamkan pasar, kita terus
Berjalan sembari kembali mengingat riwayat sang
Zuriat. Tak lama, tiba di area makam, seketika kita
Menghaturkan salam, beserta doa-doa tercurahkan.

Selesai itu, kita beranjak menarik diri. Berjalan lagi
Menyusuri lorong-lorong pasar, aku berniat coba
Mengintip langit melalui paranit—jaring-jaring
Yang mengatapi jalan-jalan di mana para peziarah

Melangkahkan kakinya di sepanjang selasar pasar:
Sekadar memastikan apakah pintu langit terbuka
Untuk doa-doa kita yang selalu terasa semenjana,
Untuk doa-doa kita yang selalu terasa semenjana.

(Pare, Oktober 2024)


Senandika Bunga Makam

: Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari,
KH. Abdul Wahid Hasyim,
KH. Abdurrahman Wahid

Aku masihlah bunga-bunga 
Yang senantiasa tasbih di atas
Tanah makammu. Di sinilah,

Aku senantiasa merasa berada
Di taman semula di mana aku
Dahulu tumbuh. Para peziarah
Bagai kumbang atau lebah 

Yang membersamai harumku 
Dengan dengung doa-doa mereka,
Dan kemudian menjelma
Wangi harapan yang menguar
Hingga sampai di penciuman

Tuhan. 

Hanya di atas makammu, 
Aku ingin ditabur berkali-kali
Sebagai kelopak yang menolak
Disapu embusan angin yang resah,

Yang menggugur dari genggam
Tangan lembut Ibu Sinta Nuriyah.
Hanya di atas makammu, aku
Ingin selamanya memeluk

Tanah yang memeluk ragamu,
Sebagaimana dahulu engkau
Dipeluk orang-orang terkasihmu.
Hanya di atas makammu, aku

Ingin mengharumi waktu yang
Berusaha mengekalkan kafanmu—
Selimut terakhir yang engkau
Kenakan, manakala dahulu hendak 

Menghadap Tuhan. Dan
Hanya di atas makammu, tiada
Ingin selamanya aku layu, tiada
Ingin selamanya aku layu:

Sebab, aku masihlah bunga-bunga
Yang senantiasa tasbih di atas
Tanah makammu, tasbih di atas
Tanah makammu.

(Pare, Oktober 2024)


Minha

1/
Bukan di gersang
Padang pasir Giza, di atas
Lahan 4,9 hektare ini
Kita menjumpai sebuah

Piramida yang
Tubuhnya tampak terbuka,
Seumpama ingin
Untuk kita memasukinya—

Sebuah museum yang menyimpan
Beragam peninggalan dari
Peradaban Islam dahulu kala:

Artefak, arsitektur bangunan,
Replika batu nisan,
Kitab-kitab kuno, mahkota, kipas
Dari emas, perhiasan, 

Mata uang Islam, prasasti, pakaian, 
Rempah-rempah
Saudagar muslim, porselin, tembikar,
Dan lain sebagainya.*

2/
Betapa kita akan selalu terpana
Ketika menyusuri Minha
Hingga di setiap lantai-lantainya,
Membuat kita khidmat 

Menyimak sejarah yang menampilkan
Dirinya dalam wujud
Beragam warisan keislaman di Nusantara.

(Pare, Oktober 2024)

*
mengutip dari www.detik.com



Penulis: Dzikron Rachmadi, lahir dan tinggal di Pare, Kabupaten Kediri. Puisi-puisinya telah dimuat di beberapa media online dan buku antologi puisi lomba. Menjuarai beberapa event lomba cipta puisi tingkat nasional. Akun instagram @_dzikroch.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online