Pernahkah kita bayangkan dalam satu masjid terdapat jamaah dari berbagai Madzhab ataupun golongan yang mengatasnamakan diri non madzhab shalat dalam satu barisan shaf yang sama. Tanpa ada pertikaian cara mana yang dipakai, bacaan mana yang boleh dibaca dan mana yang tidak. Mungkin ada beberapa teman yang pernah mengalami ini, namun penulis tidak pernah. Baru kali ini ketika mendapat kesempatan berkunjung ke Australia dalam program Muslim Exchange Program penulis menemukan pengalaman yang sangat berharga tentang bagaimana menjadi seorang Muslim yang menghargai Muslim lainnya yang belum saya dapatkan ketika tinggal di Indonesia.
Ya, Indonesia, negara tempat saya hidup, mencari makan, berkeluarga dan juga beribadah yang dikenal sebagai negara dengan jumlah pemeluk terbesar di dunia. Namun disini juga kita banyak mendengar tentang pertikaian yang mengatasnamakan agama. Mulai dari yang terkecil tentang perbedaan bacaan dalam shalat, kemudian konflik tingkat menengah tentang perebutan kuasa atas masjid yang mengatasnamakan ideologi agama sampai pertikaian dalam arti fisik antar kelompok agama dalam Islam.
Adakah solusi yang bisa diberikan? Secara normatif kita akan menjawab bahwa Negara harusnya yang memberikan solusi, memberikan rasa aman dan keadilan sesuai dengan amanat Undang-Undang. Terutama untuk menyelesaikan semua masalah diatas yang berhubungan dengan konflik horisontal yang bisa merugikan kepentingan individu maupun golongan.
Namun tulisan ini tidak akan berusaha menjawab pertanyaan diatas, ataupun berusaha memberikan saran ataupun kritikan terhadap negara apa yang harusnya dilakukan untuk memberikan rasa aman dan keadilan tersebut.
Tulisan ini hanya memberikan satu cerita pengalaman tentang interaksi penulis sebagai utusan dari Pondok Pesantren Tebuireng ketika bertemu dengan beberapa komunitas Muslim (tepatnya dua komunitas) di Melbourne Australia.
Komunitas pertama yang saya temui adalah Islamic Council of Victoria (ICV) atau bisa sebut dengan Dewan (juga bisa disebut Majelis) Islam Negara bagian Victoria. Awalnya saya berasumsi akan bertemu dengan lembaga yang secara normatif mengorganisir umat Islam di Melbourne atau di Victoria, Negara bagian dimana kota Melbourne berada. Paparan awal masih biasa-biasa aja. Namun ketika mereka mulai menceritakan tentang betapa multikultural Australia yang juga berdampak kepada Masjid dimana lembaga tersebut kelola, penulis mulai termangu dan merasa begitu takjub.
Yang membuat penulis terkesima adalah fakta dimana Masjid tersebut menerima semua kelompok sunni (Madzhab dan non Madzhab) dan bahkan dalam beberapa kesempatan juga menerima jamaah Syiah untuk turut serta dalam setiap peribadatan yang dilakukan. Masjid ini juga menerima jamaah dari etnik manapun tanpa diskriminasi. Kondisi ini tentu bagi saya sesuatu yang baru mengingat dalam beberapa kesempatan konflik perebutan Masjid di Indonesia cukup santer terdengar. Semisal satu organisasi Islam mendirikan Masjid dan mengelola cukup lama. Namun keadaan ini bisa berubah ketika terdapat organisasi lain yang berusahatake over / menguasai masjid tersebut. Keadaan di beberapa negara di Eropa yang pernah penulis baca atau denger juga mempunyai keadaan yang berbeda seperti di Australia. Dimana sebagian besar Masjid di Eropa dikelola sesuai dengan etnik atau suku bangsa. Seperti imigran Turki akan mendirikan Masjid Turki dan seterusnya.
Hal ini, dimana Masjid menerima semua cabang ideologi dalam islam, membuat persaudaraan antara mereka cukup erat dan secara otomatis membuat perbedaan dan kemungkinan adanya pertikaian semakin hilang. Memang ada satu pertanyaan yang menggelitik dalam hal ini. Bagaimana mereka dapat menegasikan perbedaan tersebut sedangkan banyak orang di banyak negara sampai harus memanggul senjata untuk menafikan perbedaan tersebut?
Salah satu jawaban yang cukup bagus yang kami dengar adalah karena mereka fokus terhadap masalah eksternal. Sebagai minoritas di negara yang mayoritas bukan Islam, menonjolkan perbedaan dan pertikaian karena perbedaan pandangan agama adalah bukanlah aktivitas yang produktif dan menguntungkan. Yang terjadi sebaliknya, penghancuran dari dalam yang mengakibatkan semakin lemahnya agama dan jugasurvivalitas komunitas di negara asing dimana mereka tinggal.
Jawaban ini juga di dukung oleh Prof. Abdullah Saaed dalam diskusi yang dilakukan di kantor beliau di Universitas Melbourne. Dia mengatakan bahwa fokus terhadap masalah eksternal yang berhubungan dengan masalah dan kebutuhan esensial mereka di kehidupan sehari-hari membuat mereka merasakan bahwa perbedaan dalam pandangan agama bukanlah masalah utama. Problem seperti kemiskinan, kurang adanya akses pendidikan atau hukum terhadap Muslim di Australia yang kekurangan serta tidak adanya pekerjaan bagi Muslim yang baru bermigrasi ke Australia adalah masalah yang lebih utama untuk dibicarakan bersama daripada pertikaian tentang pemahaman agama.
Disamping itu, hubungan yang berkualitas antara hamba dengan Sang Maha Pencipta jauh lebih mudah dan berkualitas ketika tidak ada pertikaian sektarial yang malah menggangu terbangunnya hubungan tersebut. Keadaan ini ditambah lagi aturan hukum di Australia yang betul-betul menjamin kemerdekaan seseorang untuk menjalankan perintah agama tanpa ada intervensi dari pihak lain. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya umat Islam yang dapat membangun Masjid di Australia.
Penulis juga mendapatkan tambahan pencerahan ketika berkunjung ke salah satu Masjid lain yang dikelola oleh komunitas Turki di Melbourne. Sebagaimana Masjid yang dikelola ICV, mereka juga mempunyai kebijakan yang sama. Bahwa mereka memberikan kesempatan bagi kelompok lain, dari madzhab lain untuk menggunakan Masjid tersebut asal digunakan sesuai aturan dan tanpa ada upaya intervensi atau hujatan terhadap kelompok lain.
Seorang jamaah bernama Muid Rahman juga berkata bahwa sejak kecil semua jamaah diberi edukasi bahwa semua orang yang mengucapkan dua kalimah syahadah adalah seorang Muslim, terlepas dari afiliasi kelompok keagamaan dan etnik dimana mereka berasal.
Pemahaman seperti ini tentu memberikan efek yang sangat luas di masyarakat Muslim di Australia, paling tidak di kota Melbourne dimana kami mendapat kesempatan untuk berkunjung. Ini dibuktikan dengan adanya silahturahmi yang terjalin, persaudaraan tanpa mengastanamakan kelompok Islam tertentu menjadi semakin erat hanya dengan mengatakan mereka sebagai seorang Muslim yang sama-sama mencari ridha Yang Maha Kuasa.
Pertanyaannya kemudian, bisakah kita semua mewujudkan umat Islam yang seperti ini di Indonesia. Tidak ada lagi penyerangan yang mengatasnamakan agama, tidak lagi mendengar tentang penguasaan masjid oleh satu kelompok tertentu dan tidak ada lagi tuduhan menyakitkan terhadap satu ritual tertentu yang kadangkala berujung pada justifikasi fisik terhadap kelompok tersebut.
Alangkah baiknya jika umat Islam di Indonesia lebih berkonsentrasi terhadap problem eksternal seperti akses pendidikan yang mahal dan tidak bisa diakses kecuali bagi umat Islam yang kaya. Berkonsentrasi untuk membantu membuat akses kesehatan murah atau bahkan gratis terhadap masyarakatMISKIN di Indonesia yang hampir pasti (untuk tidak mengatakan semua) adalahUMAT ISLAM. Membantu untuk memberikan akses bantuan hukum kepada umat Islam marginal yang seringkali kesusahan hanya karena mencuri sebatang bambu atau singkong untuk kebutuhan sehari-hari.
Jika ini bisa kita wujudkan dan perbedaan bisa kita negasikan, kita akan betul-betul bisa melihat banyaknya ragam keyakinan berada dalam satu masjid besar guna mewujudkan satu persaudaraan untuk sama-sama mencari keagungan Yang Maha Kuasa di muka bumi dan menyebarkannya secara harmoni kepada seluruh umat manusia.
Muhammad Asad, Direktur LSPT (Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng)