ilustrasi kawin kontrak/nikah mut’ah

Dalam Islam ada sekte yang menghalalkan ‘prostitusi’. Seorang laki-laki dapat menikahi perempuan hanya semalam saja dan tidak terbatas pada 4 perempuan. Praktik itu dinamakan “nikah mut’ah”, prosesi pernikahan nyeleweng yang digemborkan kelompok Syiah.

Mut’ah dalam Syiah merupakan prosesi pernikahan tanpa wali dan saksi, sama seperti pengertian mut’ah yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas R.A. Sekte Syiah sebenarnya tidak menganggap mut’ah sebagai pernikahan, tetapi sebagai penyewaan perempuan agar halal disetubuhi. Perempuan dalam Syiah diperlakukan seperti barang yang bisa disewakan dan dikembalikan lagi, tidak ada bedanya dengan mobil rental.

Ulama Syiah menjelaskan alasan pengecualian mut’ah dari akad pernikahan. Imam Kulaini dalam kitabnya Ushul Al-Kafi menjelaskan, mut’ah tidak memiliki talak dan hak waris sehingga tidak bisa disebut sebagai pernikahan. Lebih lanjut dia menjelaskan, mut’ah tidak terbatas pada 4 perempuan. Bahkan boleh dengan 1000 wanita sekaligus. Ini jelas keluar dari hukum syariat bahwa pernikahan terbatas pada 4 istri saja.

Dalil yang dijadikan landasan mut’ah oleh Syiah adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 24. Syiah memahami redaksi “فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً” sebagai perintah untuk memberikan bayaran kepada wanita yang telah disetubuhi atau dinikah mut’ah. Ayat tersebut juga yang melandasi kewajiban memberikan mahar dalam pernikahan menurut mazhab empat.

Mahar atau tarif merupakan salah satu rukun dalam nikah mut’ah. Tarif yang harus dirogoh seorang Syiah yang menikah mut’ah ada batas minimnya. Tarif bisa berupa apa pun yang disetujui oleh dua pihak. Abu Abdillah, salah satu ulama Syiah menjelaskan, tarif minimum yang diberikan pelaku Mut’ah adalah segenggam beras, gandum atau pun tepung.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain mahar, tenggang waktu merupakan rukun dalam mut’ah. Dalam hal ini tidak ada batasan minim. Bisa jadi berlangsung satu tahun atau bahkan satu kali hubungan badan. Abu Hasan, ulama Syiah menjelaskan, mut’ah boleh berlangsung dalam jangka sekali hubungan badan.

Wanita yang dinikahi dengan mut’ah boleh diperlakukan layaknya istri sampai waktu yang telah ditentukan. Ketika jangka waktunya telah habis, keduanya otomatis kembali pada status semula sebagai dua orang bukan mahram yang haram bersentuhan dan sebagainya.

Ahlussunnah Menentang Mut’ah

Ulama Ahlussunnah menyepakati keharaman nikah mut’ah. Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan, setiap pernikahan yang dibatasi jangka waktu hukumnya tidak sah. Dengan demikian antar pasangan tidak ada hak waris dan hukum-hukum dalam pernikahan seperti talak dan sebagainya.

Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Al-Alawi Al-Husaini dilansir dari alfachriyah.org menjelaskan, semua ulama dan fuqaha sepakat mengharamkan nikah mut’ah, berdasarkan hadis-hadis sahih yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah. Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan keharaman nikah mut’ah itu untuk selama-lamanya sampai hari kiamat. Seperti yang tercantum  dalam hadis riwayat Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنِي الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ، أَنَّ أَبَاهُ، حَدَّثَهُ أَنَّهُ، كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏ “‏ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَىْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا‏”

Sesungguhnya ia (Sabrah) berperang bersama Rasulullah SAW pada waktu pembebasan kota Makkah, dan beliau bersabda: “Hai orang-orang, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kepada kalian menikahi wanita dengan nikah mutah. Tapi sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Barang siapa memiliki wanita dengan jenis akad seperti ini, sebaiknya melepaskannya dan jangan menarik kembali apa yang telah kalian berikan kepada mereka” (H.R. Imam Muslim)

Dalam Sahih Bukhari juga disebutkan hadis yang mengharamkan nikah mut’ah yang diriwayatkan oleh Malik bin Ismail:

 حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ: حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ: أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ: أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ محمد بن علي، وأخوه عبد الله، عَنْ أَبِيهِمَا: أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الحمر الأهلية، زمن خيبر

Sayyidina Ali bin abi Thalib berkata kepada Ibnu Abbas, “Rasulullah melarang nikah mutah dan memakan daging keledai jinak pada zaman khaibar.” (HR. Bukhari)

Mengenai dalil yang mendasari kehalalan mut’ah menurut Syiah, Imam Qurtuby dalam kitab Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an menyebutkan, “Imam Ibnu Huwaizin berkata: Ayat tersebut (An-Nisa’:24) tidak bisa dijadikan sebagai dalil kebolehan nikah mut’ah, karena Rasulullah melarang nikah mut’ah. Larangannya berdasar pada firman Allah ‘nikahilah mereka dengan izin keluarganya’ (An-Nisa’:25)”

Dari perbedaan pendapat di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa nikah mut’ah tidak sesuai dengan syariat Islam. Islam menyaratkan adanya saksi dan wali dalam pernikahan, dan kedua hal tersebut tidak ada dalam mut’ah. Kesimpulan tersebut selaras dengan pendapat Ibnu Huwaizin dalam Tafsir Al-Qurtuby.

Bagaimana seandainya nikah mut’ah diperbolehkan di Indonesia? Mungkin sudah ada kasus nikah mut’ah dengan mahar nasi pecel, lalapan, atau mungkin satu cup minuman. Kita patut bersyukur nikah mut’ah atau kawin kontrak dilarang di Indonesia sehingga harga diri perempuan tidak diremehkan.

Jika anda adalah lelaki dan merasa dirugikan karena kawin kontrak dilarang, anda lebih rendah dari binatang yang bisa “masuk lubang” lawan jenisnya semaunya. Bayangkan jika anda seorang perempuan yang harga dirinya bisa dihargai dengan sebungkus minuman, masihkah anda merasa rugi?


Ditulis oleh Muhammad Abror S, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo