sumber gambar: www.google.com
  • Judul Buku : Garis Waktu
  • Penulis : Fiersa Besari
  • Penerbit : Media Kita
  • Tebal : 210 halaman
  • ISBN : 978-979-974-525-1
  • Cetakan : Pertama 2016
  • Perensensi : Dian Bagus*

Garis Waktu merupakan buku kedua karya Fiersa Besari yang merangkum beberapa tulisannya pada kurun waktu 2012-2016. Fiersa Besari adalah penulis yang juga aktif sebagai pemain musik, penangkap gerak, dan pegiat alam. 

Dia memulai eksistensinya di dunia musik pada tahun 2012 dengan meluncurkan album berjudul “11:11” lalu kembali membuat album pada tahun 2013 yang berjudul “Tempat Aku Pulang” dan  berjudul Konspirasi Alam Semesta pada 2015.

Tetapi, pada album Konspirasi Alam Semesta, Bung tidak hanya membuat lagu, tapi juga sebuah albook (album dan buku) yaitu peleburan antara sastra dan musik, dengan menyuguhkan cerita tentang cinta, yang kemudian dilahirkan kembali dalam bentuk buku pada April 2017 oleh mediakita.

“GARIS WAKTU” karya Fiersa yang satu ini merupakan karyanya lewat tulisan-tulisannya di Twitter beberapa tahun lalu. Tulisan-tulisannya menarik, menyiratkan banyak pesan, dan kadang mewakili apa yang sedang pembaca alami pun rasakan.

Kumpulan cerita ini terkesan tidak terlalu banyak basa-basi, meskipun diceritakan dari tahun 2012-2016. Atau bisa dikatakan juga bahwa kumpulan cerita ini singkat namun rapi dan banyak kesan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain pembaca dibuat jatuh cinta oleh setiap kata-kata yang dihidangkan olehnya, kutipan-kutipan pada buku ini pun dapat dijadikan inspirasi atau pelajaran untuk kehidupan pembaca.

“Hidup adalah serangkaian kebetulan. ‘Kebetulan’ adalah takdir yang menyamar.” (hal.9)

Buku yang berisi rentetan cerita dengan format kumpulan surat yang terangkai jadi satu ini secara garis besar memuat curahan tentang perjumpaan, kasmaran, patah hati, keikhlasan dalam melepaskan, dan berakhir dengan kenangan. 

Buku yang menguraikan perasaan-perasaannya pada pembaca, dalam bentuk surat dari April tahun pertama sampai Maret tahun kelima. Dari awal berjumpa dan saling tatap hingga tak lagi saling menetapkan.

Surat-surat pendek dalam Garis Waktu berjumlah 49 surat yang berisikan segala pertanyaan, kegelisahan, kemarahan, dan perasaan “aku pada seorang perempuan” yang telah membuatnya jatuh hati sekaligus patah hati. Dua di antaranya semacam prolog dan epilog.

Dari ke-49 surat tersebut ada dua yang saya suka; surat pada Juni tahun pertama judul kedua yang mengajak (dan mungkin juga menyadarkan) pembaca untuk menjadi diri sendiri dan surat pada bulan September tahun kedua judul pertama yang memuat tentang cinta dan komitmen.

Secara keseluruhan ada tiga bab besar dalam Garis Waktu, yaitu pertemuan dengan seseorang yang mengubah hidup, terluka dan kehilangan, serta keinginan untuk kembali ke kenangan tertentu.

“Untuk menjadi jujur, itulah yang sulit. Setidaknya, jujur kepada diri sendiri; melakukan hal-hal yang memang diinginkan oleh hati nurani, meski harus dihina oleh orang lain.” (hal.27)

“Di hidup kita yang cuma satu kali ini, apa perlu membuang waktu dengan mengurusi yang tidak perlu, menghakimi yang kita tidak tahu, dan memusuhi hal yang tidak kita mengerti?” (hal. 100).

Pembaca tidak hanya akan menemukan pesan-pesan tentang percintaan yang tersirat dalam Garis Waktu, tetapi juga pesan untuk menjadi diri sendiri, dalam menjalin sebuah hubungan dengan seseorang, untuk menikmati hidup dan meluangkan waktu melakukan hal yang kita suka karena hidup cuma satu kali, tidak tenggelam dalam kepopuleran, tidak membalas kebencian dengan kebencian, tidak larut dalam dendam, dan lain-lain. Kadang saya merasa tersentil dengan beberapa kalimat yang ditulisnya.

Bukan sentilan yang menyebalkan, tetapi sentilan yang mengingatkan. Garis Waktu membawa pembaca menyelami proses sekaligus masa-masa di mana “Aku dan Kau” menjadi “Kita”. Juga Aku dan Kau yang akhirnya memilih haluan berbeda. Pembaca diajak untuk menyaksikan Aku yang sedang bermonolog.

Melihat Aku yang menanti-nanti pesan dari Kau, harapannya telah pupus, penuh kegalauan, penuh dengan kekaguman pada Kau, masih mengagumi meski tak bisa memiliki, memendam perasaannya, menjadi tempat pelarian, berterus terang soal perasaannya, mengalami sebuah pengkhianatan, dan lain-lain—yang kalau saya sebutkan semuanya nanti kepanjangan, menjadi tidak penasaran lagi, dan berujung spoiler.

“Karena entah kau sejauh langit, atau sedekat langit-langit, bagiku kau bintang yang aku puja setengah mati.” (hal. 17)

“Cinta terpendam adalah bahasa keheningan dengan hati yang saling menggenggam.” (hal. 40)

Fiersa amat lihai mengaduk-aduk perasaan pembaca lewat kalimat-kalimat yang diuntainya. Seolah ia begitu mengerti dan memahami pembaca. Kalimat-kalimat yang ditulisnya terasa hidup dan sangat mewakili seseorang yang, baik sedang jatuh cinta, galau, patah hati, tersakiti karena dikhianati.

Cover buku ini menarik sesuai dengan isi cerita. Berdasarkan dengan kejadian sebenarnya baik itu (tokoh, tempat dan waktu). Penggunaan diksi yang imajinatif serta penggunaan quotes yang seiram membuat buku ini dinilai cocok untuk semua kalangan.

*Mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Tebuireng Jombang.