Rubrik ini diasuh oleh KH. Muthohharun Afif, alumni Tebuireng yang saat ini mengasuh Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin dan Al-Amin di Mojokerto. Ketika di Tebuireng, beliau menjadi salah satu murid KH. Idris Kamali dan KH. Shobari. Tulisan ini merupakan hasil resapan dari apa yang beliau sampaikan ketika ngaji kitab Nasaih al-‘Ibad.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: خَصْلَتَانِ لاَ شَيْءَ أَفْضَلُ مِنْهُمَا، الإِيْمَانُ باللهِ والنَّفْعُ لِلْمُسْلِمِيْنَ.

Ada dua perkara yang lebih afdal dari pada perkara itu. Yang pertama, iman kepada Allah SWT. Hubungan antara hamba dan Penciptanya itu harus ada sebuah iman. Perbuatan seorang hamba akan terhenti, jika tidak ada iman. Kalau pun seseorang melakukan perbuatan yang sangat baik tapi tanpa ada iman, maka di akhirat nanti perbuatan tersebut tidak ada nilainya, nihil. Seumpama Allah membalas, ya dibalas di dunia. Jadi persyaratan seorang mendapat balasan di akhirat nanti adalah mati membawa iman. Yang kedua, memberikan manfaat kepada sesama muslim.

Jadi dari kedua hal ini ada hablu minallah (hubungan dengan Allah) dan hablu min al-nās (hubungan dengan manusia) terutama sesama muslim. Sebab al-muslimu akhu al-muslim (sesama muslim itu saudara). Wong sudah meninggal saja kita harus memandikan, mengafani, menyalati, dan menguburnya. Plus kalau ada banyak orang, hukumnya fardu kifayah, kalau kita sedang sendiri hukumnya menjadi fardu ain. Itu perlakuan terhadap muslim yang meninggal. Apalagi yang masih hidup.

Caranya bisa dengan ungkapan yang baik, menasihati, mengingatkan, dan mengajar. Juga bisa menggunakan kedudukan yang kita miliki. Mungkin memberikan keluasan urusan untuk saudara seiman. Dari sini, ada perbedaan antara amar ma’ruf orang punya kedudukan (ex: pemerintahan) dan orang pada umumnya. Kalau orang pada umumnya biasa-biasa saja, tapi untuk orang berkedudukan bisa menggunakan kekuasaannya sebagai alat penguat Islam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Nah, kalau dua hal yang disebut ternyata tidak punya, bagaimana? Ya sudah, pakai harta kita. Bisa dengan memberikan pinjaman pada saudara muslim kita yang butuh. Ketiganya, ndak punya juga bagaimana? Ya sudah, pakai badan kita. Salurkan tangan kita guna membantu bangun masjid. Ulur kaki kita untuk mencari nafkah halal. Lah, keempat-empatnya (lisan, kedudukan, harta dan badan) tidak mampu, pakai apa dong? Yang penting tidak menimbulkan kesulitan terhadap muslim lain sudah cukup.

Pada intinya tujuannya hanya satu, yakni pemberian manfaat kepada sesama muslim. Bukan menimbulkan mafsadah. Dalam sebuah hadis:

مَنْ أَصْبَحَ لَا يَنْوِى الظُّلْمَ عَلَى أَحَدٍ غُفِرَلَهُ مَاجَنَى ، وَمَنْ أَصْبَحَ يَنْوِىَ نُصْرَةَ المَظْلُوْمِ وَقَضَاءَ الحَاجَةِ المُسْلِميْنَ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ مِبْرُوْرَةٍ

Barang siapa di pagi hari tidak berniat untuk menyakiti seseorang (maka) diampuni dosa-dosanya yang telah ia lakukan. Dan barang siapa di pagi hari berniat menolong orang yang teraniaya serta memenuhi kebutuhan orang-orang Islam (maka) seolah-olah ia seperti mendapatkan pahala haji yang diterima.

Diceritakan ada seseorang yang bertekad melaksanakan ibadah haji. Lalu ia menabung uang yang ia punya. Setelah sekian tahun, bekal itu dirasa sudah cukup untuk berangkat ke Makkah. Akhirnya ia memutuskan pergi haji dalam waktu dekat. Namun, pada suatu malam sang istri menghampiri laki-laki itu. Ia meminta dicarikan sate, karena ada bau sate yang tercium hidung si istri.

Lalu, laki-laki itu berkeliling ke tempat sekitar untuk mencari asal mula bau sate tersebut. Hingga sampai di suatu rumah, dan ternyata dari situlah asal baunya. Ia mencoba bertamu. “Kalau boleh satenya saya beli atau minta sedikit, pak,” kata laki-laki itu.

Loh, jangan! Sate ini halal untuk saya, haram untuk Anda,” ujar si pemilik rumah.

Lah, kenapa?” tanya si laki-laki.

“Iya. Sate ini adalah khimar (keledai) mati yang saya temukan tadi, terus saya ambil sedikit dagingnya. Lalu saya bakar untuk makan anak-anak saya yang belum makan berhari-hari lalu,” jawab janda si pemilik rumah.

Akhirnya si laki-laki pamit pulang. Dalam hatinya ia bergumam, “Gimana saya ini? Ada tetangga nggak makan berhari-hari kok saya ndak tahu. Saya salah ini”.

Sampai rumah ia ambil semua uang tabungan haji yang ia punya dan memberikannya kepada janda tadi. Ia sama sekali tak berpikir soal uang itu. Pokoknya ia berikan begitu saja. Dalam hatinya, “Biarlah saya batal haji, yang penting tetangga saya bisa makan”.

Nah, pada malam Arafah ada dua malaikat mendatangi padang Arafah. Tempat semua orang haji berkumpul untuk wukuf. Salah satu malaikat bilang, “Masya Allah, orang segini banyaknya hajinya ndak ada yang diterima”.

“Loh, kok bisa?” tanya malaikat lainnya.

“Tapi ndak apa-apa,” kata malaikat pertama.

“Kok bisa ndak apa-apa? Tanya malaikat satunya lagi.

“Iya. Ada satu orang yang hajinya diterima. Tapi ia tidak di sini,” kata malaikat pertama merujuk pada laki-laki pencari sate tadi.

Wallahu a’lam.


Disusun oleh: Yuniar Indra Yahya

(Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, Tebuireng)