Oleh: Muhammad Masnun*
Setiap tahun selalu ada peringatan Gerakan 30 September atau sering disebut G30S/PKI. Mengenang keterpurukan yang terjadi masa lalu, penculikan, pengorbanan, kekejaman, dan pembalasan. Semua dicampur dan digoreng sedemikian rupa oleh kelompok tertentu dan media massa untuk kepentingan mereka sendiri.
Begitu banyak versi dalam ulasan sejarah G30S/PKI. Ketika sejarah milik pemenang, maka yang menang yang akan mendominasi jalannya cerita. Pemerintah membuat cerita menurut versinya sendiri. Kemudian, ketika mendapatkan kebebasan berpendapat, korban atau simpatisan PKI pun membuat cerita dengan versinya pula.
Nyatanya begitu banyak korban berjatuhan. Mulai dari rakyat jelata, ustadz, kiai hingga jenderal-jenderal bangsa. Semua berawal dari keinginan untuk berkuasa. Mengatur strategi untuk melumpuhkan lawan, menjadikan semua hal jadi pilihan. Segala jalan menjadi halal untuk ditempuh. Saat memimpin pun tidak menerima kritik, semua berdasarkan ego sendiri.
Kasus-kasus yang begitu mengenaskan, nyeri di dada. Nahasnya berita-berita ini setiap tahun digulirkan hanya untuk memenangkan kelompok sepihak. Bukan dibuat untuk memberikan pelajaran terhadap bangsa. Rakyat-rakyat maupun jenderal penegak kebenaran dan keadilan membutuhkan perlindungan. Bukan malah dihilangkan dengan tenang.
Mungkin sisa-sisa kenangan kelam masa lalu ini belum terbuang sampai dewasa ini. Kekuasaan masih berdiri di atas segalanya. Masih ada nyawa yang hilang saat kritik muncul, sebutlah Munir Said Thalib. Aktivis Hak Asasi Manusia yang diracun di atas pesawat menuju Amsterdam. Hanya pelaku teknis yang mendapat hukuman, sedangkan dalangnya tidak. Sungguh tidak seimbang dengan nyawa telah hilang.
Lebih parah lagi, ada kasus yang tidak mendapatkan titik temu pelakunya. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan mendapatkan siraman air keras oleh orang yang tidak dikenal saat selesai menunaikan shalat subuh berjamaah di Masjid Al Ikhsan, Jalan Deposito RT 03/10, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa 11 April 2017. Hingga kini tidak ada satu pun pelaku ditetapkan dalam kasus itu.
Sampai kapan para pejuang kebenaran selalu dihantui oleh kekejaman penguasa? Sampai kapan perebutan kekuasaan selalu menggunakan kekejaman? Sampai kapan fitnah dan ujaran kebencian terus diproduksi? Sampai kapan janji-janji tidak ditepati?
Sudah lelah mendengar polusi-polusi yang begitu indah di telinga, namun sesak di dada. Kata-kata manis yang tidak pernah nyata. Ketika sayang hanya ada di kata, nyatanya pun tidak pernah ada. Yang nyatanya ada, tidak terungkap keberadaannya. Fakta-fakta kejahatan selalu disembunyikan dan ditutup-tutupi.
Sepertinya komplikasi yang sudah menjangkit bangsa ini. Nilai tinggi lebih penting dari ilmu, kekuasaan lebih penting dari kejujuran, dan kekayaan lebih penting daripada kasih sayang. Inilah yang terjadi bila semua dihitung dengan material dan ego.
Nilai kejiwaan dan kemanusiaannya sudah pudar. Stakeholder yang ada haruslah menjadi tumpuan, harapan, dan kebajikan. Memberikan belaskasihan kepada semua elemen yang ada. Menjaga kemajemukan, menolong minoritas, tanpa mengumbar kesombongan.
Walaupun semua orang memang tidak diciptakan untuk menjadi baik secara keseluruhan, namun setidaknya haruslah lebih banyak orang baik yang memimpin. Semua perlu jujur. Jujur terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain. Jujur mengakui kesalahan dan mengakui hak-hak orang lain. Kejujuran lebih penting daripada keikhlasan ketika berhubungan dengan orang lain.
*Penulis adalah alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.
(Tulisan 2018, yang dimuat ulang)