ilustrasi korupsi waktu

Oleh: Dhonni Dwi Prasetyo*

Dalam konteks dunia kerja, pekerja pasti diberikan kontrak kerja oleh pihak yang mempekerjakan. Salah satu hal penting yang biasanya diatur dalam kontrak kerja ialah tentang durasi jam kerja. Dengan adanya kejelasan durasi jam kerja tersebut, seorang pekerja diharuskan melaksanakan tugas-tugas pekerjaannya pada waktu yang telah ditentukan dalam tiap harinya.

Namun, tak dapat dipungkiri, kita seringkali mendapati fenomena pekerja yang terlambat berangkat kerja, atau pulang kerja lebih awal dari waktu yang seharusnya. Tindakan demikian ini dikenal dengan istilah ‘korupsi waktu’. Lantas, bagaimana sih sebenarnya hukum korupsi waktu ketika bekerja dalam Islam?

Fenomena seseorang bekerja tidak sesuai kesepakatan kontrak kerja, khususnya dari segi durasi jam kerja, memang masih banyak dan terus saja terjadi. Terlebih jiwa profesionalisme masyarakat Indonesia (yang notabene negara berkembang) dalam bekerja masih tergolong rendah. Hal inilah yang sebenarnya mengakibatkan tindakan korupsi waktu yang dilakukan pekerja ketika bekerja semakin merebak.

Di Indonesia sendiri, di antara jenis profesi yang kerap kali tampak menjadi ‘kambing hitam’ atas tindakan korupsi waktu ini adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kita tahu bersama bahwa profesi yang diidam-idamkan sejuta umat ini memang begitu banyak aturan yang harus ditaati, apalagi masalah kedisiplinan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seorang PNS idealnya memang harus disiplin dan tidak boleh berangkat terlambat atau pulang lebih cepat sebelum waktu kerja selesai. Akan tetapi, realita yang terjadi di lapangan, tak semuanya berjalan sesuai aturan kerja yang telah dirancang.

Telah jamak diketahui bahwa hingga dewasa ini masih ada saja oknum PNS yang tidak disiplin dalam bekerja, bahkan berani melakukan tindakan korupsi waktu. Misalnya, kontrak kerja sebagai PNS mengharuskan dirinya bekerja dan melakukan tugas-tugas pekerjaannya mulai jam 7 pagi sampai jam 3 sore. Namun, ternyata dirinya baru berangkat jam 9 pagi dan justru pulang jam 2 siang.

Dalam kasus lain yang serupa, tindakan korupsi waktu ini bisa juga terjadi dalam wujud seorang pekerja yang ‘seenaknya’ sendiri dalam melaksanakan pekerjaannya. Sebagai contoh, seorang pekerja berangkat dan pulang sesuai waktu durasi jam kerja, tetapi di sela-sela jam kerja tersebut, dia kerap kali keluar dari tempat/ ruang kerja untuk melakukan kepentingan pribadi dan tanpa sungkan ‘meninggalkan’ tugas-tugas pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan.

Dari penjabaran di atas, kita tahu bahwa tindakan korupsi waktu ketika bekerja merupakan perbuatan yang tidak baik, karena dapat merugikan pihak lain (dalam hal ini pihak pemberi kerja). Karena dinilai dapat merugikan pihak tertentu, maka tindakan demikian ini tidak diperbolehkan dalam pandangan syariat Islam, sehingga sebagai seorang pekerja muslim/ah, apapun profesinya, sebisa mungkin kita jangan sampai berbuat demikian.

Allah SWT berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ يَاۡمُرُكُمۡ اَنۡ تُؤَدُّوا الۡاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهۡلِهَا ۙ وَاِذَا حَكَمۡتُمۡ بَيۡنَ النَّاسِ اَنۡ تَحۡكُمُوۡا بِالۡعَدۡلِ​ ؕ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمۡ بِهٖ​ ؕ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيۡعًۢا بَصِيۡرًا‏

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’ [4]: 58).

Dalam ayat di atas, Allah SWT secara jelas telah memerintahkan kita untuk menjadi pribadi yang bertangggung jawab dengan menunaikan amanah sesuai tempatnya. Dalam konteks dunia kerja, bila kita melakukan tindakan korupsi waktu, tentu saja hal ini menunjukkan bahwa kita bukanlah orang yang punya jiwa profesionalisme tinggi dalam bekerja. Demikian ini sebab tindakan korupsi waktu yang kita lakukan mencerminkan bahwa diri kita sejatinya bekerja tidak sesuai amanah dan tidak dengan penuh rasa tanggung jawab.

Kemudian, Rasulullah SAW juga pernah bersabda:

عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ (إِنَّ اللَّهَ عز وجل حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا: قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وإضاعة المال).

Artinya: “Diriwayatkan dari Mughirah ibn Syu’bah, beliau meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwasannya beliau bersabda: ‘sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla mengharamkan atas kalian semua dari berbuat durhaka kepada ibu (orang tua), mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan gemar meninggalkan kewajiban (atas orang lain) dan suka menuntut hak (dari orang lain). Dan (sesungguhnya) Allah ‘azza wa jalla benci tiga perkara atas kalian semua, yakni: gemar berbicara “katanya-katanya”, banyak bertanya (yang tiada guna), dan menya-nyiakan harta.’” (HR. Muslim).

Imam An-Nawawi dalam kitab beliau, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim (3/158) menjelaskan makna man’an wa haatin dalam hadits di atas (12/12) sebagai berikut:

وَمَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَمْنَعَ الرَّجُلُ مَا تَوَجَّهَ عَلَيْهِ مِنَ الْحُقُوقِ أو يطلب مالا يَسْتَحِقُّهُ

Artinya: “Makna hadits ini ialah sesungguhnya Rasulullah SAW melarang (perbuatan) seseorang yang tidak menunaikan kewajibannya atas hak-hak tertentu (kepada orang lain) atau gemar menuntut apa-apa yang bukan menjadi haknya (dari orang lain).”

Berangkat dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa sikap para pekerja yang gemar melakukan tindakan korupsi waktu ialah mereka tak memperhatikan durasi jam kerja dan suka meninggalkan tugas-tugas pekerjaan (kewajibannya) yang semestinya harus dilakukan sesuai kontrak kerja. Sementara itu, mereka justru suka menuntut gaji (haknya) lebih kepada pihak yang mempekerjakannya.

Maka dari itu, dapat kita simpulkan bahwa tindakan korupsi waktu ketika bekerja termasuk perbuatan man’an wa haatin yang dilarang oleh Rasulullah SAW karena telah diharamkan oleh Allah SWT. Sehingga, kita tidak diperbolehkan melakukan tindakan tercela ini ketika bekerja. Demikian pembahasan tentang hukum korupsi waktu ketika bekerja. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Referensi:

Al-Qur’an Al-Karim.

Imam An-Nawawi. Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim.

Imam Muslim. Shahih Muslim.


 *Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan dan Universitas Negeri Semarang.