KRITIK TRADISI KITA BERGURU

“Aku gak iso niru al-salaf al-shalih. Masya Allah piro wae gurune. Saking akehe, angel ngitunge, masuk akal alime koyo ngono”, tutur Yai. Beliau yang menurut santri santrinya begitu alim dan demikian lama thalab al-‘ilm , ternyata menganggap dirinya belum ada apa jika dibandingkan dengan ulama terdahulu. “Sur, cobak wocoen kitab “Al-aimmah al-Arba’ah” muallife sopo wae”, saran Yai Kak kepada almarhum Mansur dengan mikik yang sangat serius. Cek-lah tulisan Abdul Aziz al-Sinawi seputar imam Malik, imam Hanafi, imam Syafi’i dan imam Hambali dalam “Al-aimmah al-arba’ah : Hayatuhum Muwafiquhum Ara’ulum”.

Tak mudah menghitung siapa siapa guru guru mereka, silsilah keilmuan dan relasinya dengan kalangan ilmuan. Atau yang lebih dekat dengan kita, runut dengan berapa guru dan pesantren hadhratusy syekh Hasyim Asy’ari meninggikan keilmuannya. Telisik kembali KH Abdurrahman al-Dakhil alias Gus Dur bergumul dengan dunia keilmuan, di mana dan siapa guru gurunya. Krapyak, Tegalrejo, Jombang, Mesir, Irak, Belanda, Jerman, Perancis– untuk menyebut sebagiannya. Jangan tanya siapa guru gurunya ? Sangat sulit menghitungnya. Nah, sekarang arahkan kritik kepada diri kita, bagaimana tradisi nyantri dan thalab al-‘ilm belakangan ini ? Siapa siapa guru kita dan di mana saja tempat mereguk ilmu ? Mudah menjawabnya, betapa minim kita berguru dan betapa sedikit lembaga tempat kita menimba ilmu.

Hukum kausalitasnya, mudah dimengerti bila degradasi keilmuan begitu dalam menusuk kalangan kiai dan santri. Kalau dulu, kita membaca bagaimana piawainya kiai Wahab Hasbullah, kiai Bisri dan lainnya menaklukkan lawan lawannya dalam debat keagamaan, kini terlihat mudah oleng vis a vis kalangan yang massif melakukan de–NU–sasi dan de-Aswaja-sasi.

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online