Pajak merupakan instrumen fiskal yang selalu berhasil membangkitkan hasrat jouissance para birokrat. Saya baru saja membaca berita tentang rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Itu telah memicu perdebatan sengit.
Tentu saja, pemerintah punya argumennya sendiri. Mereka berdalih bahwa kenaikan PPN penting untuk mendongkrak pendapatan negara dan mempercepat pemulihan ekonomi. Namun, di sisi lain, kenaikan PPN juga berpotensi membebani masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan bawah.
Saya merenungkan dilema etis yang tersimpan di balik instrumen fiskal yang tampaknya artifisial dan dingin ini. Rencana kenaikan PPN menjadi 12% telah memicu perdebatan panas di Indonesia. Saya melihatnya sebagai pertarungan antara kepentingan negara dan hak rakyat, sebuah pergulatan dalam memaknai arti keadilan sosial.
Dan seperti biasa, pemerintah dengan sigap mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu “demi kepentingan nasional.” Sebuah frasa yang begitu sering digunakan untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan yang sesungguhnya merugikan rakyat.
Tentu saja, PPN 12% ini hanya untuk barang mewah. Tapi, di sinilah letak masalahnya. Definisi mewah itu sendiri seringkali absurd dan bias kelas. Misalnya Beras premium, buah impor, ikan salmon—barang-barang yang mungkin dianggap mewah oleh sebagian orang, nyatanya menjadi kebutuhan bagi yang lain.
Itu mengakibagkan, kebijakan yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan baru. Mereka yang terpaksa mengkonsumsi barang-barang tersebut karena alasan kesehatan atau keterbatasan pilihan, akan terbebani oleh kenaikan harga.
Di sisi lain, yang lebih ironis lagi, partai politik yang dulu ikut mengesahkan undang-undang kenaikan PPN, kini malah berbalik arah dan mengkritik kebijakan tersebut. Lupa ingatan? Atau hanya sandiwara politik untuk meraih simpati publik? Entahlah. Namun ini adalah potret buram dunia politik yang penuh kepalsuan dan intrik. Seperti dalam sebuah film noir, para aktor politik bermain peran masing-masing, dengan topeng dan kepentingan tersembunyi di baliknya.
Teologi Pembebasan menawarkan perspektif kritis untuk menelaah persoalan-persoalan sosial-ekonomi, termasuk kebijakan perpajakan dan dinamika politik yang menyertainya. Asghar Ali Engineer, misalnya, dengan Teologi Pembebasan ala Islamnya, menyerukan perlunya reinterpretasi ajaran-ajaran agama untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi. Ia mengingatkan kita bahwa agama bukanlah opium rakyat, melainkan kekuatan pembebasan.
Esensi Ajaran Agama dan Tuntutan Zaman
Teologi Pembebasan lahir dari keprihatinan mendalam terhadap realitas sosial yang timpang. Ia menolak keras pemahaman agama yang terjebak dalam ritualisme kosong dan mengabaikan penderitaan sesama. Agama, dalam perspektif ini, harus menjadi kekuatan transformatif yang mendorong terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera.
Asghar Ali Engineer, misalnya, dengan lantang menyuarakan kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis yang dinilainya eksploitatif dan menindas kaum miskin. Ia menggali nilai-nilai keadilan dan persamaan dalam Al-Qur’an dan Hadis, seraya menyerukan umat Islam untuk terlibat aktif dalam perjuangan melawan kemiskinan dan penindasan.
Keadilan sosial, dalam pandangan Engineer, bukanlah utopia yang mustahil digapai. Ia merupakan tuntutan moral yang inheren dalam setiap ajaran agama. Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama lainnya, pada intinya, mengajarkan pentingnya kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang lemah dan terpinggirkan. Lebih dari itu, keadilan sosial merupakan tuntutan zaman. Di era globalisasi ini, di mana jurang kesenjangan semakin melebar, mewujudkan keadilan sosial bukanlah sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Dalam catatan sejarah, Teologi Pembebasan punya cara unik menyentuh banyak perjuangan melawan ketidakadilan di berbagai penjuru dunia. Di Amerika Latin, misalnya, Gustavo Gutiérrez dan Leonardo Boff nggak cuma bicara soal konsep, tapi benar-benar turun tangan mendampingi rakyat kecil yang tertindas, melawan rezim otoriter, dan mencoba membongkar sistem sosial yang timpang.
Bahkan di Afrika Selatan, di sana, Desmond Tutu berdiri teguh melawan apartheid, menjadikan teologinya sebagai senjata moral untuk menantang ketidakadilan. Contoh-contoh itu menunjukan bahwa teologi tidak harus soal hal-hal abstrak. Kalau digali lebih dalam, ia justru bisa jadi pemantik kesadaran dan motor penggerak buat perubahan nyata di masyarakat.
Di Indonesia sendiri meskipun semangat Teologi Pembebasan belum meluas, cahayanya tetap tampak dalam perjuangan beberapa kelompok. Misalnya pada masa kolonial, Haji misbah dan kelompok Sarekat Islam Merah, mereka berjuang bersama rakyat kecil, mendampingi korban kekerasan, dan menawarkan gagasan baru untuk pembangunan yang lebih adil. Meskipun jalan mereka penuh rintangan, perjuangan ini terus berlanjut, menjadi pengingat bahwa keadilan sosial selalu layak diperjuangkan.
PPN 12% dan Ironi Keadilan
Kembali ke soal PPN 12%, pemerintah memang bilang kalau kebijakan ini akan diterapkan secara selektif, khusus buat barang dan jasa yang dianggap mewah. Tapi, pertanyaan pentingnya adalah: apa yang sebenarnya dimaksud dengan mewah?
Dalam masyarakat yang makin konsumtif dan materialistis, garis antara kebutuhan dan kemewahan itu sering sekali tidak jelas. Barang yang buat sebagian orang terasa kayak barang mewah, bisa jadi kebutuhan pokok buat yang lain. Contohnya, beras organik. Buat banyak orang, itu mungkin cuma gaya hidup mahal, tapi buat mereka yang alergi atau gak bisa makan beras biasa, itu sudah jadi kebutuhan utama.
Di sinilah letak ironinya. Kebijakan PPN 12%, yang seharusnya hanya menyasar orang kaya, justru berpotensi membebani masyarakat kelas menengah dan bahkan masyarakat miskin. Mereka yang terpaksa mengkonsumsi barang-barang mewah karena alasan kesehatan, aksesibilitas, atau keterbatasan pilihan, akan terbebani oleh kenaikan harga yang signifikan.
Saya jadi teringat akan Das Kapital karya Marx, yang dengan tajam menganalisis bagaimana sistem kapitalis menciptakan alienasi dan eksploitasi terhadap kaum pekerja.
Pemerintah seharusnya lebih bijak dalam menentukan kriteria kemewahan. Jangan sampai kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan negara justru menimbulkan ketidakadilan dan mempertegas kesenjangan sosial. Masyarakat membutuhkan kebijakan yang melindungi mereka, bukan kebijakan yang menambah beban hidup mereka.
Lebih lanjut, kontroversi politik yang menyertai kebijakan PPN 12% ini juga mengungkapkan sebuah problematika etis yang mendalam. Partai politik, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi dan penyambung lidah rakyat, justru terjebak dalam permainan kekuasaan dan kepentingan pragmatis.
Mereka mudah berubah haluan, mengabaikan konsistensi ideologis, dan mengesampingkan kepentingan rakyat demi meraih simpati publik. Saya kira, ini adalah salah satu bentuk the Real dalam politik, yaitu dimensi kebenaran yang menyakitkan dan sulit diterima.
Teologi Pembebasan mengajarkan kita untuk menolak politik pragmatis yang mengorbankan nilai-nilai moral. Ia menyerukan perlunya politik yang berpihak pada kaum tertindas dan berjuang untuk mewujudkan keadilan sosial.
Partai politik, dalam perspektif ini, haruslah menjadi sarana perjuangan bagi terciptanya masyarakat yang lebih baik, bukan sekadar mesin politik yang haus akan kekuasaan. Mereka harus berani menentang ketidakadilan, meskipun harus berjalan sendiri melawan arus.
Mengawal Keadilan
Persoalan PPN 12% dan kontroversi politik yang menyertainya menunjukkan betapa kompleksnya perjuangan mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Namun, kompleksitas ini tidak boleh menciutkan nyali kita. Justru sebaliknya, ia harus semakin membakar semangat kita untuk terus bergerak dan berjuang.
Teologi Pembebasan mengajarkan kita untuk tidak takut melawan arus. Ia menginspirasi kita untuk menjadi agen perubahan yang transformatif. Mari kita bersama-sama meretas jalan menuju Indonesia yang lebih adil, manusiawi, dan sejahtera.
Kita bisa melakukannya melalui berbagai cara, mulai dari mengorganisir gerakan sosial, melakukan advokasi kebijakan, hingga menyebarkan kesadaran kritis di lingkungan sekitar kita. Yang terpenting, kita harus bergerak, karena keadilan sosial tidak akan datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan dengan keringat, air mata, dan bahkan darah.
Kesimpulan
Teologi Pembebasan memberikan kerangka berpikir kritis untuk melihat persoalan sosial-ekonomi dan politik, termasuk soal kebijakan PPN 12% yang banyak menuai kontroversi. Dalam pandangan ini, keadilan sosial bukan cuma ide utopis, tapi sebuah tuntutan moral yang harus diwujudkan lewat tindakan nyata.
Kenaikan PPN, meskipun tujuannya untuk nambah pendapatan negara, tetap harus diterapkan dengan bijak. Jangan sampai kebijakan ini justru bikin ketidakadilan makin parah dan memperlebar kesenjangan sosial yang udah ada.
Lebih jauh lagi, partai politik seharusnya jadi pilar demokrasi yang berjuang demi keadilan sosial, bukan cuma mesin politik yang terus-terusan haus kekuasaan. Sudah saatnya kita bareng-bareng melawan kebijakan yang gak adil dan mendesak pemerintah serta partai politik buat lebih berpihak pada rakyat, bukan cuma memikirkan kepentingan mereka sendiri.
Penulis: Fadhel Fikri, Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan pembisnis di Sabda Literasi Palu
Referensi
Engineer, A. A. (2018). Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lowy, M. (2019). Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mansur, D. (2023). Tafsir Teologi Pembebasan Agama: Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Gustavo Gutierrez tentang Teologi Pembebasan Islam dan Kristen. Yogyakarta: CV. Diandra Primamitra Media.