Santri Tebuireng

Membaca Marxis akan selalu disuguhkan dengan pemikiran-pemikiran yang sifatnya emansipatoris. Maka tak asing jika berbagai pemikiran Marxis atau pun turunan Marxis akan terus digunakan dalam membaca realitas kemasyarakatan. Hingga kini ide-ide Marxis atau turunannya yang dikenal dengan Neo-Marxis masih banyak bertebaran dan mengalami berbagai modifikasi.

Gramsci, sebagai intelektual Neo-Marxis juga memodifikasi beberapa bagian dari ide pokok Marx. Dalam geliatnya, Gramsci berbeda pandangan dengan Marx dalam penentuan superstruktur. Jika Marx beranggapan ekonomi sebagai superstruktur atau basis perubahan, maka Gramsci lebih mengedepankan ideologi atau budaya sebagai basis perubahan.

Gramsci dalam perjalanan intelektualnya pernah dijebloskan ke penjara oleh rezim fasis Italia. Di penjara ia mengarang buku yang kini diberi judul “Selections of Prison of Notebooks”. Buku ini berawal dari catatan-catatan Gramsci ketika berada di penjara lalu dikumpulkan oleh para muridnya dan dikodifikasi menjadi satu buku.

Dalam buku tersebut terdapat beberapa pemikiran penting Gramsci seperti, hegemoni, negara, pendidikan, kritik atas materialisme, rakyat sipil, dan intelektual. Dalam pembahasan ini tidak akan memaparkan pemikiran Gramsci secara keseluruhan namun hanya menyoroti “intelektual” terkhusus pada “intelektual organik” untuk memotret fenomena santri.

Intelektual Organik

Dalam karyanya, Gramsci pernah mengatakan “All men are potentially intellectuals in the sense of having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social function” (Gramsci, 1971). Yang artinya intelektual adalah mereka yang memiliki fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat, politik, kebudayaan dan sebagainya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Berawal dari itu lalu Gramsci mengkategorikan intelektual menjadi dua bagian. Pertama, intelektual tradisional yakni, intelektual yang hanya menengok masyarkat dari kejauhan tanpa keinginan lebih untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Tidak ada keinginan merubah realitas penindasan adalah ciri paling utama. Sedangkan yang kedua, intelektual  organik yakni, intelektual yang terlibat langsung dalam masyarakat juga melek dan berpihak pada kaum tertindas.

Tujuan dari intelektual organik ialah melakukan gerakan sosial serta memformulasikan kebudayaan secara komprehensif. Sederhananya, intelektual organik melakukan pergerakan secara menyeluruh. Juga melakukan transfer keilmuan dari pihak lemah. Hal ini dilakukan agar masyarakat atau pihak lemah terbebas dari dogma dan belenggu penindasan.

Santri Sebagai Intelektual Organik

Santri yang lazim diketahui bahwa mereka merupakan murid yang memelajari agama (Islam) dan tinggal di suatu hunian yang dinamakan pondok pesantren. Kehidupan yang begitu lekat dengan keilmuan khususnya ilmu agama (Islam) menjadikan santri memiliki tanggung jawab keilmuan untuk menyebarkan, mengajarkan ilmunya ketika lulus mendatang.

Keharusan untuk mengajar tersebut sangat kentara tersebar di sekitar kita betapa banyaknya guru-guru Ngaji yang sangat ikhlas mengajarkan ilmunya pada berbagai lapisan masyarakat tanpa memberikan tarif sepeser pun. Tidak mengenal status sosial si murid, guru ngaji tersebut terus dengan sangat tabah menjalankan tanggung jawab keilmuannya.

Di sini terlihat bagaimana seorang guru ngaji atau kiai memainkan peran intelektual organiknya. Gerakan penghapusan buta huruf arab terus dilakukan. Pencerahan terhadap ilmu keagamaan terus didengungkan. Pembentukan suatu budaya terus digarap.

Di sisi lain tanggung jawab keilmuan, santri juga seyogyanya menjadi pencerah terhadap segala persoalan yang berada di tengah-tengah masyarakat, baik dalam ranah lokal maupun nasional. Jika di ranah lokal kita mengenali kiai desa atau pun guru ngaji desa, di ranah nasional kita mengenal kiai-kiai tersohor, gus-gus besar yang harum namanya. Persoalan mutakhir seperti demokrasi, kesetaraan gender, LGBT-Q, dan lain sebagainya sangat membingungkan masyarakat. Di sini perlunya kaum santri untuk memberi pencerahan bagi persoalan tersebut.

Perlu dicatat bahwa disini santri tidak diartikan secara sempit yang hanya merujuk pada seorang murid yang sedang menempuh pembelajaran di pesantren melainkan merujuk secara luas pada seorang yang sedang atau pernah menempuh pendidikan di pesantren. Sehingga kiai-kiai atau pun gus-gus di luar sana secara rendah hati juga masih menyandang sebagai seorang santri.

Akhir-akhir ini angin segar sedikit berhembus karena tidak sedikit para santri berhasil meluaskan perannnya dalam berbagai bidang, seperti politik, sosial, ekonomi, budaya, seni dan lain sebagainya. Namun perlu digarisbawahi bahwa mereka yang berkiprah di berbagai bidang tersebut apakah masih menjadi intelektual organik? Ataukah menjadi intelektual tradisional yang tidak membela kaum lemah? Wallahu a`lam Bi Shawwab


Ditulis oleh Satrio Dwi Haryono, Santri Pondok Ngeboran, Boyolali