sumber ilustrasi: detik.com

Oleh: KH. Ahmad Musta’in Syafi’i*

اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَسْلِيمًا كَثِيْرًا

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (الاحقاف:15)

Jumat ini kita masih membicarakan tentang panduan Al-Qur’an terhadap orang yang sudah berusia lebih dari 40 tahun. Angka ini merupakan satu-satunya usia yang disebutkan dalam Al-Qur’an dengan redaksi أَرْبَعِينَ سَنَةً. Menurut keilmuan dianggap bahwa kehidupan dimulai pada usia tersebut  (the life begin in fourty age).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Al-Ahqaf ayat 15 ini memberikan 6 panduan bagi mereka yang berumur 40 tahun. Dan bahasan kutbah kali ini adalah panduan yang ke-3. Yakni وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ (semoga amal saya diridai Allah). Seri kali ini membahas mengenai hal-hal yang patut dijadikan ibrah. Tentu saja hal-hal tersebut merupakan perkara yang diridhai oleh Allah sebagaimana dalam Ayat di atas.

Salah satu ibrah yang dapat diambil dari sejarah yakni peristiwa di bulan Muharram. Saat itu di zaman Nabi, bulan Muharram tercatat sebagai bulan Hijrah Nabi dan para Sahabat.

Pertama, ada adegan sangat memilukan yang dialami oleh Hadraturrasul Muhammad bersama Abu Bakar As-Shiddiq. Mereka berdua sudah masuk gua tapi benar-benar terlacak. Orang kafir waktu itu menggunakan logika akal sehatnya secara murni, begitu mereka melihat ada laba-laba yang membuat rumah dan burung yang bersarang di mulut gua, maka logika mereka mengatakan “tidak mungkin Muhammad masuk gua ini, kalau masuk pasti sarang laba-laba ini rusak dan burung itu kabur.”

Apakah setiap logika itu benar?. Ternyata tidak benar. Di sinilah pertarungan logika dengan fakta. Andai saja orang-orang kafir itu sedikit menanggalkan logikanya, maka pasti akan mengetahui Hadraturrasul dan Abu Bakar di dalam gua. Di sini salah satu contoh rasionalitas yang terlalu diandalkan. Islam tidak mengajarkan seperti itu. Yang diajarkan Islam yakni ada suprasional di atas yang rasional.

Begitu pula penghayatan manusia tentang keyakinan. Islam mengistilahkannya dengan Ilmul Yaqin (logika), ‘Ainul Yaqin (realitas), Haqqul Yaqin (substansial)—bukan kondisi formal, tapi masih substansial. Ibarat ilmul yaqin itu kita melihat di kejauhan ada asap. Dengan ilmu kita, ada asap berarti di situ ada api. Begitu kita masuk ke sana dan betul memang ada api. Saat kita melihat asap dan berfikir logis, itu disebut ilmul yaqin. Kemudian apa yang kita perkirakan benar-benar fakta bahwa ada api, itu disebut ‘ainul yaqin. Lalu membuktikan dengan menyentuh api tersebut dan merasakan panasnya, itu dinamakan haqqul yaqin. Seperti yang didramakan oleh Allah terhadap Musa a.s, ketika beraudisi di bukit turi sinin melihat api.

Artinya, semua hal memang harus dipahami melalui logika atau ‘ilmul yaqin. Namun, itu bukan satu-satunya yang dipakai dalam Islam.

Kedua, kegagalan dari orang mendambakan rasional bisa menjadi fatal karena hakikat Allah sendiri juga tidak bisa dibaca sekedar rasional. Karena itu di dalam peristiwa hijrah seperti ini, kita bisa melihat bagaimana perhitungan Hadraturrasul saat melakukan hijrah.

Sebelum berangkat Hijrah, Abu Bakar menawarkan unta kepada Nabi sebagai kendaraan, “Ya Rasul, saya sudah mempersiapkan unta untuk perjalanan kita”. Kata Nabi, “Terima kasih, saya sudah mempersiapkannya sendiri (unta Aswad).” Di situ dapat dipeljari bahwa Nabi tidak melulu mudah menerima sesuatu secara cuma-cuma (gratis). Tidak harus seorang mukmin itu suka dikasihani. Seorang mukmin harus mampu menolak pemberian orang lain dan melibatkan harta bendanya sendiri untuk perjalanan spiritualnya. Untuk itu mestinya seorang mukmin itu membiayai agamanya sendiri. Agar menjadi mukmin yang memberi, bukan yang diberi.

Apa yang terjadi ketika Muhammad mengendarai unta Aswad itu?. Saat tiba di Madinah, semua sahabat Ansar berebut memberikan tumpangan rumah. Mereka semua ingin agar Nabi memakai rumahnya sebagai sentral dakwah di Madinah. Keputusan itu diserahkan kepada untanya. Kendali unta dilepas dan dibiarkan berjalan semaunya, hingga unta itu berhenti di depan rumah Abu Ayyub Al-Anshari.

Ini menunjukkan bahwa sangat mungkin bahwa ada hewan yang mempunya insting ilahiyyah—bukan untuk menebak juara piala dunia. Tentu saja unta Aswad diberi inspirasi oleh Allah. Ternyata dalam rumah tersebut terdapat dua anak yatim. Kalau ingin kaya rawatlah anak yatim, kalau ingin miskin rawatlah tuyul.

وَالۡعَصۡرِ اِنَّ الۡاِنۡسَانَ لَفِىۡ خُسۡرٍۙ ِالَّا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوۡا بِالۡحَقِّ ۙ وَتَوَاصَوۡا بِالصَّبۡر بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Pentranskip: Yuniar Indra (Mahasantri Tebuireng).