مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) Al- A’nkabut

Al-Qur’an hadir tidak sekedar memberi petunjuk bagi umat manusia meraih kebahagiaan ganda isi para sastrawan yang gemar mengomentari hal-hal besar dan lupa mengangkat makhluk tuhan yang sepele, yang kecil. Akan tetapi Al-Qur’an hadir dari makhluk yang paling besar, hewan yang terbesar sampai hewan yang terkecil diungkap dalam berbagai perspektif. Ada al-fil, gajah dalam konteks pasukan perang yang sebegitu dahsyat waktu itu dengan kekuatan militer penuh, artileri yang tak terbayangkan hebatnya. Tuhan tidak perlu menghadapi kekuatan itu dengan kekuatan yang besar untuk memproteksi rumah-Nya sendiri, baitulLah. Tuhan cukup menunjuk burung kecil, bul-bul (ababil), yang dipersenjatai secara misterius dan supercanggih. Binasalah tentara gajah itu, ka’ashfim- ma’kul , seperti rerumputan kering yang dikunyah-kunyah oleh hewan ternak. Apa maksudnya ? Sesungguhnya tidak ada kekuatan yang berarti di hadapan Tuhan. Apalagi manusia yang jauh lebih ringkih dibanding tulang-belulang dan kulit gajah, tidak ada apa-apanya.

Kemudian ditunjuk al-ibil , unta dalam konteks akademik dan perspektif keilmuan dengan bahasa penelitian, afala yandzhuruna ila al-ibili kaifa khuliqat. Dunia biologi mengakui bahwa keunikan yang amat mengagungkan pada tubuh unta. Itu artinya sains atau ilmu normal, ditantangkan di sini untuk mengimbangi ilmu Tuhan, untuk menggali ilmu-ilmu Tuhan. Senada dengan al-ibil, adalah al-baqar. Dalam konteks ini, baqarah itu pada dunia mistik yang tak terbayangkan oleh akal. Sehingga peristiwa diangkat pada zaman Nabi Musa, bagaimana untuk melacak pembunuh misterius. Tuhan memirintahkan agar yang bersangkutan menyembelih seekor sapi. Dan dari sapi yang disebut shafra’u faqi’ul-launuha itu pembunuh berhasil ditangkap dengan cepat, meskipun tanpa bantuan intelejen maupun Densus 88. Itu artinya bahwa ada dimensi spiritual, dimensi yang lain, yang memang milik Tuhan. Dan yang kita tahu hanya sebagian saja.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lalu, hewan-hewan yang tekecil yang akan kami angkat adalah al-‘ankabut, laba-laba. Binatang ini tidak bisa dipandang remeh, meskipun rendah menurut pandangan manusia, tapi sangat berjasa dalam agama. Pada bulan-bulan sekarang, adalah bulan-bulan monumental yang sesungguhnya Hadhratur-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan hijrah, yakni pada awal-awal Bulan Rabi’ul Awwal, meskipun programnya pada bulan Muharram. Dengan rute yang aneh, masuk dulu ke Gua Tsur. Dan kehebatan pelacak, mampu menemukan jejak kaki Hadhratur-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sampai ke mulut gua. Tuhan memang kuasa, tapi Tuhan harus menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dengan tanda-tanda yang dibuatnya sendiri. Bisa dibayangkan, tiba-tiba al-‘ankabut langsung mendesain rumahnya persis menutup mulut gua secara bagus, artistik dan rapi dalam waktu yang singkat. Sehingga para pemburu Nabi yang berhadiah 100 ekor unta itu dihadapkan dalam problem dilematik. Satu sisi perasaannya, hati nuraninya mengatakan bahwa pastilah Muhammad itu masuk ke Gua ini. Karena hasil pelacakannya seperti itu. Tetapi akal menunjukkan fenomena lain, laba-laba yang merupakan makhluk kecil dan tak diperhitungkan siapapun, malah sebagai sebab selamatnya nyawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya. Di sinilah ada pertarungan antara logika akal yang mengatakan andai Muhammad itu masuk sini, pasti rusak sarang laba-laba tersebut. Ternyata dalam akal itu terdapat kekurangan, dan tak seluruhnya sempurna. Para pemburu Rasulullah melupakan kecepatan laba-laba itu membuat jaring-jaring yang menutupi mulut gua. Sehingga dikiranya sudah lama. Maka diputuskanlah berdasarkan akal, mereka mundur, menghentikan pengejaran. Dan kesimpulan mundur itu salah. Andaikan menggunakan rasanya, maka akan menemukan yang diburu.

Untuk itu se-‘alim apapun, tidak bisa rumusan akal itu menjadi suatu pedoman. Masih ada Tuhan Yang Maha Segalanya di luar itu semua. Terus apa yang bisa kita petik ? Sesungguhnya antara hewan dengan kita manusia, itu sama. Daging, hewan juga punya. Apalagi daging hewan itu lebih enak dan laku dijual. Sedangkan daging kita tidak laku. Ada tulang, kulit, hewan juga makan, kawin, mati, dan lain lain. Sama sesungguhnya. Tetapi Tuhan menunjukkan, ada hewan-hewan remeh tapi mempunyai jasa yang besar di dalam kehidupan ini, dalam agama ini, seperti laba-laba. Persoalannya adalah, apakah kita ini malu ? Apa yang harus kita lakukan sehingga sebagai hamba Allah yang diberi kelebihan akal sehat, pikiran yang hebat, semestinya prestasi ketaqwaannya jauh. Prestasi pengabdiannya terhadap agama jauh dan melebihi dari semu hewan-hewan yang ada.

Untuk itu, seorang sufi membahasakan bahwa seluruh bunyi-bunyian hewan itu adalah tasbih yang kita tidak mengerti bahasa mereka. Seluruh ucapan, kicauan hewan-hewan itu adalah sindiran terhadap kita yang lalai. Hanya saja kita tidak paham sindiran tersebut, walakin la tafqahuna tasbihahum. Hanya Nabiyullah Sulaiman saja yang diberi pemahaman bisa menangkap sindiran-sindiran hewan, termasuk ketika beliau dengan tentaranya mau lewat dan mendengarkan komandan semut untuk mengintrusksikan bawahannya agar masuk lubang supaya tidak terinjak-injak pasukan Nabi Sulaiman sementara mereka tidak merasa. Sindiran yang hebat. Tersinggungkah kita ? Semut itu benar. Bahwa biasanya orang besar menyakiti, menginjak-injak orang kecil itu tidak merasa sadar. Masih bagus kalau merasa sadar. Tapi disindir oleh semut, la tasy’urun.

Kemudian Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa awhanul-buyut, rumah yang paling lemah di dunia adalah rumah laba-laba. Studi di Cornell Univesity menunjukkan bahwa benang yang dihasilkan oleh laba-laba itu kelenturannya bisa 5 kali lipat. Dari 1 cm benang yang ada bisa diulur, ditarik menjadi 5 kali panjangnya dengan tanpa putus dan tetap kuat. Ditunjuk lagi bahwa senar benang laba-laba itu 5 kali kekuatan serat baja dalam ukuran yang sama. Ditunjuk lagi bahwa andaikan bisa dikumpulkan, maka menjadi bahan anti peluru yang terhebat di dunia terbuat dari senar laba-laba. Di mesir, seminar dibuka dalam perspektif kebahasaan dan menunjukkan hasil yang mengecewakan waktu itu. Bahwa hubungan antara fi’il dan fa’il isim dzhahir seperti yang tertera pada ayat ini sebagai hubungan yang janggal dan tidak selaras dengan kaidah nahwu. Kamatsali al-‘ankabut ittakhadzat baita. Siapapun tahu bahwa al-‘ankabut merupakan bentuk mudzakkar, sedangkan ittakhadzat yang menyimpan dhamir (kata ganti) mu’annats itu kembali ke dhamir  dalam lafadz al-‘ankabut yang mudzakkar. Seharusnya ittakhadza baita. Ahli bahasa tidak bisa memberesi persoalan ini. Justru yang menyelesaikan masalah ini adalah sarjana biologi yang melakukan penelitian tentang kehidupan laba-laba. Dia bediri dan memberikan informasi bahwa menurut hasil penelitiannya, seluruh laba-laba yang membuat sarang/rumah dengan desain yang teratur dan simetris seperti itu adalah berjenis kelamin betina. Karena benang laba-laba itu diproduksi dari rahimnya, dan hanya jenis kelamin betinalah yang mempunyai rahim. Maka benarlah Al-Qur’an, memasang bentuk mu’annats.

Untuk itu, kita dihadapkan pada persoalan akademik lagi. Sekuat itu benang laba-laba, tapi mengapa Al-Qur’an menunjuk dengan bahasa awhanul-buyut (yang paling lemah)? Jawabannya adalah kelemahan atau al-awhan, itu merupakan tesis metaforik. Atau juga disebut bahasa sindiran, bahasa tamtsil. Orang yang mengambil Tuhan, bertuhan selain Allah itu seluruh logikanya lemah seperti lemahnya sarang laba-laba. Terkena hujan, rusak. Terkena sentuhan, rusak, dan lain-lain. Siapapun orangnya yang bertuhan selain Allah itu pasti logikanya tidak masuk akal.

Terkait dengan Natal, sangat mudah sekali menggugurkan, menggagalkan, dan menyalahkan konsep teologi Nasrani atau Katolik tersebut. Jika Yesus atau Nabi Isa itu lahir pada masa itu, lalu diangkat menjadi Tuhan, persoalannya adalah umat-umat yang sudah hidup di dunia ini ratusan sampai ribuan tahun lalu itu bertuhan siapa? Mana ada Tuhan lahir belakangan setelah kehidupan dunia berjalan ribuan tahun. Yesus yang dianggap punya ayah, dianggap Tuhan ayahnya. Yesus juga punya Ibu, betul karena ibunya adalah Maryam. Nabi Isa juga punya kakek, punya nenek. Dengan begitu, persoalannya menjadi lebih runyam. Apakah seorang kakek, seorang nenek, harus menyembah cucunya sendiri yang menjadi Tuhan ? Karena lemahnya logika itulah, oleh Al-Qur’an disebut dengan awhanul-buyut. Mudah-mudahan dengan konfigurasi dan gambaran ini, keimanan kita semakin mantap dan makin memproyeksikan diri menggapai taqwa yang sangat berkualitas. Semoga bermanfaat.

Dr. KH. A. Musta’in Syafi’i, Mudir PP Madrasatul Qur’aN Tebuireng

*Pernah disampaikan di Masjid Tebuireng