Oleh : Ibnu Ubaidillah*

Fashion merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia dalam menjalani hidup baik pada zaman nabi hingga zaman sekarang ini yang serba fashion. Berdasarkan fenomena yang terjadi sekarang ini bahwa penampilan para wanita muslimah mengenakan busana bukan berdasarkan atas perintah, melainkan atas keinginanannya. Bahkan laki-laki juga sama seperti perempuan dalam berpakaian.

Maka dari itu, busana muslim yang digunakan belum memenuhi syarat dan kriteria busana muslim yang baik. Mereka mengenakan busana muslim merupakan simbol ketaatan beribadah kita dalam melaksanakan perintah Allah. Seiring perkembangan zaman, fashion justru menjadi ikon bagi kalangan remaja atau orang tua dan anak-anak sebagai identitas jati diri, bangsa, dan peradaban.

Dalam al-Quran, pakaian yang baik adalah suatu keniscayaan sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam syariah Islam. Dalam aturan berpakaian, sudah termaktub di dalam nash yang tidak dipisahkan dengan aturan syariat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebagaimana termaktub dalam al-Quran surta Al-Ahzab ayat 33:

… وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ…

Artinya : …Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah…(QS. Al-ahzab :33).

Jikalau ditinjau dari segi tashrif, lafadz تبرج secara bahasa diambil dari lafadz برج yang artinya tampak atau terlihat, atau bisa diartikan memamerkan kecantikan tubuh seseorang, karena pada masa jahiliyyah wanita tidak memperhatikan batasan aurat yang harus ditutupi. Adapun makna تبرج dalam kitab tafsir adalah:

إِظْهَارُ الْمَرْأَةِ مَحَاسِنَ ذَاتِهَا وَثِيَابِهَا وَحُلِيِّهَا بِمَرْأَى الرِّجَالِ

Artinya:“Wanita yang menampakkan keindahan dirinya, pakaiannya, dan perhiasannya di hadapan para lelaki (yang bukan mahramnya).”[1]

Adapun yang dimaksud jahiliyah dalam kitab Tafsir al-Utsaimin, surat al-Ahzab ada dua pendapat. Pertama, makna jahiliyah itu banyak sekali tingkatan, dan yang tingkatan yang paling pertama adalah tabarruj. Kedua, tabarruj adalah jahiliyah yang dilakukan pada zaman yang dahulu.

Salah satu pendapat mengatakan setelah zaman Nabi Nuh, dan pendapat kedua mengatakan Nabi Ibrahim, ketiga mengatakan pada zaman Nabi Musa, akan tetapi para Ulama lebih memilih dan sepakat yang dimaksud adalah pada zaman wanita yang menampakan keindahannya.[2]

Aurat Wanita dan Hukum Menutupi dalam Islam

Secara historis aurat wanita sudah diungkapkan setelah penurunan Nabi Adam dan Siti Hawa dari surga ke bumi. Sebagaimana dalam surat al-A’raf ayat 26:

يٰبَنِىۡۤ اٰدَمَ قَدۡ اَنۡزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسًا يُّوَارِىۡ سَوۡاٰتِكُمۡ وَرِيۡشًا‌ ؕ وَلِبَاسُ التَّقۡوٰى ۙ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ‌ ؕ ذٰ لِكَ مِنۡ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمۡ يَذَّكَّرُوۡنَ

Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi aurat kamu dan untuk perhiasan bagi kamu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat”.

Islam mensyariatkan dan menekankan, bahkan memerintahkan umat manusia untuk menutup aurat, sebagimana firman Allah dalam surah an-Nur ayat 31:

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَـٰتِ یَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِنَّ وَیَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا یُبۡدِینَ زِینَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡیَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُیُوبِهِنَّۖ وَلَا یُبۡدِینَ زِینَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَاۤىِٕهِنَّ أَوۡ ءَابَاۤءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَاۤىِٕهِنَّ أَوۡ أَبۡنَاۤءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَ ٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِیۤ إِخۡوَ ٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِیۤ أَخَوَ ٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَاۤئهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّـٰبِعِینَ غَیۡرِ أُو۟لِی ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِینَ لَمۡ یَظۡهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوۡرَتِ ٱلنِّسَاۤءِۖ وَلَا یَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِیُعۡلَمَ مَا یُخۡفِینَ مِن زِینَتِهِنَّۚ وَتُوبُوۤا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِیعًا أَیُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

Artinya: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”.

Pendapat 4 Mazhab tentang Aurat

Adapun menurut 4 mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berbeda pendapat tentang aurat. Seperti dalam kitab al-fiqhhul Islami wa Adillatul karangan Dr. Wahbah az-zuhaili (terbitan Darul fikr) juz 1 halaman 584-594:

Madzhab Hanafi: Wanita merdeka dan yang sepertinya (huntsa), auratnya adalah seluruh badannya sampai rambutnya turun, menurut pendapat yang paling kuat. Selain dua telapak tangan, kedua kaki bagian dalam dan bagian luar menurut pendapat yang dapat dijadikan pegangan, karena keumuman dari keperluan yang mendesak.

Madzhab Maliki: Aurat dipandang dari segi melihatnya. Bagi laki-laki adalah apa yang ada di antara pusar dan lutut. Dan bagi wanita di hadapan orang laki-laki lain adalah seluruh tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangan. Dan di hadapan muhrimnya (laki-laki) adalah seluruh jasadnya selain muka dan anggota –anggota: kepala, leher, kedua tangan dan kedua kaki, kecuali jika ditakutkan rasa istimta’, maka hal tersebut haram, bukan karena keadaannya sebagai aurat.

Adapun wanita dalam memandang ke laki-laki lain adalah seperti hukumnya lain adalah seperti hukumnya laki-laki beserta para wanita yang menjadi muhrimnya, yaitu memandang kepada anggota badan: kepala, kedua tangan dan kedua kaki.

Madzhab Syafi’i: Aurat wanita merdeka dan yang sepertinya (huntsa) adalah apa yang selain muka dan kedua telapak tangan, bagian luar dan dalam dari kedua ujung-ujung jari dan dari dua pergelangan tangan (ruas atau tempat pergelangan tangan). Berdasarkan firman Allah: Janganlah para wanita menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak dari padanya.

Ibnu Abbas dan Aisyah r.a. berkata: Yaitu muka dan kedua tapak tangan. Dan Nabi Saw. telah melarang wanita yang ihram untuk haji atau umroh untuk memakai dua sarung tangan dan kain tutup muka (cadar). Andaikata tapak tangan dan muka itu adalah aurat, niscaya tidak diharamkan menutup keduanya dalam ihram, dan karena hajat menampakkan muka untuk jual beli dan penampakan tpak tangan untuk mengambil dan memberi, maka hal itu tidak dijadikan aurat.

Madzhab Hambali: Aurat wanita beserta para muhrimnya laki-laki adalah selain badanya selain muka, tengkuk, dua tangan, kaki dan betis. Semua badan wanita sampai muka dan kedua tapak tangan di luar salat adalah aurat, sebagaimana kata Asy-Syafi’i berdasarkan sabda Nabi saw. yang telah lalu wanita adalah aurat.

Dan diperbolehkan membuka aurat karena keperluan seperti, berobat, berhajat di tempat yang sunyi, khitan, mengetahui masa baligh, perawan dan tidaknya wanita dan cacat. Aurat wanita muslim di hadapan wanita kafir, menurut madzhab Hambali adalah seperti di hadapan laki-laki mahram, yaitu anggota badan yang ada di antara pusar dan lutut. Jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa seluruh badan wanita itu adalah aurat, kecuali apa yang nampak pada waktu melakukan kesibukan-kesibukan rumah.

Kita lihat dalam tafsir al-Qurtuby dalam menafsirkan surat al-Ahzab ayat 59:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّبِیُّ قُل لِّأَزۡوَجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاۤءِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ یُدۡنِینَ عَلَیۡهِنَّ مِن جَلَـٰبِیبِهِنَّۚ ذَلِكَ أَدۡنَىٰۤ أَن یُعۡرَفۡنَ فَلَا یُؤۡذَیۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورا رَّحِیم

Artinya: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

Adab Berpakaian bagi Wanita Muslimah

Ketika kita membahas tentang aurat maka permasalahannya akan melebar kepada pembahasan pakaian. Adapun syarat-syarat wanita menggunakan pakaian sesuai dengan syariat Islam dijelaskan dalam buku Ar-risalah fiqh wanita yang ditulis oleh Maftuh Ahnan adalah sebagai berikut:

  1. Menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
  2. Berbahan tebal dan tidak tembus pandang (transparan) sehingga memperlihatkan warna kulit.
  3. Longgar dan tidak sempit (ketat) sehingga tidak menampakkan lekuk-lekuk tubuh.
  4. Tidak menyerupai pakaian laki-laki (larangan menyerupai di sini adalah keserupaan karena ingin berlagak seperti laki-laki pada umumnya atau menampakan diri seperti laki-laki).
  5. Tidak menyerupai wanita kafir dan wanita jahiliyah (wanita jahiliyah adalah wanita yang memakai kerudung tapi leher dan dada mereka tetap terlihat).
  6. Tidak terlalu mencolok sehingga menarik perhatian orang yang melihatnya (syuhroh).
  7. Tidak diberi hiasan yang berlebihan, seperti warna-warna yang berlebihan.[3]

[1] at-Tahrir wa at-Tanwir juz 11 hal. 22

[2] Kitab Tafsir al-Utsamain

[3] Ahnan, Mahtuf, Dkk, Risalah Fiqih Wanita, Surabaya: 2011, Terbit Terang.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari