Ayat dan Hadits Mutasyabihat Harus Dikembalikan ke Ayat dan hadits Muhkamat

Sebagaimana diketahui ditinjau dari aspek pengertian dalam Al-Quran ada ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat difahami dengan mudah, disebut muhkamat sebagai acuan dan rujukan dalam memahami ayat mutasyabihat  yang dalam Q.S Ali Imran ayat 7 disebut ummul kitab atau pokok-pokok isi al-Quran,  dan ada ayat yang maknanya diperlukan ayat muhkamat agar ayat ini tidak jumbuh maknanya. Kategori kedua ini biasa disebut ayat mutasyabihat. Demikian pula hadits, ada hadits yang makna literalnya seolah akan mengesankan bahwa Allah serupa dengan makhluk. Tentu, hadits yang semacam ini musti dikembalikan kepada Quran yang muhkamat dan hadits yang muhkamat.PCNope12-004

Ketua Aswaja NU Center Jombang, Yusuf Suharto menyatakan,

“Ayat dan hadits mutasyabihat adalah ayat atau hadits yang belum jelas makna dan maksudnya, karena mengandung makna yang dapat disalahfahami sehingga musti dihubungkan dengan ayat dan hadits yang muhkamat yang menjadi pokok dan tempat kembali dalam menafsirkan segala yang bersangkut dengan Allah,” demikian disampaikan Yusuf dalam Kajian Ahlussunnah dengan tema, “Tafwidl dalam Perspektif Ahlussunnah”, Senin (23/06) di Aula PCNU Jombang.

Dikatakan oleh Yusuf bahwa ada tiga sikap orang Islam ketika disajikan ayat atau hadits mutasyabihat, “Pertama, golongan musyabbihah, yaitu golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk, ini faham yang bathil. Kedua, golongan yang bertafwidl, diikuti mayoritas ulama salaf.Tafwidl adalah memasrahkan hakikat makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah, sembari meyakini bahwa Allah suci dan bebas dari serupa dengan makhluk. Ketiga, golongan yang mentakwilkan, diikuti beberapa ulama salaf dan mayoritas ulama khalaf.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Alumnus pesantren Denanyar ini menyampaikan, kitab Iljamul ‘Awam fi Ilmil Kalam karya Imam Al-Ghazali antara lain adalah kitab perlu dikaji para santri dan para cendekia ketika ingin mengenal faham ulama salaf dalam menghadapi teks mutasyabihat. Orang awam punya tujuh tugas dalam hal ini.

“Imam Al-Ghazali juga mengantisipasi orang awam pada tujuh hal, yaitu pertama penyucian (menyucikan Allah dari sifat-sifat jismiyah, tidak menyerupakan Allah dengan makhluk yang bersifat fisik dan segala konsekuensinya), kedua, pembenaran (tashdiq adalah percaya bahwa apa yang disabdakan nabi itu benar), ketiga, pengakuan akan kelemahan (mengakui bahwa pengetahuan tentang apa yang dikehendaki Allah adalah di luar batas kemampuan dirinya, dan bukan urusannya), keempat, diam dengan tidak memberikan komentar, (tidak perlu bertanya tentang maknanya dan tidak akan memperbinangkannya),  kelima, menahan diri untuk tidak membahas (tidak mengolah kata-kata tersebut dengan cara mentashrif, mengganti dengan bahasa lain, menambah, mengurangi, memadukan, dan memisah-misahkan. Bahkan tidak seharusnya mengatakan kecuali dengan kata-kata itu saja sesuai dengan apa yang dikehendaki dari bentuk dan i’rabnya), keenam, mengendalikan diri (mengendalikan hati untuk tidak berkontemplasi),dan ketujuh, menyerahkan masalahnya kepada orang yang ahli (dengan tidak berkeyakinan bahwa hal itu tidak bisa diketahui oleh Rasulullah atau para nabi, ash-shiddiqin, dan para wali).

Inilah tujuh tugas yang telah diyakini oleh seluruh generasi salaf sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh orang awam, dan tidak selayaknya mereka berprasangka jelek bahwa generasi salaf telah khilaf dalam persoalan tersebut.”

Pengurus Lembaga Bahtsul Masail Jawa Timur, Makruf Khozin ketika menjelaskan arti tafwidl, mengutip al-Nidzam al-Farid menyatakan dalam forum kajian aswaja yang diselenggarakan Aswaja NU Center Jombang tiap bulan itu,

Shorfu al-lafdz  ‘an dhohirihi ma’a ‘adami al-ta’arrudl libayani al-ma’na al-murodi minhu bal yutroku wa yufawwadlu ‘ilmuhu ilaLlahi (tafwidl adalah memalingkan teks dari makna dzahirnya serta tidak menyinggung makna yang dimaksud, tapi dibiarkan dan ilmunya diserahkan kepada Allah).”

Lebih lanjut dikatakan oleh ustadz Makruf, bahwa faham tafwidl adalah kategori kelompok Ahlussunah, yang disebut al-Baghdady dalam Al-Farqu Bayna al-Firaq sebagai kelompok keenam,

“Kelompok ke enam adalah orang zuhud dan shufi… Agama mereka adalah tauhid dan meniadakan penyerupaan Allah dengan makhluknya. Madzhab mereka adalah Tafwidl kepada Allah, tawakkal dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.”

Ditambahkan oleh ustadz Makruf bahwa dalam ahlussunnah dikenal dua metode yakni takwil dan tafwidl. Mengutip Syaikh al-Liqani dalam Jauharat Tauhid, dia berkata,

“Setiap dalil nash yang mengarah kepada penyerupaan Allah dengan  makhluk, maka takwilkanlah atau serahkan maknanya kepada Allah, dan tujukanlah menyucikan Allah.” (Anwar)