Risalah Nasihat Imam al-Ghazali untuk Santrinya (Bagian-9)

ayyuhal-walad-9أَيُّهَا الوَلَدُ، بَعْدَ اليَوْمِ لَاتَسْأَلْنِي مَا أُشْكِلَ عَلَيْكَ إِلَّا بِلِسَانِ الجَنَانِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: (وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّىٰ تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ). وَاقْبَلْ نَصِيْحَةَ الخَضْرِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ قَالَ: (فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا). وَلَاتَسْتَعْجِلْ حَتَّى تَبْلُغَ أَوَانَهُ فَيَنْكَشِفَ لَكَ وَتَرَاهُ: (سَأُرِيكُمْ آيَاتِي فَلَا تَسْتَعْجِلُون) فَلَا تَسْأَلْنِي قَبْلَ الوَقْتِ، وَتَيَقَّنْ أَنَّكَ لَاتَصِلُ إِلَّا بِالسَّيْرِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: (أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا)

Wahai santriku, jangan menanyakan suatu problematika setelah hari ini kecuali dengan bahasa hati, karena ada firman Allah Taala, “Apabila mereka bersabar hingga engkau (Muhammad) keluar kepada mereka, maka hal itu lebih baik bagi mereka.” Terimalah nasihat Nabi Khidir a.s. ketika berucap, “Jangan menanyakan sesuatu kepadaku hingga aku memberitahukanmu penjelasannya.” Jangan terburu-buru hingga kamu sampai pada waktu yang tepat, dan tersingkap bagimu, lantas kamu akan melihatnya, “Akan Kami tunjukkan pada kalian tanda-tandaKu, janganlah tergesa-gesa.” Jangan menanyakan padaku sebelum waktunya, yakinlah bahwa dirimu hanya akan sampai tujuan dengan perjalanan spiritual, karena ada firman Allah Taala, “Apakah mereka belum berjalan di bumi hingga mereka melihat.

-o0o-

أَيُّهَا الوَلَدُ، بِاللهِ إِنْ تَسِرْ تَرَ العَجَائِبَ فِي كُلِّ مَنْزِلٍ. وَابْذُلْ رُوْحَكَ فَإِنَّ رَأْسَ هَذَا الأَمْرِ بَذْلُ الرُّوْحِ. كَمَا قَالَ ذُو النُّوْنِ المِصْرِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى لِأَحَدِ تَلَامِذَتِهِ: إِنْ قَدَرْتَ عَلَى بَذْلِ الرُّوْحِ فَتَعَالَ، وَإِلَّا فَلَا تَشْتَغِلْ بِتُرَّهَاتِ الصُّوْفِيَّةِ

Wahai santriku, demi Allah, apabila kamu menjalankan spiritual maka engkau akan menemukan keajaiban pada setiap makam (pemberhentian). Kerahkan jiwamu, karena sesungguhnya pokok perkara ini adalah pengoptimalan spiritual. Seperti yang diungkapkan Dzun Nun al-Misri rahimahullah ta’ala kepada salah satu muridnya: “Apabila kamu mampu mengoptimalkan spiritual, silahkan. Apabila tidak mampu, maka jangan terpikat dengan bualan para sufi.”

-o0o-

أَيُّهَا الوَلَدُ، إِنِّي أَنْصَحُكَ بِثَمَانِيَةِ أَشْيَاءَ. إِقْبَلْهَا مِنِّي لِئَلَّا يَكُوْنَ عِلْمُكَ خَصْمًا عَلَيْكَ يَوْمَ القِيَامَةِ. تَعْمَلُ مِنْهَا أَرْبَعَةً، وَتَدَعُ مِنْهَا أَرْبَعَةً. أَمَّا اللَّوَاتِي تَدَعُ

Wahai santriku, kusarankan kamu dengan delapan perkara, terimalah dariku agar ilmumu tidak menjadi lawanmu di hari Kiamat. Kerjakan empat darinya dan tinggalkan empat sisanya. Adapun empat yang harus ditinggalkan adalah:

(فَأَحَدُهَا) أَلَّا تُنَاظِرَ أَحَدًا فِي مَسْأَلَةٍ مَا اسْتَطَعْتَ، لِأَنَّ فِيْهَا آفَاتٍ كَثِيْرَةً. فَإِثْمُهَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهَا، إِذْ هِيَ مَنْبَعُ كُلِّ خُلُقٍ ذَمِيْمٍ كَالرِّيَاءِ وَالحَسَدِ وَالكِبْرِ وَالحِقْدِ وَالعَدَاوَةِ وَالمُبَاهَاةِ وَغَيْرِهَا. نَعَمْ لَوْ وَقَعَ مَسْأَلَةٌ بَيْنَكَ وَبَيْنَ شَخْصٍ أَوْ قَوْمٍ، وَكَانَتْ إِرَادَتُكَ فِيْهَا أَنْ يَظْهَرَ الحَقُّ وَلَايَضِيْعُ، جَازَ (لَكَ) البَحْثُ لَكِنْ لِتِلْكَ الإِرَادَةِ عَلَامَتَانِ: إِحْدَاهُمَا أَلَّا تُفَرِّقَ بَيْنَ أَنْ يَنْكَشِفَ الحَقُّ عَلَى لِسَانِكَ أَوْ عَلَى لِسَانِ غَيْرِكَ. وَالثَّانِيَةُ أَنْ يَكُوْنَ البَحْثُ فِي الخَلَاءِ أَحَبُّ إِلَيْكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ فِي المَلَاءِ

Pertama, jangan berdebat dengan seorang pun dalam suatu persoalan sebisa kamu, karena di dalamnya terdapat bencana yang besar. Dosanya lebih besar dari pada manfaatnya, sebab hal tersebut adalah pokok dari setiap sifat tercela seperti riya’, hasud, sombong, dendam, permusuhan, congkak, dan lainnya.

Baiklah, apabila terjadi padamu suatu persoalan antara kamu dan seseorang atau penduduk, dan keinginanmu ialah untuk memperjelas kebenaran, tidak menghilangkannya, maka pembahasan tersebut boleh bagimu. Akan tetapi untuk keinginan tersebut ada dua tanda. Pertama, hendaklah kamu tidak membedakan antara kebenaran yang tersingkap dari ucapanmu atau tersingkap dari ucapan orang lain. Kedua, pembahasan tersebut hendaklah dilakukan di tempat yang sepi –yang lebih kamu utamakan– ketimbang di hadapan publik.

وَاسْمَعْ إِنِّي أَذْكُرُ لَكَ هَاهُنَا فَائِدَةً، وَاعْلَمْ أَنَّ السُّؤَالَ عَنِ المُشْكِلَاتِ عَرْضُ مَرَضِ القَلْبِ عَلَى الطَّبِيْبِ، وَالجَوَابُ لَهُ سَعْيٌ لِإِصْلَاحِ مَرَضِهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ الجَاهِلِيْنَ المَرْضَى قُلُوْبُهُمْ، وَالعُلَمَاءَ الأَطِبَّاءُ، وَالعَالِمَ النَّاقِصَ لَايُحْسِنُ المُعَالَجَةَ، وَالعَالِمَ الكَامِلَ لَايُعَالِجُ كُلَّ مَرِيْضٍ، بَلْ يُعَالِجُ مَنْ يَرْجُوْ قَبُوْلَ المُعَالَجَةِ وَالصَّلَاحِ وَإِذَا كَانَتِ العِلَّةُ مُزْمِنَةً أَوْ عَقِيْمًا لَاتَقْبَلُ العِلاَجَ فَحَذَاقَةُ الطَّبِيْبِ فِيْهِ أَنْ يَقُوْلَ هَذَا لَايَقْبَلُ العِلاَجَ فَلَاتَشْتَغِلْ فِيْهِ بِمُدَاوَاتِهِ لِأَنَّ فِيْهِ تَضْيِيْعَ العُمُرِ

Dengarkanlah, sesungguhnya aku sebutkan suatu manfaat padamu di sini. Ketahuilah bahwasanya pertanyaan akan sebuah permasalahan (apa adanya) menunjukkan penyakit hati kepada dokter. Sedangkan jawabannya adalah usaha untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Ketahuilah bahwasanya orang bodoh yang sakit adalah hatinya, dan orang berilmu adalah dokternya.

Orang berilmu rendah tidak ahli dalam menyembuhkan, sedangkan orang berilmu expert tidak menyembuhkan setiap orang sakit, akan tetapi menyembuhkan orang yang mengharapkan kesembuhan dan kesehatan. Apabila penyakit itu kronis atau tidak bisa disembuhkan, maka dokter yang cerdas dalam masalah ini akan berucap “Penyakit ini tidak bisa disembuhkan, jangan fokus mengobatinya sebab hanya akan menyia-nyiakan umur.”

ثُمَّ اِعْلَمْ أَنَّ مَرَضَ الجَهْلِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْوَاعٍ: أَحَدُهَا يَقْبَلُ العِلَاَج وَالبَاقِي لَايَقْبَلُ. أَمَّا الَّذِي لَايَقْبَلُ العِلاَجَ فَأَحَدُهَا مَنْ كَانَ سُؤَالُهُ وَاعْتِرَاضُهُ عَنْ حَسَدِهِ وَبُغْضِهِ، فَكُلَّمَا تُجِيْبُهُ بِأَحْسَنِ الجَوَابِ وَأَفْصَحِهِ وَأَوْضَحِهِ، فَلَا يَزِيْدُ لَهُ ذَلِكَ إِلَّا بُغْضًا وَعَدَاوَةً وَحَسَدًا. فَالطَّرِيْقُ أَلَّا تَشْتَغِلَ بِجَوَابِهِ، فَقَدْ قِيْلَ

Kemudian ketahuilah bahwa sakit bodoh ada empat macam. Salah satunya bisa disembuhkan dan selebihnya tidak. Adapun yang tidak tidak bisa disembuhkan, salah satunya adalah pertanyaan yang bersumber dari hasud dan kebencian. Semakin kamu menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang bagus, jelas, dan gamblang, maka hanya semakin bertambah benci, memusuhi, dan hasud. Oleh sebab itu, caranya adalah jangan menjawabnya. Telah diungkapkan sebagai berikut:

كُلُّ العَدَاوَةِ قَدْ تُرْجَى إِزَالَتُهَا    *    إِلَّا عَدَاوَةَ مَنْ عَادَاكَ عَنْ حَسَدٍ

Setiap permusuhan terkadang bisa diselesaikan * kecuali permusuhan seorang yang memusuhimu dari hasudnya.

فَيَنْبَغِي أَنْ تُعْرِضَ عَنْهُ وَتَتْرُكَهُ مَعَ مَرَضِهِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: (فَأَعْرِضْ عَن مَّن تَوَلَّىٰ عَن ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا). وَالحَسُوْدُ بِكُلِّ مَا يَقُوْلُ وَيَفْعَلُ يُوْقِدُ النَّارَ فِي زَرْعِ عَمَلِهِ، كَمَا قَالَ النَّبِي عَلَيْهِ السَّلَامُ: الحَسَدُ يَأْكُلُ الحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الحَطَبَ

Maka hendaklah kamu berpaling dan meninggalkannya bersama sakitnya. Allah SWT berfirman: “Berpalinglah kamu dari orang yang berpaling dari zikir kepadaKu, dan ia tidak menginginkan kecuali kehidupan dunia.” Orang-orang hasud dalam setiap ucapan dan tindakannya selalu menyalakan api pada tanaman perbuatan baiknya. Seperti sabda Nabi SAW: “Hasud memakan kebaikan seperti api melahap kayu bakar.”

وَالثَّانِي أَنْ تَكُوْنَ عِلَّتُهُ مِنَ الحَمَاقَةِ وَهُوَ أَيْضًا لَايَقْبَلُ العِلَاجَ، كَمَاقَالَ عِيْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ: إِنِّي مَاعَجَزْتُ عَنْ إِحْيَاءِ المَوْتَى وَقَدْ عَجَزْتُ عَنْ مُعَالَجَةِ الأَحْمَقِ. وَذَلِكَ رَجُلٌ يَشْتَغِلُ بِطَلَبِ العِلْمِ زَمَنًا قَلِيْلًا وَيَتَعَلَّمُ شَيْئًا مِنَ العِلْمِ العَقْلِيِّ وَالشَّرْعِيِّ فَيَسْأَلُ وَيَعْتَرِضُ مِنْ حَمَاقَتِهِ عَلَى العَالِمِ الكَبِيْرِ الَّذِي مَضَّى عُمْرُهُ فِي العُلُوْمِ العَقْلِيَّةِ وَالشَّرْعِيَّةِ. وَهَذَا الأَحْمَقُ لَايَعْلَمُ وَيَظُنُّ أَنَّ مَاأُشْكِلَ عَلَيْهِ وَهُوَ أَيْضًا مُشْكِلٌ عَلَى العَالِمِ الكَبِيْرِ. فَإِذَا لَمْ يَعْلَمْ هَذَا القَدْرَ يَكُوْنُ سُؤَالُهُ مِنَ الحَمَاقَةِ. فَيَنْبَغِي أَلَّا تَشْتَغِلَ بِجَوَابِهِ

Kedua (dari sifat bodoh), kelemahan seseorang bersumber dari ketololannya yang juga tidak menerima kesembuhan. Seperti yang diucapkan oleh Nabi Isa a.s.: Sesungguhnya aku tidak lemah dari menghidupkan orang mati, tapi aku lemah dari menyembuhkan orang tolol.

Orang itu sibuk mencari ilmu dalam tempo waktu sebentar, mempelajari ilmu logika dan syariah, lalu bertanya –dan berpaling dari ketololannya– kepada seorang alim besar yang menghabiskan umurnya mempelajari ilmu-ilmu logika dan syariah. Orang tolol ini tidak mengetahui dan mengira bahwa apa yang menjadi problemnya –adalah juga– permasalahan bagi orang alim besar tersebut. Apabila orang tolol tersebut tidak mengerti kapasitas ini, maka pertanyaannya bersumber dari ketololan. Seyogianya, kamu tidak menyibukkan diri menjawabnya.

وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَرْشِدًا وَكُلُّ مَا لَا يَفْهَمُ مِنَ الكَلَامِ الأَكَابِرِ يُحْمَلُ عَلَى قُصُوْرِ فَهْمِهِ وَكَانَ سُؤَالُهُ لِلْإِسْتِفَادَةِ، لَكِنْ يَكُوْنُ بَلِيْدًا لاَيُدْرِكُ الحَقَائِقَ، فَلَايَنْبَغِي الإِشْتِغَالُ بِجَوَابِهِ أَيْضًا، كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَحْنُ مَعَاشِرَ الأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا أَنْ نُكَلِّمَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ

Ketiga (dari sifat bodoh), hendaknya seseorang itu selalu menjadi orang yang minta petunjuk, dan setiap ucapan ulama besar yang tidak dipahami ditarik pada keterbatasan pemahaman. Hendaknya pertanyaannya ditujukan untuk belajar. Akan tetapi jika orang itu bodoh dan tidak mengetahui realitas, maka seyogianya jangan sibuk menjawabnya juga. Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW: “Kami para nabi diperintah untuk berbicara kepada manusia sesuai kadar akal mereka.”

وَأَمَّا المَرَضُ الَّذِي يَقْبَلُ العِلَاجَ فَهُوَ أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَرْشِدًا عَاقِلًا فَهِمًا، لَايَكُوْنُ مَغْلُوْبَ الحَسَدِ وَالغَضَبِ وَحُبِّ الشُّهْرَةِ وَالجَاهِ وَالمَالِ، وَيَكُوْنُ طَالِبَ الطَّرِيْقِ المُسْتَقِيْمِ، وَلَمْ يَكُنْ سُؤَالُهُ وَاعْتِرَاضُهُ عَنْ حَسَدٍ وَتَعَنُّتٍ وَامْتِحَانٍ. وَهَذَا يَقْبَلُ العِلَاجَ فَيَجُوْزُ أَنْ تَشْتَغِلَ بِجَوَابِ سُؤَالِهِ، بَلْ يَجِبُ عَلَيْكَ إِجَابَتُهُ

Adapun sakit yang menerima sembuh adalah orang yang meminta petunjuk, berakal, dan paham. Orang tersebut tidak dikalahkan oleh hasud, marah, cinta popularitas, cinta kedudukan, dan cinta harta. Orang itu juga mencari jalan yang lurus. Pertanyaan dan pemaparannya tidak bersumber dari hasud, keras kepala, dan menyepelehkan. Orang ini menerima penyembuhan, maka boleh untuk menjawab pertanyaannya, bahkan wajib bagimu untuk menjawabnya.

(وَالثَّانِي) مِمَّا تَدَعُ هُوَ أَنْ تَحْذَرَ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ وَاعِظًا وَمُذَكِّرًا لِأَنَّ فِيْهِ آفَةً كَثِيْرَةَ، إِلَّا أَنْ تَعْمَلَ بِمَا تَقُوْلُ أَوَّلًا ثُمَّ تَعِظَ بِهِ النَّاسَ. فَتَفَكَّرْ فِيْمَا قِيْلَ لِعِيْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ: يَاابْنَ مَرْيَمَ عِظْ نَفْسَكَ فَإِنِ اتَّعَظَتْ فَعِظِ النَّاسَ وَإِلَّا فَاسْتَحِ مِنْ رَبِّكَ

Kedua (dari perkara yang harus ditinggalkan), hendaknya berhati-hati menjadi pendakwah atau pengingat karena di dalamnya terdapat fitnah yang besar, kecuali terlebih dahulu kamu mengerjakan apa yang kau ucapkan, kemudian kamu nasihatkan kepada manusia. Renungkan apa yang diucapkan kepada Nabi Isa a.s.: “Wahai anak Maryam, nasihati dirimu. Apabila dirimu sudah dinasihati, maka berilah nasihat kepada manusia, karena jika tidak demikian, malulah kepada Tuhanmu.”

وَإِنْ اُبْتُلِيْتَ بِهَذَا العَمَلِ فَاحْتَرِزْ عَنْ خَصْلَتَيْنِ: الأُوْلَى عَنِ التَّكَلُّفِ فِي الكَلَامِ بِالعِبَارَاتِ وَالإِشَارَاتِ وَالطَّامَّاتِ وَالأَبْيَاتِ وَالأَشْعَارِ، لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يُبْغِضُ المُتَكَلَّفِيْنَ، وَالمُتَكَلِّفُ المُتَجَاوِزُ عَنِ الحَدِّ يَدُلُّ عَلَى خَرَابِ البَاطِنِ وَغَفْلَةِ القَلْبِ. وَمَعْنَى التَّذْكِيْرِ أَنْ يَذْكُرَ العَبْدُ نَارَ الآخِرَةِ وَتَقْصِيْرَ نَفْسِهِ فِي خِدْمَةِ الخَالِقِ، وَيَتَفَكَّرَ فِي عُمُرِهِ المَاضِي الَّذِي أَفْنَاهُ فِيْمَا لَايُعِيْنُهُ، وَيَتَفَكَّرَ فِيْمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ العَقَبَاتِ مِنْ عَدَمِ سَلَامَةِ الِإيْمَانِ فِي الخَاتِمَةِ، وَكَيْفِيَّةِ حَالِهِ فِي قَبْضِ مَلَكِ المَوْتِ وَهَلْ يَقْدِرُ عَلَى جَوَابِ مُنْكَرٍ وَنَكِيْرٍ، وَيَهْتَمَّ بِحَالِهِ فِي القِيَامَةِ وَمَوَاقِفِهَا، وَهَلْ يَعْبُرُ عَنِ الصِّرَاطِ سَالِمًا أَمْ يَقَعُ فِي الهَاوِيَةِ؟ وَيَسْتَمِرُّ ذِكْرُ هَذِهِ الأَشْيَاءِ فِي قَلْبِهِ فَيُزْعِجُهُ عَنْ قَرَارِهِ. فَغَلَيَانُ هَذِهِ النِّيْرَانِ وَنَوْحَةُ هَذِهِ المَصَائِبَ يُسَمَّى تَذْكِيْرًا

Apabila kamu diuji dengan kesibukan ini, maka berhati-hatilah dari dua kondisi. Pertama, dari tanggung jawab dalam ucapan dengan narasi, isyarat, sindiran, bait-bait, dan syi’ir. Karena Allah membenci orang-orang mukallaf yang melanggar batas, yang menunjukkan kerusakan batin dan kelalaian hati.

Tujuan dari tadzkir (peringatan) ialah ingatnya seorang hamba akan neraka di hari Kiamat dan keterbatasan dirinya dalam mengabdi pada Pencipta. Juga memikirkan umurnya yang telah lewat, yang telah menggilasnya dalam permasalahan yang tidak membantunya. Memikirkan pula permasalahan yang dihadapi dari sisa umurnya yang belum tentu menyelamatkan imannya di penghujung hidup. Dan (memikirkan) keadaannya dalam mendekap malaikat maut, apakah ia mampu menjawab Munkar dan Nakir. Memperhatikan keadaannya di hari Kiamat dan tempat pemberhentiannya, apakah ia (mampu) melewati as-Shirath dengan selamat atau tercebur ke dalam neraka Hawiyah? Terus mengingat permasalahan-permasalahan ini dalam hatinya lalu melemahkan kemantapannya. Dorongan-dorongan api dan ratapan keluh kesah musibah-musibah ini disebut dengan tadzkir “peringatan”.

وَإِعْلَامُ الخَلْقِ وَإِطْلَاعُهُمْ عَلَى هَذِهِ الأَشْيَاءِ وَتَنْبِيْهُهُمْ عَلَى تَقْصِيْرِهِمْ وَتَفْرِيْطِهِمْ وَتَبْصِيْرِهِمْ بِعُيُوْبِ أَنْفُسِهِمْ لِتَمَسَّ حَرَارَةُ هَذِهِ النِّيْرَانِ أَهْلَ المَجْلِسِ وَتُجْزِعَهُمْ تِلْكَ المَصَائِبُ لِيَتَدَارَكُوْا العُمُرَ المَاضِيَ بِقَدْرِ الطَّاقَةِ وَيَتَحَسَّرُوْا عَلَى الأَيَّامِ الخَالِيَةِ فِي غَيْرِ طَاعَةِ اللهِ تَعَالَى: هَذِهِ الجُمْلَةُ عَلَى هَذَا الطَّرِيْقِ تُسَمَّى وَعْظًا

Memberitahukan manusia dan menginformasikan atas perkara-perkara ini, serta mewanti-wanti (memperingatkan) dari keterbatasan, kecerobohan, dan pengelihatan mereka pada aib diri mereka sendiri ketika panas api neraka ini menyentuh penghuninya. Musibah-musibah itu melemahkan mereka agar memperbaiki umur yang telah lewat sesuai kadar kemampuan, dan menyesali hari-hari tanpa ketaatan kepada Allah Taala: Semua dalam jalan ini disebut dengan “dakwah”.

كَمَا لَوْ رَأَيْتَ أَنَّ السَّيْلَ قَدْ هَجَمَ عَلَى دَارِ أَحَدٍ، وَكَانَ هُوَ وَأَهْلُهُ فِيْهَا، فَتَقُوْلُ: الحَذَرَ الحَذَرَ، فِرُّوْا مِنَ السَّيْلِ. وَهَلْ يَشْتَهِي قَلْبُكَ فِي هَذِهِ الحَالَةِ أَنْ تُخْبِرَ صَاحِبَ الدَّارِ خَبَرَكَ بِتَكَلُّفِ العِبَارَاتِ النُّكَتِ وَالإِشَارَاتِ؟ فَلَا تَشْتَهِي البَتَّةَ، فَكَذَلِكَ حَالُ الوَاعِظِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَجْتَنِبَهَا

Seperti halnya ketika kamu melihat banjir bandang melenyapkan rumah seseorang, sedangkan penghuni dan keluarganya di dalam rumah. Maka kamu akan berucap: “Awas, awas, larilah dari banjir!” Apakah hatimu akan bertele-tele –dalam masalah ini– untuk memberitahukan penghuni rumah tentang informasimu dengan banyolan (humor) dan kiasan? Kamu tidak akan bertele-tele sama sekali. Seperti halnya itu ialah keadaan seorang pendakwah, seyogianya menjauhi bertele-tele.

وَالخَصْلَةُ الثَّانِيَةُ أَلَّا تَكُوْنَ هِمَّتُكَ فِي وَعْظِكَ أَنْ يَنْعَرَ الخَلْقُ فِي مَجْلِسِكَ أَوْ يُظْهِرُوْا الوُجْدَ وَيَشُقُّوْا الثِّيَابَ لِيُقَالَ: نِعْمَ المَجْلِسُ هَذَا. لِأَنَّ كُلَّهُ مَيْلٌ لِلدُّنْيَا، وَهُوَ يَتَوَلَّدُ مِنَ الغَفْلَةِ. بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ عَزْمُكَ وَهِمَّتُكَ أَنْ تَدْعُوَ النَّاسَ مِنَ الدُّنْيَا إِلَى الآخِرَةِ وَمِنَ المَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ وَمِنَ الحِرْصِ إِلَى الزُّهْدِ  وَمِنَ البُخْلِ إلِىَ السَّخَاءِ وَمِنَ الشَّكِّ إِلَى اليَقِيْنِ وَمِنَ الغَفْلَةِ إِلَى اليَقِظَةِ وَمِنَ الغُرُوْرِ إلِىَ التَّقْوَى، وَتُحَبِّبَ إِلَيْهِمْ الآخِرَةَ وَتُبَغِّضَ إِلَيْهِمْ الدُّنْيَا، وَتُعَلِّمَهُمْ عِلْمَ العِبَادَةِ وَالزُّهْدِ، وَلَاتُغِرَّهُمْ بِكَرَمِ اللهِ تَعَالَى عَزَّ وَجَلَّ وَرَحْمَتِهِ لِأَنَّ الغَالِبَ فِي طِبَاعِهِمْ الزَّيْغُ عَنْ مَنْهَجِ الشَّرْعِ وَالسَّعْيُ فِيْمَا لَايَرْضَى اللهُ تَعَالَى بِهِ وَالإِسْتِعْثَارُ بِالأَخْلَاِق الرَّدِيَّةِ. فَأَلْقِ فِي قُلُوْبِهِمْ الرُّعْبَ وَرَوِّعْهُمْ وَحَذِّرْهُمْ عَمَّا يَسْتَقْبِلُوْنَ مِنَ المَخَاوِفِ، لَعَلَّ صَفَاتِ بَاطِنِهِمْ تَتَغَيَّرُ وَمُعَامَلَةَ ظَاهِرِهِمْ تَتَبَدَّلُ وَيَظْهَرُ الحِرْصُ وَالرُّغْبَةُ فِي الطَّاعَةِ وَالرُّجُوْعِ عَنِ المَعْصِيَةِ

Kondisi kedua (dari ujian menjadi da’i), hendaknya jangan berambisi dalam dakwahmu menjadikan para hadirin meraung-raung dalam majelismu, menjadi histeris, atau menyobek-nyobek baju sehingga diungkapkan, “Ini adalah sebaik-baik majelis.” Sebab semua itu condong pada duniawi yang lahir dari ghaflah (lalai). Akan tetapi, seyogianya niat dan tujuanmu adalah untuk mengajak manusia dari dunia kepada akhirat, dari maksiat menjadi taat, dari tamak menjadi zuhud, dari pelit menjadi dermawan, dari ragu menjadi yakin, dari lalai menjadi terjaga, terkelabuhi menjadi takwa, mencintakan mereka pada akhirat, membencikan mereka pada dunia, mengajarkan mereka pengetahuan ibadah dan zuhud, tidak menjadikan mereka puas dengan kebaikan Allah Taala ‘Azza wa Jalla dan rahmatNya. Sebab, pada umumnya dalam kepribadian mereka terdapat rasa benci pada syariat, usaha pada sesuatu yang Allah SWT tidak meridainya, dan tersandung dalam akhlak yang hina.

Tanamkan rasa takut dalam hati mereka, takuti, dan peringatkan mereka tentang peristiwa mengerikkan yang akan dihadapi, agar sifat-sifat batin mereka berubah dan kebiasaan zahirnya berganti, sehingga nampak hasrat dan cintanya untuk taat dan bertobat dari maksiat.

وَهَذَا طَرِيْقُ الوَعْظِ وَالنَّصِيْحَةِ، وَكُلُّ وَعْظٍ لَايَكُوْنُ هَكَذَا فَهُوَ وَبَالٌ عَلَى مَنْ قَالَ وَسَمِعَ. بَلْ قِيْلَ: إِنَّهُ غَوْلٌ وَشَيْطَانٌ يَذْهَبُ بِالخَلْقِ عَنِ الطَّرِيْقِ وَيُهْلِكُهُمْ، فَيَجِبُ عَلَيْهِمْ أَنْ يَفِرُّوْا مِنْهُ لِأَنَّ مَايُفْسِدُ هَذَا القَائِلُ مِنْ دِيْنِهِمْ لَايَسْتَطِيْعُ بِمِثْلِهِ الشَّيْطَانُ. وَمَنْ كَانَتْ لَهُ يَدٌ وَقُدْرَةٌ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْزِلَهُ عَنْ مَنَابِرِ المَوَاعِظِ وَيَمْنَعَهُ عَمَّا بَاشَرَ فَإِنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الأَمْرِ بِالمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ المُنْكَرِ

Ini adalah tata cara berdakwah dan menasihati. Setiap nasihat yang tidak seperti ini terkutuk keduanya, baik pembicara maupun pendengarnya. Bahkan dikatakan: Bahwa ia adalah ghaul, setan yang menyapu bersih makhluk dan menghancurkan mereka dari jalanan. Mereka harus berlari darinya karena yang merusak ini adalah pembicara dari agama mereka sendiri yang setan tidak bisa sepertinya. Barangsiapa mempunyai kekuatan dan kekuasaan harus menurunkannya dari mimbar dakwah dan mencegahnya dari yang ia mulai, sebab ini bagian dari amar makruf dan nahi munkar.

(وَالثَّالِثُ) مِمَّا تَدَعُ أَلَّا تُخَالِطَ الأُمَرَاءَ وَالسَّلَاطِيْنَ وَلَاتَرَاهُمْ، لِأَنَّ رُؤْيَتَهُمْ وَمُجَالَسَتَهُمْ وَمُخَالَطَتَهُمْ آفَةٌ عَظِيْمَةٌ. وَلَوْ اُبْتُلِيْتَ بِهَا، دَعْ عَنْكَ مَدْحَهُمْ وَثَنَاءَهُمْ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَغْضَبُ إِذَا مُدِحَ الفَاسِقُ وَالظَّالِمُ. وَمَنْ دَعَا لِطُوْلِ بَقَائِهِمْ فَقَدْ أَحَبَّ أَنْ يُعْصَى اللهُ فِي أَرْضِهِ

Ketiga, –dari perkara yang harus ditinggalkan adalah– hendaklah kamu tidak bercampur dengan para pemimpin dan para sultan, bahkan jangan melihat mereka. Karena melihat mereka, berkumpul bersama mereka, dan berinteraksi dengan mereka adalah ancaman besar. Apabila kamu dicoba dalam kondisi ini, maka hindarilah pujian dan sanjungan pada mereka. Sebab Allah Taala marah jika seorang fasik dan zalim dipuji. Dan barangsiapa berdoa untuk kepanjangan umur mereka, maka ia benar-benar menginginkan Allah disepelekan (dimaksiati) di bumiNya.

(وَالرَّابِعُ) مِمَّا تَدَعُ أَلَّا تَقْبَلَ شَيْئًا مِنْ عَطَاءِ الأُمَرَاءِ وَهَدَايَاهُمْ، وَإِنْ عَلِمْتَ أَنَّهَا مِنْ الحَلَالِ. لِأَنَّ المَطْمَعَ مِنْهُمْ يُفْسِدُ الدِّيْنَ، لِأَنَّهُ يَتَوَلَّدُ مِنْهُ المُدَاهَنَةُ وَمُرَاعَاةُ جَانِبِهِمْ وَالمُوَافَقَةُ فِي ظُلْمِهِمْ. وَهَذَا كُلُّهُ فَسَادٌ فِي الدِّيْنِ. وَأَقَلُّ مَضَرَّتِهِ أَنَّكَ إِذَا قَبِلْتَ عَطَايَاهُمْ وَانْتَفَعْتَ مِنْ دُنْيَاهُمْ أَحْبَبْتَهُمْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَحَدًا يُحِبُّ طُوْلَ عُمُرِهِ وَبَقَائِهِ بِالضَّرُوْرَةِ، وَفِي مَحَبَّةِ بَقَاءِ الظَّالِمِ إِرَادَةٌ (لِدَوَامِ) الظُّلْمِ عَلَى عِبَادِ اللهِ تَعَالَى وَإِرَادَةُ خَرَابِ العَالَمِ. فَأَيُّ شَيْءٍ يَكُوْنُ أَضَرَّ مِنْ هَذَا لِلدِّيْنِ وَالعَاقِبَةِ؟ وَإِيَّاكَ إِيَّاكَ أَنْ يَخْدَعَكَ اِسْتِهْوَاءُ الشَّيَاطِيْنِ أَوْ قَوْلُ بَعْضِ النَّاسِ لَكَ بِأَنَّ الأَفْضَلَ وَالَأوْلَى أَنْ تَأْخُذَ الدِّيْنَارَ وَالدِّرْهَمَ مِنْهُمْ وَتُفَرِّقَهُمَا بَيْنَ الفُقَرَاءِ وَالمَسَاكِيْنِ فَإِنَّهُمْ يُنْفِقُوْنَ فِي الفِسْقِ وَالمَعْصِيَةِ، وَإِنْفَاقُكَ عَلَى ضُعَفَاءِ النَّاسِ خَيْرٌ مِنْ إِنْفَاقِهِمْ، فَإِنَّ اللَّعِيْنَ قَدْ قَطَعَ أَعْنَاقَ كَثِيْرٍ مِنَ النَّاسِ بِهَذِهِ الوَسْوَسَةِ، وَقَدْ ذَكَرْنَاهُ فِي إِحْيَاءِ العُلُوْمِ فَاطْلُبْهُ ثَمَّةَ

Keempat, –dari perkara yang harus ditinggalkan adalah– hendaklah kamu tidak menerima suatu pemberian dan hadiah dari para pemimpin, meskipun kau mengetahui bahwa hadiah itu halal.  Sebab, ambisi mereka adalah menghancurkan agama. Sebagian sikap yang lahir dari pemberian itu adalah penjilat, keberpihakan pada pemerintah, dan keterlibatan dalam tirani mereka. Ini semua adalah ancaman besar dalam agama.

Bahaya paling kecil apabila kamu menerima pemberian para pemimpin dan mengambil keuntungan dari dunia mereka adalah kamu pasti mencintai mereka. Barangsiapa mencintai seseorang, ia pasti menginginkan kepanjangan umurnya dan keberadaannya. Adapun keinginan langgeng buat seorang zalim berarti menginginkan berlangsungnya aniaya atas hamba Allah Taala, juga menginginkan hancurnya alam semesta. Maka adakah perkara yang lebih membahayakan bagi agama dan hari esok selain (pemberian para pemimpin) ini?

Awas! Berhati-hatilah dari tipu muslihat para setan kepadamu atau ucapan sebagian manusia padamu, bahwa “yang lebih utama adalah mengambil dinar dan dirham mereka, lalu membagi-bagikannya pada para fakir dan miskin. Sesungguhnya para pemimpin itu memboroskannya dalam kefasikan dan kemaksiatan, sedangkan pembagianmu pada para duafa’ lebih baik dari pembelanjaan mereka.” Sesungguhnya keparat ini telah memenggal banyak leher manusia dengan bisikan tersebut. Kami telah menyebutkannya dalam Ihya’ al-Ulum, carilah di sana!


*Diterjemahkan oleh Yayan Mustofa dari Kitab Ayuhal Walad, sebuah risalah balasan Imam Abu Hamid al-Ghazali kepada seorang muridnya yang bertanya tentang permasalahannya.