ilustrasi: www.google.com

Oleh: Luluatul Mabruroh*

Ini memang terasa sangat aneh, bahkan lebih aneh dan bermisteri dari cerita-cerita ksatria templar. Dan barangkali lebih rumit dari teori relativitas Albert Einstein. Ini cerita dari langit, tentang anak-anak langit, dan tentang orang-orang yang hidup di belakang matahari…

Meigi Rush menyandarkan punggungnya pada tembok rumah yang mulai terlihat kusam dan mengelupas dimana-mana menandakan bahwa si pemilik tak pernah peduli dan memperhatikannya. Sejak kepergian kedua orang tuanya 3 tahun yang lalu karena kecelakaan yang kabarnya disengaja, Meigi pensiun dari karirnya sebagai pemain biola dan meninggalkan Eropa beserta seluruh aset kekayaannya, dia kembali ke kampung halaman dimana pernah dibesarkan, rumah mungil di pesisir laut Mediterania. Ia tinggal sendiri dan sesekali hanya menyapa tetangga untuk meminta bantuan saat listrik padam.

Meigi meletakkan biola disisi kakinya yang selonjor di atas tikar usang di beranda rumah mungilnya. Ia menghembuskan napas keras-keras, kepalanya berdenyut sakit sekali. Belakangan ia terusik dengan kehadiran seseorang setelah sekian lama ia hidup damai dengan dirinya sendiri. Dia, seorang lelaki dengan warna kulit pucat dan memiliki mata sendu yang anehnya kadang terlihat berkilat penuh kobaran misteri. Dia mengaku bernama Valiant Arriyez. Perkenalan mereka secara tidak sengaja terjadi pada suatu sore saat Meigi bermain biola dengan ditemani lumba-lumba pantai yang melompat-lompat di sela bebatuan. Lagu… karya… menemani sorenya yang tenang sebelum tiba-tiba seseorang duduk disebelahnya dengan tanpa kata. Meigi terdiam dan menghentikan aktifitasnya menggesek biola. Ia menatap heran seorang pemuda berwajah pucat disebelahnya.

“Hallo?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Hai, aku Valliant,” tanpa basa-basi pemuda tersebut memperkenalkan diri. Meigi menaikkan alisnya. Dalam hati dia bertanya-tanya, adakah pemuda di depannya adalah seorang turis yang berkunjung ke laut Mediterania dan tersesat lalu terpisah dari rombongannya?

“Aku bukan turis yang tersesat di sini. Siapa namamu, nona?” tanya Valliant dengan wajah santai. Meigi terperangah karena Valliant seperti bisa membaca pikirannya sebelum sempat mengucapkan sepatah kata sebelum menjawab pertanyaan Valiant.

“A-aku Meigi Rush,” Meigi mengulurkan tangan membalas uluran tangan Valliant yang sedari tadi menggantung menunggu balasan.

“Senang bertemu denganmu,” Valliant tersenyum tipis yang dibalas senyuman canggung Meigi.

“Dari mana kau berasal, kenapa bisa sampai di sini?” tanya Meigi mencairkan keadaan.

“Aku dari atas,” tunjuk Valliant ke arah langit. Mata Meigi mengikuti arah telunjuk Valliant ke arah langit. Lalu korneanya kembali turun menatap wajah Valliant.

“Humormu lucu sekali,” Meigi tersenyum terpaksa.

“Kau tidak percaya?” Valliant memastikan dengan tampang serius.

“Haha iya iya anggap saja aku percaya,” ujar Meigi melempar canda, tapi Valliant tetap menatapnya serius yang membuat Meigi terkesiap dan terdiam seketika.

“Baiklah, aku percaya,” ralat Meigi. Sesederhana itu perkenalan mereka, membuat Meigi kembali menemukan dunia lain selain dunia kesenderiannya selama tiga tahun. Semakin mengenal Valliant, semakin Meigi terheran dengan keanehan latar belakang dan tingkah laku Valliant yang tidak sewajarnya. Bagaimanapun sendirinya Meigi selama 3 tahun, dia tetap tidak bisa lupa bahwa ia pernah hidup di Eropa dan menjadi manusia biasanya yang paham bagaimana manusia biasa bersikap dan bertingkah. Pada suatu sore, Valliant memberikan sebuah catatan yang ditulis tangan dengan perkamen pada Meigi. Usai membacanya di rumah pada malam harinya, Meigi tak paham dengan isi dari catatan dan cerita-cerita Valliant yang menurutnya lebih terlihat sebagai dongeng belaka. Meigi menduga bahwa Valliant adalah seorang yang mengidap suatu syndrome dan memiliki kelainan psikis.

Apakah mungkin dia pasien sakit jiwa yang melarikan diri? Entah, disisi lain otaknya menolak mentah-mentah asumsi bahwa Valliant adalah pasien sakit jiwa, sebab nyatanya dia selalu terkungkung dalam pusaran hitam mata Valliant. Namun tidak bisa disangkal bahwa catatan Valliant menggelitik rasa penasarannya. Surat itu bercerita tentang anak-anak langit dan orang-orang yang hidup di belakang matahari. Siapa anak-anak langit? Tetap saja Meigi tak berani mengambil kesimpulan bahwa lelaki aneh yang suka memenuhi pantai dengan gambar-gambar aneh namun memiliki daya magis itu adalah orang gila. Begitupun Meigi tak berani menarik kesimpulan bahwa Valliant adalah pendongeng yang senag membual dan mengada-ada. Kenyataannya, lelaki yang cukup menarik perhatiannya itu sudah cukup membuat Meigi tak berani, tak berani berfikir bahwa tak seharusnya ia diam-diam mulai menaruh hati pada pemuda asing dan aneh penikmat senja laut Mediterania.

                                                            @        @        @

Rambut panjang Meigi berkibar saat diterpa angin pantai yang kencang. Langkahnya mendekati sosok tinggi berkulit pucat yang tengah duduk di atas pasir menatap laut lepas dengan damai. Lelaki aneh yang tak pernah usai menyapa ombak dan pasir setiap matahari menggantung rendah di ufuk barat. Valiant menyadari kedatangan Meigi dan menatapnya dengan penuh sambutan suka cita. Saat ini wajah pucatnya terlihat kusut, namun mata sendunya seketika berbinar cerah saat menyambut kedatangan Meigi. Meigi menjatuhkan diri di atas pasir dan duduk di sebelah Valliant.

       “Apa kabar nona aloof?” Valliant menyapa ramah, mata sendunya yang mulai bersinar cerah jelas-jelas sangat disukai oleh Meigi. Tanpa bisa dipungkiri, Meigi selalu menggigil saat mendari bahwa dia selalu tenggelam dalam pusaran hitam pupil Valliant yang magis.

        “Aloof? Penyendiri? Kau pikir aku seorang yang penyendiri?” tersedak Meigi memaksakan tawa setengah terpaksa dan sisanya terasa nyeri di dadanya.

      “Jelas begitu keadaannya. Kau jelas-jelas seorang pemain biola berbakat, tapi kini kau begitu takut keramain semoga saja aku tidak salah mengira bahwa kau adalah pengidap Asperger Syndrome.”

Meigi terdiam, ia tau betul tentang Asperger Syndrome karena mungkin ia adalah salah satu pengidapnya. Penderita Asperger Syndrome, penyakit orang kreatif dan eksentrik yang penyendiri. Korban tuntutan keadaan. Kemajuan zaman menciptakan kemunduran mental. Hari-hari sibuk dan persaingan ketat tak menyisakan ruang untuk bernapas. Menciptakan kaum pekerja yang tak mengenal diam. Diam justru membuatnya merasa bersalah jika harus istirahat.  Mendengar hal itu, membuat hatinya diserang rasa benci yang tiba-tiba. Meigi menatap biolanya dan menyentuh ujung scxroll dengan tatapan kosong.

            “Oh, maaf maksudku bukan begitu Meigi. Tapi menurutku itu tidak buruk. Toh akupun mengidapnya.” Ungkapan Valliant sontak membuat Meigi menoleh meminta penjelasan dengan tatapannya.

        “Meigi, di tengah manusia yang sibuk dengan kepenatan pekerjaan yang tak ada habisnya, menyisakan ruang untuk melihat keindahan kecil dan menikmati ketenangan merupakan hal luar biasa yang Tuhan karuniakan pada kita,” Meigi menatap dengan rasa haru yang membuncah di dadanya.

           “Ngomong-ngomong, apa yang membawamu kemari?” Valliant memecah kebungkaman Meigi, Meigi tersadar dari lamunannya, dengan segera ia menepis perasaan kacaunya.

        “Ah, ya. Tentang catatanmu tempo hari, tentang anak-anak langit,” Valliant dengan segera meredam ekspresi terkejutnya karena pertanyaan Meigi yang tiba-tiba. Ia tersenyum, senyum yang yang membawa seribu kekuatan yang menusuk-nusuk perasaan Meigi dengan lembut. Hatinya bergetar aneh, sama anehnya dengan lelaki di depannya. Namun melihat Valliant tidak menggubris petanyaannya, membuat Meigi sekali lagi melontarkan pertanyaan.

           “Apa kau hanya sedang mengajakku mendongeng, Valliant?” Meigi mulai terlihat kesal dengan sikap Valliant yang tidak segera membuka suara. Lebih-lebih ekspresi kesalnya untuk menutupi rasa gugup dan detak jantung Meigi yang berdentam keras.

      “Aku tidak sedang mengajakmu berdongeng, tapi aku ingin mengajakmu melihat kenyataan dan kebenaran.”

            “Kenyataan dan kebenaran?”

        “Mari, ikuti aku. Aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, Valliant beranjak dari duduknya diikuti Meigi yang masih menatap heran. Valliant bergerak mendekati pantai menuju ombak yang berdebur. Dari jauh Meigi tidak melihat apapun yang ingin ditunjukkan oleh Valliant. Saat mendekati bibir pantai, barulah saat itu ia menyadari sesuatu. Meigi terpaku menatap pasir di bawahnya. Tepat di depan mata kakinya, sebuah gambar yang tidak dipahami oleh Meigi. Hatinya sibuk mereka-reka maksud dari gambar di depannya.

        “Valliant, apa ini?” Meigi menatap Valliant sebentar, lalu matanya beralih menatap gambar di bawah kakinya.

     “Lihatlah dengan seksama,” perintah Valliant. Saat Meigi sibuk mengira-ngira gambar Valliant, di otaknya tiba-tiba terbersit satu jawaban.

         “Matahari?”

Valliant mengembangkan senyum.

         “Matahari pecah?”

Valliant mengangguk, sekarang matanya dipenuhi kobaran yang lagi-lagi membuat Meigi terpana.

    “Kenapa mesti pecah pada sisi kirinya? Apa maksudnya, Valliant?” Meigi bersikeras mendapatkan jawaban dari rasa penasaran yang mulai membuncah.

        “Aku akan menceritakan banyak hal kepadamu nanti malam”

Bersambung….