Sumber gambar: https://insists.id/kepeloporan-pendidikan-islam-di-jakarta/

Oleh: Syaifulloh, S.Psi. M.PdI.

“Akhlak pelajar (santri) pada dirinya sendiri. Etika pelajar terhadap dirinya sendiri, yaitu: pertama, harus mensucikan hatinya dari setiap sesuatu yang mempunyai unsur menipu, kotor, penuh rasa dendam, hasut, keyakinan yang tidak baik, dan budi pekerti yang tidak baik, hal itu dilakukan supaya ia  pantas untuk menerima ilmu, menghafalkannya, meninjau kedalaman maknanya dan memahami makna yang tersirat.” (Terjemah Kitab Adabul Alim Wal Muta’allim, Bab 2).

Bagi seorang santri  menjadi sangat penting dalam menata hati pada dirinya sendiri di dalam mencari ilmu. Dengan hati yang bersih dan niatan yang benar dalam mencari ilmu, maka itu akan memudahkan santri dalam mencapai kompetensi. Santri perlu diberikan pembelajaran untuk mengenalkan dirinya dan kebutuhan hatinya ketika menapak menjadi santri yang berakhlakul karimah.

Menurut Imam Ghazali membagi hati ini menjadi tiga keadaan:

  1. Hati yang sehat

Hati yang sehat adalah hatinya orang-orang yang beriman dan senantiasa beramal saleh. Hati yang selalu terfokuskan pada makna dari Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah.”

Manusia dengan hati yang sehat maka akan selalu berikhtiar. Berikhtiar untuk selalu bisa berbuat yang terbaik bagi Allah. Selain itu orang yang hatinya sehat akan selalu berikhtiar agar dapat selalu bermanfaat bagi orang lain. Sungguh sangat berbahagialah orang-orang yang hatinya sehat, karena mereka akan dapat merasakan betapa manisnya iman.

Potensi hati yang sehat ini sudah ada pada setiap diri santri melalui didikan orang tuanya ketika di rumah. Ketika menuju tempat mencari ilmu, keberhasilan dalam memperoleh ilmu juga tergantung seberapa besar motivasi untuk melakukan pemantapan hati dalam meraih ilmu dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup yang semua itu dapat memengaruhi hati atau mental.

Menurut Zakiah Darajat, kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose)  dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose) dan merupakan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Kesehatan mental juga berarti terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk melengkapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Bila santri memperoleh pengalaman belajar yang bermakna  tentang teori dan praktik serta melihat keseharian pembina dan segenap stakeholder pengelola yang memiliki akhlak baik, maka secara otomatis mereka mendapat teladan dari lingkungan dan orang-orang yang bisa diteladani dengan baik dan benar dalam kehidupan sosial yang sesungguhnya. Bila pondok pesantren memiliki santri model seperti ini, tidak ada perjuangan pembina dan pengasuh untuk bisa menjadi pembina dan pengasuh yang sesungguhnya karena santri sudah memiliki sifat baik untuk mentaati dan mengikuti semua aturan pondok pesantren, akhirnya tidak ada pengalaman untuk memecahkan masalah santri.

  1. Hati yang Sakit

Hati yang sakit adalah hatinya orang yang paling merugi, semoga kita semua tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang hatinya sakit, terutama saya sendiri sebagai makhluk yang sangat dhoif. Hati yang sakit adalah hatinya orang-orang yang munafik. Seperti yang sudah difirmankan Allah dalam Surat An-Nisa ayat 142 yang artinya :

“Sesungguhnya orang-orang munafik ingin menipu Allah, padahal Allah lah yang telah menipu mereka, jika mereka mengerjakan shalat mereka mengerjakannya dengan rasa malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalatnya) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit saja.”

Untuk bisa menjadikan akhlak yang baik bagi santri dalam mengenal dirinya sendiri perlu dijauhkan dari lingkungan orang-orang munafik yang dapat memberi pengaruh negatif pada hati atau mental santri. Orang munafik ini selalu ada di setiap komunitas dan orang seperti ini bisa bermain peran dengan sebaik-baiknya agar dianggap orang baik dan terbaik di lingkungannya.

Ada kecenderungan memiliki kejiwaan yang labil dengan menggunakan diksi selalu membanggakan dirinya pada masa lalu. Selalu memandang masalah masa kini dengan membandingkan apa yang dilakukan masa lalu dengan membanggakan dirinya melalui batas kewajaran. Ketika melakukan komunikasi  dan berada di suatu komunitas biasanya suka membicarakan kejelekan individu atau komunitas yang lain. Penyakit kejiwaan yang tidak disadari oleh dirinya sendiri. Orang seperti ini harus segera dibawa ke psikolog untuk diperiksa kejiwaannya. Bila terus memberikan aura negatif tentunya akan memengaruhi secara signifikan pada lingkungan terdekat.

Melihat kenyataan munafik dalam orientasi cenderung kepada hakikat keduniawian dan  orang seperti ini  mental atau hatinya sakit. Orang yang hatinya sakit itu biasanya suka membenci orang lain yang tidak sepandangan. Cenderung suka pujian  yang melambung tinggi untuk menyenangkan hatinya. Bila orang seperti ini dijadikan panutan atau tokoh untuk mendidik santri maka kemungkinan santrinya tidak akan memperoleh akhlak yang baik karena modelnya adalah model yang salah.

Pada kondisi ini bila pesantren memiliki santri yang hatinya sakit maka kemungkinan para pembina dan pengasuh memiliki peluang dan pengalaman untuk bisa menyembuhkan mental/hati sakit untuk disembuhkan di pondok pesantren melalui pembinaan dan pengasuhan yang ideal dan telat sesuai fitrah manusia.

  1. Hati yang Mati

Hati yang sudah mati adalah hatinya arang kafir. Seperti yang sudah dijelaskan Allah dalam firmannya Al-Baqoroh ayat 6 – 7 yang artinya :

(6) “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.”

(7) “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”

Bila pondok pesantren bisa menjadikan sebagai tempat penyadaran dan hakikat kembalinya manusia menuju kebenaran, maka itulah hakikat tertinggi manusia bisa mengajak hati mati menuju hati yang bersinar sehingga bisa menyinari kebaikan di bumi ini, seperti kisah Umar Bin Khatab dari kafir menjadi muslim pejuang agama Islam.

Setiap komponen di pondok pesantren atau lembaga pendidikan sangat penting membelajarkan santri mencapai kompetensi individu dengan membelajarkan santri untuk menyucikan hatinya dari setiap sesuatu yang mempunyai unsur menipu, kotor, penuh rasa dendam, hasut, keyakinan yang tidak baik, dan budi pekerti yang tidak baik, hal itu dilakukan supaya ia  pantas untuk menerima ilmu, menghafalkannya, meninjau kedalaman maknanya dan memahami makna yang tersirat.”

Tipikal santri yang bisa menjadi tawadu baik yang tersurat dan tersirat dalam kehidupan dirinya pada masa kini dengan mencapai kompetensi individu sebagai santri yang berakhlaqul karimah. Untuk menerima ilmu, baik ilmu umum dan ilmu agama yang setimbang, mampu menghafalkan Al Quran dan Hadits dan berbagai macam kitab yang menjadi rujukan keilmuan agama Islam yang benar, dapat meninjau kedalaman maknanya dari ilmu-ilmu yang diperoleh di pondok pesantren dan memahami makna yang tersirat dari kandungan ilmu yang begitu luas dan bermakna sebagai bekal mencapai kompetensi individu sebagai bekal hidup dan kehidupan di dunia dan akhirat.


*Penulis adalah pengamat pendidikan.