
Bahwa kisah Nabi Ibrahim tentang mencari Tuhan yang tersebar umat Islam selama ini dapat dibahas dari sudut pandang yang berbeda. Sebab asumsi yang tersiar sebelumnya menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim beriman dengan cara ‘berpikir terlebih dahulu’ akan siapa yang berhak dijadikan sebagai Tuhannya. Hal ini juga dapat menyatakan bahwa beliau musyrik karena kebingungan mencari Tuhan dan mengikrarkan ketuhanan bintang, bulan, serta matahari.
Karena itu, beberapa mufasir berpendapat bahwa kisah Nabi Ibrahim bukanlah seperti asumsi yang beredar selama ini, melainkan adalah argumentasi terhadap kaumnya yang menyekutukan Allah. Kisah tersebut terekam dalam QS. Al-An’am [6]: 75-80.
Nabi Ibrahim Sedang Berdialog bersama Kaumnya
Diceritakan dalam Tafsir Ibnu Katsir, pada suatu ketika Nabi Ibrahim mengajak kaumnya untuk menyembah Allah. Ia menjelaskan bahwa seluruh benda langit; bintang, bulan, maupun matahari ditundukkan dan digerakkan oleh satu kekuasaan, yakni dikontrol oleh Allah Rabb al-‘alamin.
وَمِنْ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيْلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا۟ لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَٱسْجُدُوا۟ لِلَّهِ ٱلَّذِى خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika kamu hendak menyembah-Nya.” (Q.S. Fussilat [41]: 37).
Diawali ketika Nabi Ibrahim memperlihatkan munculnya gemerlap bintang di malam hari. Ia menjelaskan kepada kaumnya bahwa bintang-bintang yang tampak bersinar terang tersebut tidak layak untuk dijadikan Tuhan. Beberapa pendapat mengatakan bintang yang dimaksud bernama Lucifer (Bintang Fajar). Benda-benda tersebut bisa hilang dan lenyap sewaktu-waktu. Akan tetapi Tuhan tidak akan hilang walau dalam sekejap.
Selanjutnya, Nabi Ibrahim menjelaskan kepada kaumnya tentang bulan yang lebih besar dan terang cahayanya dibandingkan dengan bintang. Dan begitupula saat pagi hari, ternyata terbit matahari dengan sinar jauh lebih besar dan terang daripada benda-benda langit lainnya. Namun matahari juga hilang tenggelam, karena itu pun tak layak pula disebut sebagai Tuhan. Sebab, seluruh benda-benda tersebut adalah makhluk yang diciptakan, diatur, dan ditundukkan oleh Tuhan yang menciptakannya.
Hingga akhirnya, bertemulah pada satu titik kesimpulan bahwa, seluruh benda tersebut digerakkan oleh Sang Maha Kekal yang mengatur sekalian alam.
Pendapat Mufasirin tentang Surah Al-An’am Ayat 75-80
Sebelumnya mengutip perkataan Syeikh Abdullah al-Harari, bahwa tidak dapat diterima akal bagi seorang yang menyampaikan risalah rabbaniah dan pembawa misi ilahiyah tidak mengenal Tuhan yang disembah. Oleh karenanya, kisah Nabi Ibrahim yang mencari-cari Tuhannya adalah tidak benar. Maka perlu untuk diteliti maksud ayat surah al-An’am ayat 75-80 bukan hanya sekadar memahami makna dzahirnya saja. (Bughyah ath-Thalib, h. 67)
Sebagaimana pendapat Imam Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsirnya, bahwa ayat “Dan berkata Ibrahim tentang bintang, bulan, dan matahari ketika melihatnya: Inilah tuhanku (hadza Rabbi)”. Yang dari kalimat tersebut bersumber kesalapahaman di tengah umat. Padahal, makna “hadza Rabbi” bukan bermakna ikhbar atau pernyataan, tetapi bermakna istifham ingkari atau istifham taubikhi, maksudnya pertanyaan untuk menyanggah dan bukan untuk meminta jawaban.
Perkataan Nabi Ibrahim tersebut bukanlah pernyataan keyakinan bahwa bintang, bulan, dan matahari adalah Tuhannya. Hal ini diibaratkan seperti ketika seseorang melihat orang lemah yang tak mampu berdiri, lalu orang itu mengatakan “hadza nashiri” yang artinya, inikah penolongku? (Tafsir al-Nahrul Mad, Juz I, h. 706)
Maksud ayat tersebut seolah-olah Nabi Ibrahim berkata kepada kaumnya yang ingkar, “Adakah ini tuhanku seperti yang kamu sangkakan?“, kemudian ketika bintang tersebut hilang beliau berkata: “Aku tidak suka kepada yang terbenam, yakni yang hilang itu tidak layak menjadi tuhan, lalu bagaimana kamu sekalian boleh menyembahnya?”
Menurut Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya, (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz VII, h. 64). Ketika menafsirkan ayat tersebut, beliau menyebut bahwa terdapat beberapa pendapat tentang firman Allah “Hadza Rabbi“. Antaranya beliau mengutip pendapat: “Tidak harus bagi Allah mendatangkan seorang rasul yang tidak mentauhidkan dan mengenali-Nya, dan setiap manusia semuanya tidak berdosa (ketika lahir). Berkata: dan bagaimana ada golongan yang menyangka perkara tersebut (kisah nabi mencari tuhannya) ke atas manusia yang dipelihara oleh Allah dan diberikan petunjuk sebelum kerasulannya, dia melihat kekuasaan-Nya untuk menjadi yakin dan tidak boleh menganggap dia tidak mengenal Allah bahkan dia terlebih dahulu mengenal tuhannya”.
Antara ulama tafsir lain yang sependapat dengan Imam al-Qurtubi, ialah Imam ar-Razi, Imam al-Baidhawi, dan ulama lainnya. Sebenarnya ayat dari Q.S. al-An’am ayat 76-78 adalah dalam konteks Nabi Ibrahim berhujah dan berdebat dengan kaumnya, yakni kaum Harran yang cenderung terhadap ilmu astronomi, bahkan mereka sampai menyembahnya; bintang, bulan, dan matahari.
Allah yang mengutuskan Nabi Ibrahim kepada kaumnya dengan membawa hujjah qawiyyah atau hujah yang kuat. Maka Nabi Ibrahim mempersoalkan kepada mereka adakah layak sesuatu yang terbit lalu tenggelam, sesuatu yang berubah, dan tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat untuk dijadikan Tuhan sebagaimana yang dijabarkan dalam ayat-ayat diatas.
Baca Juga: Keteguhan Iman dan Teladan Nabi Ibrahim
Ditulis oleh. Syauqi Nailul Kamal, Pegiat Kajian Islam dan Kebangsaan.