Santri Tebuireng

Djangan sekali-kali melupakan sedjarah.” (Ir. Soekarno)

Sebuah maqalah presiden pertama Republik Indonesia (RI) dalam pidato yang disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1966, sebelum ia turun dari singgasana kepresidenan. Jika ada orang yang melupakan sejarah, maka akan menimbulkan dampak kehilangan identitas jati diri dan memori masa lalu, yang mana melupakan memori kolektif masa lalu akan mempersulit usaha mendesain masa depan.

Nah, membicarakan perihal sejarah pasti tak akan luput oleh kenangan manis dan perjuangan pahit. Terutamanya, perjuangan bangsa Indonesia untuk mengambil kekuasaan yang sempat diambil alih oleh Jepang dari tangan Belanda.

Kekejaman mereka tak bisa dilupakan begitu saja, seperti: Romusha (kerja paksa), pembunuhan masal, menjadikan perempuan sebagai budak seks, dan masih banyak lagi. Bahkan, mereka menganggap masyarakat Indonesia bukan sebagai manusia. Melainkan, boneka yang bisa mereka ambil kemanfaatannya secara cuma-cuma.

Ketika tahun berganti tahun, hari berganti hari, dan keadaan masih sama. Terjadilah sebuah peristiwa luar biasa di Negara Jepang. Pada tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat, yang menurunkan moral dan semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Tiga hari kemudian, pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di kota Nagasaki.

Hal ini pun menjadi lampu hijau bagi masyarakat Indonesia untuk segera memproklamasikan kemerdekaannya. Namun, Bung Karno malah menunda hal tersebut. Akibatnya, banyak dari kaum muda yang tidak terima atas penundaan yang dilakukan oleh Bung Karno. Sehingga, terjadi sebuah percekcokan antara golongan tua dan golongan muda.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebenarnya, Bung Karno sudah merencanakan agenda tersebut agar dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus saja. Menimbang, pada tanggal tersebut bertepatan dengan hari Jumat Legi. Jika dikembalikan pada kepercayaan orang Jawa, hari Jumat Legi memiliki arti khusus. Karena, menurut kepercayaan mereka, makna dari hari tersebut berkaitan dengan sebuah nasib yang membawa berkah dan kesuksesan.

Satu sisi lain, angka 17 juga memiliki keistimewaan tersendiri. Ada yang mengatakan, angka 17 adalah angka yang suci. Tak ayal, jika Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadan tanggal 17, jumlah rakaat shalat dalam sehari semalam juga 17, dan sebagainya. Hal inilah yang memperkuat pilihan Bung Karno agar memproklamirkan Negara Indonesia pada tanggal 17 saja.

Apabila ditinjau dari bulannya, Agustus kala itu bertepatan dengan bulan Ramadan. Jika di Negara Indonesia terjadi peristiwa kemerdekaan, maka hal tersebut juga selaras dengan kemenangan umat muslimin dalam beberapa sejarah yang dilakukan pada bulan Ramadan.

Salah satunya, saat kaum kafir Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyyah. Sang Nabi beserta 10.000 pasukannya berangkat untuk melakukan ekspedisi menuju kota Makkah al-Mukaramah guna membebaskan kota suci dari berhala-berhala kaum kafir Quraisy tanpa adanya pertumpahan darah. Peristiwa ini dikenal dengan Fathu Makkah yang terjadi pada bulan Ramadan juga.

Adapula perang Badar. Sebuah perang yang terjadi pada bulan Ramadan, yang kala itu dikomando langsung oleh pemimpin terbaik di seluruh dunia yakni, Nabi Muhammad SAW. Saat itu, pasukan kaum muslimin tak sebanding dengan rivalnya. 313 melawan 1000 pasukan kaum kafir Quraisy. Namun, dengan pertolongan sang khalik, akhirnya pasukan muslimin memperoleh kemenangan.

Sebagaimana kisah Khalid bin Walid saat perang yarmouk sedang berkecamuk. Ia berkata pada prajuritnya, “Betapa sedikitnya pasukan Romawi dan betapa banyaknya jumlah kita. Kekuatan sebuah pasukan tidak dinilai dari jumlahnya, tetapi dinilai dari pertolongan Allah padanya, dan kelemahan pasukan ada pada saat Allah meninggalkannya.” padahal, kala itu jumlah pasukan Khalid tak sebanding dengan jumlah pasukan Romawi.

Dari kisah tersebut, sebenarnya pilihan Bung Karno mengenai tanggal 17 Agustus hanya mengaitkan dengan momen-momen bersejarah. Dengan harapan, angka yang ia pilih mengantarkan Negara Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.


Ditulis oleh Moehammad Nurjani, mahasantri Mahad Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo