Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan dan pembangunan karakter bangsa, pondok pesantren menjadi salah satu instrumen kemajuan bangsa. Sudah terbukti sejak lama, perjuangan kemerdekaan Indonesia banyak dibantu ulama dan gerakan kaum santri dari pesantren. Mereka adalah penggerak utama dalam perang melawan para penjajah. Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, para santri dan ulama senantiasa komitmen mengawal perjalanan sejarah Indonesia.
Sementara pembangunan karakter bangsa baik wawasan ke-Islaman dan kebangsaan, para santrilah benteng utama karakter bangsa. Dengan kecerdasan pengetahuan dipadukan spirit keagamaan, karakter bangsa Indonesia tidak terlepaskan dari kemajuan pengetahuan, nasionalisme dan spiritualisme. Sebagaimana dituangkan dalam konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas baik pikiran secara lahiriah dan ruhani yang bersifat batiniah mendapatkan dukungan kaum sarungan melalui para kiai dan santri.
Seiring perkembangan zaman, tantangan semakin berganti dan kehidupan terus mengalami perubahan yang dinamis. Penemuan internet mengawali revolusi ilmu pengetahuan yang menyebar dengan cepat. Masuknya media sosial dengan beragam platform semakin menegaskan era digitalisasi menjadi peluang baru memajukan bangsa dan agama. Keseimbangan pengetahuan kebangsaan dan agama sejatinya tidak boleh dilepaskan dari masuknya penetrasi teknologi di Indonesia. Teknologi harus dipahami sebagai alat dalam pendidikan, sementara tujuan pendidikan Islam adalah menjadi manusia yang bahagia dunia dan akhirat.
Revolusi pengetahuan dan teknologi kemudian semakin berkembang, di mana kita memasuki sebuah era di mana muncul kecerdasan buatan, big data dan internet of things. Kita menyaksikan bagaimana proses dan cara pikir manusia ingin digantikan posisinya oleh mesin. Berbagai aplikasi bermunculan di era digital dalam mempermudah tugas dan kerja manusia. Tantangan yang muncul kemudian bagaimana ulama, santri dan pondok pesantren mampu beradaptasi dengan tekonologi kekinian. Kemampuan adaptasi akan menentukan sejauh mana ketahanan individu terhadap teknologi baik pengaruh positif dan negatifnya.
Bagaimana pun, kita sekarang menghadapi zaman di mana digitalisasi menjadi gaya hidup manusia baik perkotaan dan pedesaan. Manusia mengalami kecanduan kronis terhadap teknologi khususnya terhadap media sosial sebagai bagian dari konsepsi media baru. Kehadiran beragam aplikasi kecerdasan membuat kompleksitas ketergantungan terhadap digital semakin tinggi. Apalagi ditambah semakin mudahnya akses internet baik melalui layanan penyedia jasa internet dan smart phone dengan berbagai fitur canggihnya. Tidak heran manusia sekarang menghadapi sebuah zaman di mana tsunami informasi yang membuat orang terjebak dalam realitas virtual dibandingkan kehidupan nyata.
Adanya beragam platform media sosial dan pengaruh kecerdasan buatan adalah sebuah realitas zaman yang dinamis. Kita berhadapan dengan sebuah keyakinan, manusia bisa diciptakan tiruannya dalam bentuk mesin, teknologi dan robotik. Saat itu diprediksi kemampuan menganalisis data manusia akan semakin melemah akibat pengaruh teknologi dan digantikan mesin. Dehumanisasi akibat teknologi berusaha menciptakan gaya hidup baru yang berusaha memangkas hubungan sosial dan pola pikir manusia terhadap sebuah informasi. Kondisi ini seperti terlihat dari kemunculan aplikasi ChatGPT sebagai salah satu produk kecerdasan buatan yang mendisrupsi tugas dan kerja manusia dalam mencari sebuah informasi.
Pro dan Kontra AI: ChatGPT
ChatGPT (Generative Pre-training Transformer) adalah produk kecerdasan buatan yang belakangan ramai diperbicangkan berbagai kelompok masyarakat. Penggunaan ChatGPT cenderung disukai disebabkan proses dan cara kerjanya yang mudah. Dengan format percakapan, seseorang cukup bertanya mengenai sebuah informasi. Dalam hitungan detik, ChatGPT yang akan memberikan informasi dan jawaban yang dibutuhkan. Jika ada pertanyaan lain, pola tersebut bisa diulangi dengan konsep pertanyaan yang berbeda sesuai kebutuhan pengguna. Dengan sistem ini, ChatGPT mulai diarahkan untuk menggantikan peran mesin pencari informasi seperti Google.
Produk ChatGPT pertama kali dikembangkan tahun 2015 oleh Open AI milik Elon Musk dan sejumlah rekan bisnisnya. Para pencari informasi banyak memanfatkan ChatGPT untuk menemukan informasi mengenai dunia pekerjaan (pembuatan rumus excel, kode-kode coding, dan lainnya), pendidikan (pembuatan soal dan jawaban sebuah mata pelajaran, pembuatan makalah/paper, dan lainnya) dan pertanyaan yang bersifat sederhana mengenai realitas kehidupan sehari-hari. Munculnya ChatGPT menjadikan setiap pengguna menemukan teman terbaik dalam mencari, menyeleksi dan menemukan informasi yang dibutuhkan.
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran, ChatGPT menciptakan pro dan kontra di kalangan dunia pendidikan Indonesia. Sebagian orang menilai ChatGPT mempermudah manusia dalam mengakses dan menemukan informasi dalam waktu singkat. Seseorang mampu mendapatkan beragam akses pengetahuan baik persoalan ilmu pengetahuan, teknologi dan keagamaan. Dengan mengetik kata kunci tertentu, manusia tidak lagi disibukkan membuka buku dan membaca referensi yang berjilid-jilid. Dengan kata kunci tertentu yang diinginkan beragam informasi dapat disajikan secara cepat.
Sementara pihak yang menolak eksistensi ChatGPT menilai kemampuan mengakses informasi yang ”sempurna” dalam waktu singkat menciptakan generasi ”copy-paste”. Tak sedikit manusia yang menjadikan ChatGPT sebagai tujuan akhir mencari informasi mengalami kelemahan daya pikir kritis. Sebab ChatGPT adalah mesin yang mencari informasi berdasarkan suplai input yang diberikan kepadanya. Sehingga validasi dan verifikasi tetap diperlukan agar informasi yang dihasilkan tidak mengarah kepada sesuatu yang salah. Kritik lainnya, ChatGPT membuat kelahiran generasi instan yang malas berfikir dan dimanjakan teknologi dalam mencari dan menganalisis sebuah informasi.
Terlepas dari pro kontra yang ada, tantangan yang muncul kemudian, sejauh mana relevansi kecerdasan buatan dapat menyajikan informasi yang valid mengenai sumber otoritas keagamaan. Apalagi produk yang dihasilkan merupakan buah karya pemikiran Barat. Potensi penyalahgunaan informasi yang kurang edukatif dan otoritatif terhadap literatur dan problematika keagamaan sangat terbuka. Jika tidak diperhatikan secara teliti dan cermat, apalagi ChatGPT dijadikan sebuah keyakinan dan sumber ilmu utama. Maka proses pengetahuan dan informasi yang salah dapat menyesatkan umat Islam.
Selain itu, kemudahan mencari sumber pengetahuan utama dalam ChatGPT misalnya dalam memperoleh informasi rujukan fatwa masih diragukan kebenarannya. Dalam Munas Alim Ulama NU Tahun 2023 sudah dijelaskan bertanya ke Artificial Intellegence (Kecerdasan Buatan) seperti ChatGPT diperbolehkan. Tetapi diharamkan sebagai pedoman atau diamalkan karena tiga hal yaitu kebenaran jawabannya diragukan, jawabannya halusinasi dan jawabannya cenderung bias. Dari pandangan ini, kita dapat melihat ChatGPT sejatinya dijadikan alat mencari informasi, tetapi biasakan berfikir kritis dalam mencari informasi pembanding atau resmi. Apalagi dalam urusan keagamaan yang bersifat sakral dan mempengaruhi pola pikir dan tindakan seorang muslim.
Tantangan Kalangan Pesantren
Di tengah tantangan itu, menarik memperbincangkan sejauh mana ke depan Pesantren Tebuireng di usia yang mencapai 125 tahun mampu memproduksi lulusan yang handal teknologi, misalnya setiap lulusan Pesantren Tebuireng dibekali kemampuan literasi digital termasuk kemampuan menciptakan teknologi kecerdasan buatan. Tentunya, bekal pengetahuan agama yang cukup mumpuni harus mampu bertransformasi dan mengisi ruang digital yang mencerahkan publik. Ruang virtual dan perkembangan aplikasi harus mampu ditangkap Pesantren Tebuireng dalam membentengi umat Islam dari efek samping kehadiran teknologi seperti ChatGPT.
Dengan pembuatan aplikasi percakapan yang mampu mengakses informasi keagamaan baik bersifat umum dan khusus tentu akan membantu mencerdaskan umat. Jika dulu KH Hasyim Asy’ari dengan pekik takbir dan kumandang jihad mendorong kemerdekaan Indonesia. Sekarang spirit merdeka digantikan bagaimana mendorong masyarakat Indonesia melek teknologi dan cerdas beragama dengan aplikasi ChatGPT karya alumnus atau siswa Pesantren Tebuireng. Zaman boleh berubah tetapi semangat jihad KH Hasyim Asy’ari harus tetap dilestarikan dengan inovasi dan relevansi dari perubahan zaman itu sendiri.
Pilihan aplikasi percakapan ChatGPT karya siswa atau alumnus Pesantren Tebuireng setidaknya mampu mengakomodir kebutuhan teknologi kekinian. Karakteristik aplikasi harus mampu menjawab kebutuhan aplikasi digital yang cepat, praktis, simpel, mudah dicerna dan menyasar masyarakat umum khususnya kalangan muda. Kita harus mengambil kesempatan dengan mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dalam keilmuan agama dan teknologi. Momentum 125 tahun Ponpes Tebuireng menjadi sarana terbaik dalam mendorong ideologi kebangsaan yang tangguh, peran keumatan dan keulamaan yang lebih luas, serta adaptasi teknologi yang sinergis dengan perkembangan zaman.
Baca Juga: Eksistensi Pesantren Tebuireng Mengkader Intelektual Muda Aswaja
Ditulis oleh Inggar Saputra, Penulis Buku