Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Kamis malam 30 September 1965, saya menginap di rumah seorang kawan di Kebayoran Baru. Jumat Subuh salah seorang penghuni rumah menceritakan bahwa dini hari 1 Oktober terdengar suara tembakan dalam waktu yang lama di Blok M (dugaan saya rumah Jendral Pandjaitan), lalu kami mendengarkan warta berita RRI (waktu itu belum ada radio swasta) yang menyiarkan penyusunan Dewan Revolusi. Melihat gaya bahasa dan tindakan menurunkan pangkat serta membaca nama-nama yang muncul dalam Dewan Revolusi, asosiasi saya langsung mengarah kudeta oleh PKI.

Saya lalu kembali ke rumah ibu saya di Taman Matram Jakarta Pusat. Seisi rumah (yang umumnya punya minat terhadap masalah politik) membahas apa yang sedang terjadi. Kami makin kuat dalam dugaan terhadap gerakan PKI, setelah melakukan kontak dengan berbagai pihak. Keesokan harinya di waktu Subuh terdengar suara truk berhenti di depan rumah. Kami mengitip melalui kaca pintu jendela, tampak beberapa orang berseragam turun dari truk itu. Langsung hati kami terkesikap. Saya, adik saya Umar sibuk menyembunyikan beberapa piringan hitam The Beatles (waktu itu dilarang beredar). Untungya teryata mereka adalah pihak yang mengawal kiriman kayu jati yang kami pesan dari Jawa Timur.

“Posko”

Banyak informasi dari berbagai daerah memperkuat keyakinan bahwa PKI ada di belakang G 30 S PKI. Daftar nama-nama yang menjadi korban mereka ditemukan di banyak tempat. Nama ibu saya, kaka saya (Aisyah) dan suaminya tercantum dalam daftar yang ditemukan di rumah Sudirman (tokoh  CC PKI) yang terletak di Mataram Dalam. Sekarang bisa saja kita menyatakan daftar itu belum tentu benar dan bukan dimaksudkan untuk menjadi korban. Tetapi dengan menghayati susasana saat itu, sangat wajar kalau kita mempercayai keabsahan daftar itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Suasana di ibukota makin tidak menentu. Komunikasi waktu itu belum baik, padahal para tokoh NU memerlukan komunikasi intensif. Ibu Wahid Hasyim (ibu saya) mengambil inisiatif untuk menawarkan kediaman beliau guna dijadikan semacam “posko” dimana banyak tokoh NU dapat tinggal beserta keluarga terutama di malam hari. Usul itu disampaikan karena kediaman beliau terletak tepat di sebelah rumah Kol. Alamsyah Ratuperwiranegara yang dijaga ketat TNI AD dengan panser. Kurang lebih 30-40 tokoh muda NU dengan keluarga menetap di rumah beliau selama sekitar dua bulan, di antaranya Said Budairy, Sutanto Martoprasono, Jahja Ubaid, Jawahir, Mahbub Djunaidi, Pak Ud (Kiai Yusuf Hasyim), dan lain-lain. Selain itu terdapat anak-anak PMII seperti Rozy Munir, Djoko Muljono, Anto, dan lain-lain.

Di Taman Matraman itu dirumuskan segala langkah PBNU yang berkaitan dengan situasi yang tidak menentu, setelah diadakan kontak dengan kawan-kawan di kediaman Pak Subchan ZE (Ketua I PBNU) yang menjadi posko dari segala kegiatan sipil dalam menghadapi G 30 S. Hal ini dilakukan pada hari-hari pertama bulan Oktober 1965, karena vakumnya PBNU. Saya dan kawan-kawan PMII ikut membantu memonitor perkembangan dengan mendengarkan radio amatir (yang baru memancarkan siarannya). Radio amatir inilah yang menjadi cikal bakal radio siaran swasta sekarang ini.

Anak-anak PMII ini (usia awal 20-an) membantu para seniornya dalam menyusun draft usulan pembubaran PKI yang dituangkan dalam peryataan PBNU dan PP Muslimat NU. Rasanya waktu itu kami menjadi orang penting karena bisa ke mana-mana pada saat jam malam berlaku. Tapi kami pernah harus meninap di pos keamanan di Budi Kemuliaan (dekat BI) karena ada salah pengertian antara Anto (kakak Djoko Muljono) dengan tentara. Karena keadaan berangsur-angsur pulih, maka mereka yang semula tinggal sementara di Taman Matraman secara bertahap kembali ke rumah masing-masing. Tetapi Taman Matraman masih menjadi salah satu pos berkumpul kawan-kawan PMII.

Saya sendiri kembali ke Bandung walaupun kuliah praktis terhenti. Biasanya para mahasiswa apel di jurusan masing-masing. Kalau ada demo, mereka secara tertib berbaris mengikuti rute yang sudah ditentukan. Kawan-kawan kuliah saya di jurusan Arsitektur ITB yang sepermainan dengan saya kebanyakan adalah anggota atau tergolong simpatisan GMNI atau Barisan Soekarno. Tetapi ha itu, tidak harus membuat saya tidak bergaul lagi dengan mereka. Hampir setiap hari kami berkumpul, ngobrol, dan main kartu di rumah Marsetyo Paham. Kami sepakat untuk tidak berbicara masalah politik karena sulit mencari titik temu.

Di luar kawan kuliah, saya akrab dengan kawan-kawan main di lingkungan tempat saya tinggal yang umunya banyak kawan dari Wanadri (organisasi pendaki gunung). Kawan lain lagi berasal dari PMII Cabang Bandung dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ITB yang sering ketemu di Masjid Salman. Tentunya lebih banyak kawan-kawan yang tidak bergabung dalam organisasi apapun juga.

“Suasana Perang”

Info mengenai pembunuhan terhadap warga PKI atau yang dianggap warga PKI Jawa Timur dan Jawa Tengah mulai terdengar di Jakarta. Saya dan Umar (adik saya) kerap membahas tindakan yang tidak berkemanusiaan itu, yang menurut anggapan kami bertentangan dengan perintah agama. Tetapi kami tidak mungkin menanyakan masalah tersebut secara terbuka.

Dalam kesempatan Harlah NU ke-40 (Januari 1966) saya sempat ketemu dengan banyak anggota Banser yang menghadiri harlah itu. Dengan agak ragu dan secara hati-hati saya menanyakan kepada seorang yang dikatakan banyak membunuh para warga PKI, bagaimana perasaannya setelah melakukan pembunuhan. Menurutnya, memang mula-mula agak ragu, tetapi karena menganggap hal tersebut adalah tugas maka akhirnya tidak ada beban metal. Buat mereka, susasan itu adalah seperti perang, kalau tidak membunuh pasti dibunuh.

Mereka menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka sebagai semacam milisinya NU (istilah ini dari saya pribadi), ketika situasi memaksa NU untuk melakukan langkah semacam itu. Tentunya mereka telah memohon pertimbangan bahkan mungkin fatwa dari kiai yang telah mereka anggap sebagai panutan. Perlu dicatat bahwa tidak ada komando atau koordinasi untuk melaksanakan tindakan itu, semuanya bersifat spontan atau prakarsa secara lokal.

Jadi tidak benar sama sekali adanya anggapan bahwa para warga NU telah melakukan pembantaian yang tidak berperikemanusiaan terhadap para warga  PKI atau simpatisannya. Harus kita akui bahwa terdapat ekses, baik dari kesalahan mengidentifikasi korban maupun perlakuannya. Tetapi secara umum harus disadari bahwa suasananya memang suasana perang, terdapat suasana vakum dalam kekuasaan. Suasana perang itu timbul akibat suasan permusuhan yang diciptakan oleh aksi sepihak PKI di berbagai daerah yang kemudian dipicu oleh kudeta G 30 S.

Buat saya mengherankan, bagaimana sejumlah orang bisa membuat penilaian atau bahkan menghakimi peristiwa yang terjadi 35 tahun yang lalu dengan suasana dan ukuran yang sama sekali berbeda dengan sekarang. Apalagi dilakukan oleh pihak yang tidak mengalami sendiri peristiwa itu. Kalangan muda yang belum lahir atau masih kanak-kanak saat itu tentunya tidak menghayati sebaik yang mengalaminya. Demikian halnya dengan orang-orang yang tidak berada di Indonesia saat-saat itu. (1964-1966)

Saat ini secara terbuka diungkapkan berbagai perkiraan skenario terjadinya peristiwa G 30 S. Ada yang menyatakan bahwa gerakan tersebut adalah skenario TNI AD, ada yang menyatakan skenario Bung Karno, ada yang menyatakan bahwa PKI diprovokasi. Bagi rakyat saat itu (khsusunya di Jatim dan Jateng) diyakini bahwa PKI-lah yang ada dibelakang G 30 S. Aksi sepihak dan provokasi warga PKI dan organisasi pendukungnya membuat warga negara non-PKI yakin akan hal itu.

Cukup banyak fakta pendukungnya. Pak Basofi Sudirman menceritakan bahwa kakak dari ayahnda Pak Basofi (Jend. Sudirman -bukan Pangliman Besar Jend Soedirman) menjadi aktivis PKI. Beberapa hari sebelum G 30 S sang kakak mendatangi Pak Dirman dan mengakui telah keliru menilai PKI yang baru saja diketahui oleh beliau akan melakukan pemberontakaan. Seorang ulama sepuh NU di Jakarta menceritakan bahwa pada sore hari tanggal 30 September 2000, para anggota Pemuda Rakyat berdemo di sepanjang jalan di depan rumah beliau dengan menggotong keranda (usungan jenazah) dengan memekikkan yel-yel yang mengesankan akan ada tindakan atau gerakan revolusioner untuk menghantam kiai tersebut dan pengikutnya.

Rasanya cukup wajar jika banyak kalangan yang masih keberatan dengan pencabutan larangan terhadap keberadaan partai komunis di bumi Indonesia. Berbagai jajak pendapat menunujukan hal itu. Kita tidak perlu lagi menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkannya, kita serahkan kepada para anggota MPR untuk memutuskan. Sebenarnnya memberikan perlakukan yang adil dan manusiawi warga keturunan dan simpatisan PKI tidak perlu harus mencabut Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966. Bagi saya pribadi, sah-sah saja ada kalangan yang menginginkan pencabutan ketetapan MPRS itu dan sah-sah pula bila ada kalngan yang ingin mempertahankannya. Masing-masing punya argumentasi, jadi tidak usah saling memaki, saling menunding.

Tritura yang dicetuskan pada 10 Januari 1966 menandai awal gerakan demo mahasiswa selama waktu yang cukup lama. Pada saat-saat itu yang menentukan, jumlah besar mahasiswa dari Bandung hijrah ke Jakarta untuk memperkuat tekanan demo itu. Kawan-kawan Wanandri sempat tinggal di rumah ibu saya, kemudian mereka menduduki rumah-rumah yang menjadi pos BPI. Hampir setiap hari mahasiswa berkumpul di kampus Universitas Indonesia di Salemba. Peristiwa tertembanknya Arief Rahman Hakim menjadi pemicu bagi gerakan mahasiswa untuk menigkatkan aksinya. Tekanan ini terus menerus dilakukan sampai diterbitkannya Supersemar.

Kerjasama antara mahasiswa, partai politik, kalangan profesional (KASI dan lain-lainnya) terjalin erat dengan tujuan yang sama. Pada saat itu tidak terpikirkan siapa memanfaatkan siapa, siapa memperalat siapa. Para mahasiswa juga tidak sepenuhnya mengetahui proses keluarnya Supersemar. Beberapa tahun setelah keluarnya Supersemar sudah ada yang mulai mepersoalkan proses keluarnya. Belakangan ini juga muncul berbagai tulisan atau pendapat yang mempersoalkan keabsahan tindakan Pak Harto membubarkan PKI karena sudah melampui wewenang yang tercantum di dalam Supersemar.

Menurut saya, hal itu mengada-ada, jelas sebagian besar rakyat saat itu menghendaki pembubaran PKI. Bahkan kinipun setelah melihat jatuhnya rexim Orde Baru, saya masih berpendapat tindakan pembubaran PKI dengan Supersemar adalah tindakan yang tepat. Pendapat saya ini tentunya dengan memperhatikan situasi dan kondisi sosial yang politik saat itu, tidak dengan ukuran saat ini.  Dan ternyata keputusan itu diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966. Jadi pendapat bahwa ketepatan MPRS itu dibuat dengan hawa nafsu adalah tidak tepat.

Bahkan ada pendapat yang keliru, bahwa ketapatan MPRS itulah yang memicu gerakan pembunuhan terhadap warga PKI. Pembunuhan itu dilakukan pada akhir tahun 1965 dan awal 1966, sedangkan ketepatan MPRS itu dibuat pada medio 1966, sedangkan ketetapan MPRS itu dibuat pada medio 1966. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, suasana menengangkan terjadi sepanjang bulan Oktober 1965 ketika kekuatan anti PKI dan kekuatan pro PKI masih bersikap saling menunggu. Kekuatan kedua belah pihak masih seimbang. Ketika RPKAD datang ke Jateng maka kekuatan yang sangat besar. Mungkin akan lain ceritanya kalau Bung Karno segera membuarkan PKI dan aktivis PKI ditahan atau diamankan sehingga tidak menjadi korban pembersihan.

“Guilty felling”

Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberikan informasi tentang latar belakang situasi sosial politik dan suasanan kejiwaan sebagian besar rakyat Indonesia yang terpaksa melakukan suatu tindakan kekerasan yang menjadi halaman hitam sejarah bangsa kita. Tulisan ini memang sengaja tidak membahas masalah idelogi komunisme yang terlalu rumit untuk tulisan ringan ini, tetapi mengemukan realitas sosial politik sebagai refleksi dari pertarungan penganut komunisme dengan pengikut Pancasila.

Bagi kalangan muda NU, saya harap tulisan singkat ini dapat menghilangkan perasaan bersalah (guilty felling) yang mungkin timbul dalam arti mereka sebagai akibat lontaran gagasan Gus Dur tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/ 1966. Kini tiba saatnya bagi kita untuk membuka lembaran baru sejarah bangsa kita. Kita tidak perlu lagi dihinggapi rasa ketakutan terhadap kalangan komunis tanpa menghilangkan kewaspadaan kita.

Bagi saya, komunisme lebih merupakan sebuah tantangan daripada suatu ancaman. Tantangan yang saya maksud ialah tantangan untuk menghilangkan masyarakat yang memungkinkan timbulnya ajaran komunis, yaitu masyarakat yang tidak adil, yang tidak menghargai HAM, masyarakat yang tidak demokratis secara politik maupun ekonomi, masyarakat yang tidak memberikan kebebasan kepada masyarakat. Hanya dengan mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan dalam pembukanaan UUD 1945, kita dapat membendung komunis. Kalau kita gagal mewujudkan masyarakat semacam itu, maka komunis bisa mengancam.

Sayanganya pihak penganut Pancasila yang telah mengalahkan penganut komunisme tidak mampu bertindak sesuai dengan ajaran Pancasila. Kita hanya mampu mengunyah Pancasila dan melalukan retorika tentang Pancasila tapi tidak berhasil mewujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau ke depan kita juga tetap hanya mampu berbicara saja tentang Pancasila tanpa mampu mewujudkannya, saya khawatir komunisme akan betul-betul menjadi acaman.

Sumber: Duta Masyarakat Baru, 30-31 Mei 2000.

(Ditulis ulang oleh Dimas Setyawan, Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang).