Sumber: google.com

Oleh: Yayan Musthofa*

Sawang sinawang kalau dalam istilah agama lebih mirip dengan al-mukmin miratul mukmin. Melihat kondisi orang lain untuk perbaikan diri sendiri sangat dianjurkan. Apakah sudah cakep atau masih butuh dirias ulang setelah melihat cermin. Asalkan tidak kebablasan menjadi negatif hingga menor (rasan-rasan).

Hal ini pernah dilakukan oleh seorang lelaki beranak tiga yang pernah berterus terang iri terhadap tetangga beranak tujuh. Bukan masalah ekonomi atau banyaknya anak, melainkan ketenangan jiwa dalam menjalani hidup.

Ia bercerita bahwa dari segi ekonomi, asetnya lebih banyak dengan jabatan owner perusahaan dibanding tetangganya. Di desa, ia lebih dikenal sebagai juragan, sedangkan tetangganya hanya buka jasa gilingan (selep) dan guru ngaji TPQ. Fisik rumah pun jauh penampilannya.

Yang menjadi pikiran, kenapa tetangganya masih terlihat santai dengan tujuh anak, semuanya sekolah. Bahkan dulu waktu masih MI, anak pertama tetangga itu lebih cerdas dibanding anaknya. Terhitung sering mewakili sekolah dalam lomba antarsekolah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pertanyaannya simpel, bagaimana si tetangga menghadapi SPP anak-anaknya dilihat dari segi ekonomi?  Bagaimana dengan pendidikan mereka di luar sekolah? Jika dibanding dirinya menjelang akhir bulan, ia sudah merasa kebingungan tidak tenang memikirkan SPP ketiga anaknya plus pendidikan di luar sekolah seperti privat atau les.

Dari situ kemudian, si lelaki mengkaji latar belakangnya dan latar belakang tetangga. Ia sampai pada hipotesis awal bahwa pembedanya adalah mondok. Tetangganya alumni pesantren dan hafal Al-Quran (suami istri), sedangkan dirinya hanya sekolah umum. Untuk meyakinkan pikirannya, ia mengamati alumni pesantren yang ada di desanya. Ternyata mirip semua. Mereka terlihat tenang dibanding dirinya.

Lelaki tiga anak itu mulai penasaran dengan pesantren lantas menggali informasi untuk memondokkan anaknya. Ia tidak ingin generasi penerusnya ketakutan dan resah. Apalagi mendengar “menjelang akhir bulan” yang semua kebutuhan sowan bareng-bareng ke rumah minta dipenuhi. Dalam benaknya kemudian berubah tentang kebutuhan masa depan. Anak-anaknya pasti bisa bertahan. Yang perlu disiapkan adalah kondisi lahir batin dan ketenangan hidup yang tidak semua orang bisa memiliki. Seperti perbandingan dirinya dengan si tetangga.

Sebetulnya, untuk hidup tenang, santai, dan tidak resah perihal dunia tidak harus mondok. Jauh-jauh hari Imam Al-Ghazali telah memberikan delapan pondasi untuk meraih hal tersebut. Di antaranya adalah kehormatan yang sebenarnya adalah takwa kepada Allah, ketentuan Allah Swt. terkait rizki sudah ditetapkan sejak zaman azali, tempat bersandar yang hakiki adalah Allah, tiada yang abadi selain apa yang ditransaksikan di jalan Allah, mengekang hawa nafsu, dan seterusnya.

Untuk mengimplementasikan delapan nilai Hujjatul Islam itu salah satu jawabannya memang pondok pesantren. Meskipun, pasti ada satu dua santri atau alumni pondok yang belum terpatrikan nilai-nilai tersebut dalam diri dengan baik, atau bahkan gagal.

Bukan berarti juga kalau lembaga non-pesantren tidak bisa menghasilkan pribadi yang tenang. Hanya saja, yang lebih menonjol dalam hal ini kinerja pesantren.

Seperti ada salah satu alumni SMK yang jualan martabak di pinggir jalan. Beliau sudah mempunyai dua anak. Bapak itu pernah menggelitik kesadaran salah satu alumni pondok di Mojokerto tahun 2016. Pasalnya, sembari menunggu prosesi wisuda dan penyerahan ijazah, santri ini ingin menambah pengalaman dalam dunia usaha. Dia terjun melamarkan jasa di rumah makan, pertanian, sampai yang terakhir penjual martabak . Harapannya, dia mendapatkan tambahan pengalaman dan ilmu sebelum semester pertama di perkuliahan aktif.

Yang ia dapatkan dari ilmu martabak, tidak hanya memproses bahan hingga jadi martabak. Bapak itu juga memberikan upah dan pelajaran hidup. Bahan martabak yang tidak layak jual dari segi fisik, dijadikan bonus pembeli atau dimakan sendiri; jadwal rutin pengajian kitab di salah satu masjid, jualan libur; tidak boleh iri kepada sesama penjual atau khawatir tidak laku; mengajarkan semua resep tanpa dikurangi dan ia tidak khawatir disaingi oleh orang yang diajari; dan seterusnya.

Jawaban bapak itu tegas. Bahwa rezeki sudah ditetapkan Allah SWT, walaupun kita jualan bersandingan. Mengajarkan apa yang kita ketahui adalah keharusan, tanpa mengurangi pengetahuan. Dan membagikan apa yang lebih dari kebutuhan kita adalah ajaran kanjeng Rasul.

Pendirian penjual martabak inilah yang menggelitik. “Bahwa selain santri, ternyata ada orang yang laku tasawufnya sudah tinggi”, pikir alumni alumni 2016 itu. Bahkan bukan sekedar teori pesantren yang bapak itu mungkin tidak mengerti. Akan tetapi perbuatan dan ucapannya sudah menunjukkan kedalaman tasawufnya.

Setinggi-tinggi derajat manusia, ternyata masih mempunyai kekhawatiran dan ketakutan. Bapak penjual martabak itu ternyata juga resah dan takut. Ia takut kalau akhir hidupnya tidak khusnul khatimah.


*Penulis adalah Tim Pustaka Tebuireng.