Ridho guru terhadap santri
Ilustrasi santri mengaji di Pesantren Tebuireng

Keberadaan pesantren di Indonesia secara pasti tidak dapat diketahui sejak kapan. Namun cikal bakal dari pesantren ini telah ada sejak abad ke-15, dari sinilah cikal bakal tersebut mengalami perubahan-perubahan dari kurikulum sampai berubah namanya menjadi pesantren.[1] Banyak yang berpendapat jika pesantren merupakan sistem pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia.[2] Pesantren di Indonesia sangat banyak peranannya tidak hanya mencerdaskan anak bangsa Pesantren juga turut andil dalam mengobarkan semangat patriotisme dan nasionalisme sebagai modal mencapai kemerdekaan Indonesia.[3]

Pesantren yang awalnya hanya sebuah media islamisasi yang memadukan tiga unsur, yaitu ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan Islam, dan ilmu serta amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat.[4] Pesantren yang dianggap lembaga pendidikan paling stagnan yang hanya memperlajari ilmu-ilmu agama murni seperti al-Quran, hadis, tafsir, kitab kuning dan berbagai variannya akhirnya mampu bertransformasi pada hal teologi dan konten pendidikannya.[5]

Akhir-akhir ini publik diresahkan dengan berita tidak mengenakkan di dunia pesantren, karena berita negatif yang berupa kekerasan, pencabulan, pelecehan yang terjadi di pesantren. Klaim ini didukung data dari KOMNAS Perempuan yang menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2015-2020 pesantren menjadi urutan nomor dua dalam hal kekerasan seksual.[6] Mirisnya para korban biasanya kesulitan dalam melaporkan tersangka karena minimnya akses komunikasi dan timpangnya relasi kuasa.

Sebab itu, orang tua mempunyai rasa khawatir pada anaknya ketika ingin memasukkan anak di pesantren. Berita yang lewat di media sosial maupun cetak secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran orang tua. Awalnya mereka menganggap pesantren sebagai tempat yang cocok untuk belajar agama berubah menjadi tempat yang menakutkan bagi anak mereka. Sebenarnya, apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan di pondok pesantren dan apa solusi agar pesantren menjadi lembaga yang bebas dari kekerasan dan ramah terhadap anak?

Faktor yang menyebabkan kekerasan di lembagai pendidikan, termasuk sekolah atau pesantren, ada banyak. Dalam tulisan ini akan dibatasi pada satu sosok, yaitu “guru”. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tamsil Muiz yang meneliti tentang kekerasan guru terhadap murid baik berbentuk verbal, fisik atau psikologis. Bentuk kekerasan verbal seperti dikatai oleh guru “goblok kamu”, “malas kamu”, sedangkan kekerasan fisik berupa dijewer, mencubit, dan kekerasan psikologis dirasakan murid sebagai tindakan pengabaian dan ancaman dari guru. Mayoritas para korban ini adalah siswa perempuan tetapi hal ini tidak menggambarkan kalau kekerasan pada siswa laki-laki minim, hal ini bisa dikarenakan mereka enggan untuk melaporkannya.[7]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Penyebab kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru setidaknya dipengaruhi empat aspek. Pertama, berasal dari murid yang tidak displin, tidak hormat kepada guru, hal ini berkaitan dengan pola asuh orang tua di rumah. Kedua, faktor dari guru yang mengalami inkompetensi guru dalam menghadapi muridnya yang tidak dispilin sehingga menyebabkan berbuat kekerasan. Ketiga, faktor struktural yang menjadikan posisi guru lebih atas dari murid. Keempat, adanya faktor kultural budaya masyarakat yang membenarkan aksi kekerasan itu.[8]

Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan mempunyai unsur pengajar/guru di dalamnya untuk menunjang keberlangsungan kegiatan belajar mengajar. Istilah ‘guru’ yang dipakai di pondok pesantren berbeda-beda tetapi masih memiliki satu substansi yaitu tenaga pengajar. Di pesantrean ada istilah kiai, ustadz, musyrif, pembina, dan lain-lain. Para guru di pesantren sejatinya sama dengan guru di lembaga non pesantren, mereka juga punya potensi melakukan ‘kekerasan’ terhadap siswa/santri dengan faktor-faktor yang sama.

Pedoman bagi Guru saat Mengajarkan Ilmu

KH Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul Alim wa al-Muta’allim menerangkan, setidaknya ada 14 kriteria yang dimiliki oleh seorang guru. Menurut keterangan dari KH Muhammad Hasyim Asy’ari, kami menyimpulkan beberapa poin yang kiranya penting bagi seorang guru ketika mengajar ilmu kepada muridnya:

  1. Mengajar dengan niat mendapat ridha Allah. Karena mengajar adalah perkara yang mulia karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

Sesungguhnya Allah para malaikat, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di lobangnya; memberi Rahmat yang agung, memintakan ampunan dan mendo’akan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.

  1. Jika murid/santri tidak ada niat dalam belajar maka hal ini tidak boleh menghalangi guru untuk tetap mengajar. Dalam kitabnya KH Muhammad Hasyim Asy’ari berkata jika seseorang menemui fenomena seperti ini:

ولكن العالم يحرض المبتدئ على حسن النية بتدريج قولا و فعلا

Tugas guru adalah memperbaiki niat pelajar dengan cara bertahap melalui perkataan dan perbuatan.

  1. Seorang guru seharusnya mencintai para muridnya, hal ini bisa diterapkan dengan perhatian guru terhadap para muridnya seperti perhatiannya dengan anaknya sendiri seperti berlaku lemah lembut dan sabar terhadap perilaku keras murid.
  2. Guru menyampaikan ilmu dengan cara yang mudah dipahami murid. Seorang guru tidak boleh menyimpan ilmu ketika ditanya oleh seorang murid ketika mampu menjawab. Guru tidak boleh menyampaikan ilmu yang belum waktunya dikuasai murid dan tidak boleh menyampaikan ilmu yang belum ia kuasai.
  3. Guru hendaknya antusias ketika mengajar, menyederhanakan penjelasan, tidak bertele-tele. Guru boleh memberikan pertanyaan kepada murid setelah menjelaskan suatu ilmu jika murid mampu menjawab maka hendaknya ia puji jika murid tidak mampu menjawab hendaknya dia bersikap lemah lembut.
  4. Meminta murid agar mengulangi lagi ilmu yang telah diajarkan oleh guru.
  5. Menasihati murid dengan lemah lembut jika melakukan hal-hal yang belum waktunya dan mengkhawatirkan bagi dirinya. Guru menyarankan pada muridnya untuk beristirahat dan mengurangi aktivitas jika ada indikasi bosan pada diri murid.
  6. Seorang guru tidak sepantasnya untuk pilih kasih terhadap salah satu murid yang menonjol dari yang lain, karen hal ini dapat menyebabkan sakit hati pa da murid yang alin.
  7. Seorang guru seharusnya penuh perhatian pada muridnya dengan mengetahui nama mereka satu persatu, mengetahui nasab, asal, dan mendoakan murid. Apabila seorang murid melanggar aturan maka hendaknya dinasehati dengan cara rahasia (empat mata) terlebih dahulu karena jika dinasehati di muka umum takutnya dia akan melakukan perbuatannya kembali.
  8. Seorang guru senantiasa berbicara yang baik dan bertakwa kepada Allah.
  9. Perhatian seorang guru diharapkan bisa memperbaiki kondisi murid dibantu dengan kerja keras dan hartanya tanpa adanya keterpaksaan.
  10. Guru handaknya menanyakan muridnya yang tidak masuk kelas lebih dari biasanya, jika muridnya sakit maka hendaknya dijenguk dan apabila seorang murid kesusahan hendaknya dibantu.
  11. Sikap guru terhadap muridnya harus dengan rendah hati dan tawadhu’.
  12. Memanggil nama muridnya dengan nama yang baik, apabila bertemu dengan murid hendaknya mengucap salam.

 

Empat belas poin di atas adalah ringkasan pendapat KH Muhammad Hasyim Asy’ari yang membahas hal-hal yang seharusnya dilakukan seorang guru kepada muridnya. Jika kita analisa pemikiran KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan dipadukan dengan beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Tamsil Muiz, akan terfokus pada beberapa hal yang akan dipraktikkan di pesantren:

  1. Pada poin nomor 3, 7 sampai 14 menggambarkan sikap yang baik yang dilakukan oleh guru kepada murid. Seorang guru tidak sepantasnya mengatakan hal buruk seperti kata-kata “goblok kamu” kepada murid tentunya hal itu akan membuat murid sakit hati. Apabila guru mampu menjaga tutur kata dan perilakunya tentunya para murid akan respect (sungkan) terhadap gurunya.
  2. Pada poin nomor 2 jika ada santri yang tidak niat belajar pada umumnya akan membuat guru emosi, hal ini sangat fatal jika guru emosi terus melakukan kekerasan. Kedewasaan guru tercermin dari ke stabilan emosi, untuk itu diperlukan latihan mental guru agar tidak mudah terbawa emosi. Apabila guru terbawa emosi ditakutkan akan menurunkan minat belajar santri.
  3. Kepribadian guru sangat berpengaruh terhadap kenyamanan santri di pesantren karena sikap yang mengayomi akan membuat santri semakin tinggi minat belajarnya.
  4. Fitrah manusia jika ada yang baik kepadanya maka ia akan membalas kebaikan itu. Kondisi seperti ini lumrah terjadi di pesantren karena hidup bersama biasanya ada kondisi bergantung kepada yang lain, kondisi seperti ini bisa dimanfaatkan oleh guru untuk mendekati muridnya dalam konteks tarbuyah seperti dalam nomor 11 dan 12.
  5. Menjaga emosional santri juga sangat penting bagi guru. Pesantren identik dengan guyonan/gojlokan tentunya hal ini harus kita perhatikan jangan disamakan guyon antara guru dan murid dengan teman sebaya, jikalau guru sampai melontarkan guyonan ke santri bisa jadi ia sakit hati jika guyonnya berpotensi merendahkan bahkan termasuk kekerasan verbal seperti yang ada dalam penelitian Tamsil Muiz.

Peran guru memang sangat sentral dalam pendidikan. KH Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul Alim wa al-Muta’allim seakan-akan memberikan aturan bagi seseorang yang ingin menjadi tenaga pengajar, setiap guru harus punya kompetensi yang bagus baik dalam hal akademik maupun pskiologis. Guru yang mempunyai kepribadian yang bagus, para murid akan memandangnya sebagai sosok yang layak untuk dihormati dan ditiru.

Pesantren ramah anak menjadi upaya Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemanag  RI) dalam mewujudkan pesantren sebagai tempat belajar yang aman dan nyaman. Upaya ini sangat baik dan progresif jika terwujud pada semua pondok pesantren di Indonesia. Lembaga pendidikan pesantren tentunya akan semakin diminati masyarakat karena mampu memberikan pengajaran ilmu agama yang baik ditambah dengan jaminan keamanan bagi santri ketika jauh dari pengawasan orang tua.

Baca Juga: Prilaku yang Harus Dimiliki Seorang Guru


[1] Al Furqan, Konsep Pendidikan Islam Pondok Pesantren dan Upaya Pembenahannya (UNP PRESS, 2015), 79.

[2] Sutrisno & Muhyidin Albarobis, PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS PROBLEM SOSIAL (Jogjakarta: AR-RUZ MEDIA, 2012), 51.

[3] Zuhairiri, dkk, SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM, vol. 7 (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 192.

[4] Prof Dr Abd Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren: Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan Pesantren (Lkis Pelangi Aksara, 2013), 31.

[5] Muhammad Hasyim, “Modernisasi Pendidikan Pesantren dalam Perspektif KH Abdurrahman Wahid,” CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman 2, no. 2 (Desember 2016): 173.

[6] Kompas Cyber Media, “Data Komnas Perempuan, Pesantren Urutan Kedua Lingkungan Pendidikan dengan Kasus Kekerasan Seksual,” KOMPAS.com, 10 Desember 2021, https://nasional.kompas.com/read/2021/12/10/17182821/data-komnas-perempuan-pesantren-urutan-kedua-lingkungan-pendidikan-dengan.

[7] Tamsil Muis, dkk, “BENTUK, PENYEBAB, DAN DAMPAK DARI TINDAK KEKERASAN GURU TERHADAP SISWA DALAM INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR DARI PERSPEKTIF SISWA DI SMPN KOTA SURABAYA: SEBUAH SURVEY,” JURNAL PSIKOLOGI: TEORI & TERAPAN 1, no. 2 (Februari 2011).

[8] Kompasiana.com, “Kekerasan Guru, Mengapa Eskalatif?,” KOMPASIANA, 12 Oktober 2024, https://www.kompasiana.com/zulfasyamsul/670a0e8c34777c7bb53f21d2/kekerasan-guru-mengapa-eskalatif.


Ditulis oleh Nur Dian Syah Fikri Alfani, Santri Tebuireng