bahtsul masail di Tebuireng

Bahtsul Masail Sebagai Implementasi Wa Syawirhum fi al-Amri

‘Musyawarah adalah perintah agama’, ungkapan yang merupakan fakta. Teks-teks agama Islam telah menuntun kepada semangat berdiskusi dan berdialog sebagai bagian dari indikator-indikator musyawarah di dalam kehidupan manusia. Interdependensi yang telah digariskan Tuhan kepada manusia sebagai makhluk sosial, tidak hanya dalam bidang-bidang sisio-ekonomi dan sosio-antropologis, tetapi juga menjurus secara mendalam di dalam aspek keilmuan dan pendidikan.

Tegas di dalam al-Quran dinyatakan perintah musyawarah, sehingga diabadikan ke dalam nama salah satu surat yaitu as-Syuro. Nama surat ini diambilkan dalam pembahasan di satu ayatnya yaitu ayat 38:  

وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ

Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

Ibnu Katsir menafsiri ungkapan syura sebagai bentuk diskusi dan penentuan dalam hal peperangan atau yang dimaksudkan, fi al-Amri ini adalah di dalam urusan pemerintahan. Itu yang menjadi dasar Umar ibn Khattab mendasarkan penentuan khalifah setelahnya dengan metode musyawara perwakilan dari berbagai elemen di Madinah. Tetapi al-Baghawi lebih mengeneralisirnya sebagai musyawarah atas segala sesuatu yang mucul dan tidak tergesa-gesa. Artinya, menurutnya ayat ini memerintahkan musyawarah tanpa batas aspek. Pendek kata, semua aspek di dalam kehidupan manusia, khususnya dalam perkara yang berkaitan dengan hajat bersama, harus melalui diskusi dan dialog. Yang manarik adalah ash-Shawi dalam men-syarah-i Tafsir Jalalain, menyamakan musyawarah dengan musyarakah (perkumpulan/Persekutuan) di dalam pemikiran. Sehingga musyawarah adalah arena untuk tukar pikiran dari masing-masing kepala atau kelompok di dalam mencari solusi dari sebuah problematika.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam konteks ayat di atas, pada masa Nabi musyawarah dilakukan masih batas komunikasi dua arah, hanya ada dua kemungkinan, yaitu kemungkinan Rasulullah memberikan ilmu kepada sahabat, dan sahabat bertanya, sehingga terjadi dialog, atau sahabat datang kepada Nabi untuk mendialogkan satu keresahan, permasalahan, atau ketidaktahuan atas hukum-hukum tertentu. Hal itu dikarenakan Rasulullah SAW menjadi sumber ilmu satu-satunya pada masa itu, karena pengetahuannya berbasis wahyu Allah yang diturunkan kepadanya.

Di dalam tradisi pesantren, ada satu kebiasaan dan kegiatan yang menjurus kepada musyawarah. Santri terbiasa mendiskusikan ilmu baik bersama dengan guru, maupun teman sejawat sesama santri. Diskusi dilakukan berbasis literasi di mana teks-teks di dalam literatur para ulama klasik menjadi rujukan, bahkan menjadi objek diskusi mengenai pemahaman dan interpretasi terhadap teks tersebut. Tradisi tersebut bernama syawir (musyawara).

Lalu ketika diperbesar skalanya menjadi lebih kompleks dan ilmiah, di mana dihadirkan beberapa perumus yang mempresentasikan ide, gagasan, temuannya terhadap kajian masalah dan teks, serta mushahih (pengkoreksi) yang bertugas memberikan pandangannya terkait perdebatan yang ada. Diskusi yang awalnya bersifat santai naik level tensinya menjadi perdebatan argumen. Dalam rangka untuk mencari solusi hukum dari masalah baru yang muncul di tengah-tengah umat. Selain itu juga, kegiatan sudah lebih tertata dengan kehadiran moderator dan diikuti peserta perwakilan dari kelompok-kelompok tertentu, baik di kalangan internal pesantren penyelenggara maupun eksternal. Tradisi inovatif ini lalu disebut bahtsul masail. Bahkan di dalam organisasi Nahdlatul Ulama, ada Lembaga khusus dengan nama Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU).

Berarti penulis kira sudah tidak ada perbedabatan soal ini, bahwa tradisi ini adalah al-muhafadzhah ala al-qadim ash-shalih (menjaga tradisi lama yang masih baik). Kegiatan ini sangat bermanfaat dan tentu saja, penuh dengan limpahan ilmu. sudah ribuan masalah telah dipecahkan dan telah menemukan ibarat di dalam kitab-kitab para ulama. Namun, kit aini perlu membuka diri dengan hal-hal baru, di mana kaidahnya tentu saja al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (mengambil yang baru yang relevan dan lebih baik). Di dalam bahasa manajemen, disebut dengan continue improvement (keberlanjutan yang berkembang).  Kita jangan mangalami stagnasi dialog keilmuan. Maka bahstul masail, perlu dikembangkan menjadi dialog multicultural, multidisiplin, bahkan interdisiplin.

Hubungan Agama dan Intelektualitas

Menurut seorang pakar filsafat ilmu, Ian G. Barbour, dalam bukunya Issu in Science and Religion, menyebutkan empat hubungan agama dan ilmu pengetahuan/sains. Pertama, ilmu hubungan konflik. Di mana agama dan ilmu pengetahuan cenderung bertentangan dan berlawanan sehingga timbul konflik di masa lalu antara ilmuan materialistik dengan para agamawan, pada konteks saat itu, adalah gereja. Para ilmuan ogah bertemu gereja, gereja juga ogah mendiskusikan ilmu dengan para ilmuan. Bahkan konflik menjadi berdarah, ketika gereja berkuasa dan menghukum mati beberapa ilmuan yang dianggap menentang keyakinan gereja.

Kedua, hubungan indepedensi, yang disebabkan karena kejenuhan konflik antara agamawan dan ilmuan, sehingga menimbulkan sekularisasi, yang berakibat perceraian agama dengan ilmu secara mandiri. Agama berjalan sendiri dengan urusan-urusan teks, sementara ilmuan asyik sendiri dengan penemuan-penemuannya. Inilah yang menjadikan gab yang cukup besar antara agama yang cenderung dianggap statis dan ilmu pengetahuan dan sains yang dianggap dinamis. Teks agama dianggap sebagai produk wahyu dan sains dianggap sebagai produk akal. Lalu muncul dua kubu besar, kubu pertama memposisikan agama menjadi dua, agama sebagai doktrin ketuhanan, dan agama sebagai ilmu, serta kedua, ilmu umum selain agama. Lebih parah polarisasi terjadi, ada ilmu agama berbasis akhirat, dan ilmu umum berbasis duniawi. Makin parah lagi, menganggap ilmu umum tidak berimbas pada kehidupan setelah kematian, dan yang paling shalih adalah ahli ilmu agama.

Ketiga, hubungan dialogis, di mana sudah mulai ada kesadaran bahwa kenapa agama yang selalu didakwahkan tidak bisa berkembang dan dianggap terbelakang. Mengajak untuk meyakini, tapi tidak mengajak untuk berpikir. Lalu muncul teori dialog agama dan ilmu pengetahuan, sebagai anti tesis dari dua teori sebelumnya. Wahyu dan akal adalah sama-sama produk Tuhan, maka turunannya juga sama-sama adalah keniscayaaan fakta bahwa selain Tuhan adalah ciptaan. Maka ilmu pengetahuan mulai didialogkan dengan teks agama yang dikait-kaitkan.

Keempat, hubungan integratif antara agama dan ilmu pengetahuan. Teks-teks agama yang awalnya hanya didialogkan sehubungan dengan temuan yang ada, mulai diintimkan lagi, yaitu teks agama dapat menganganilis temuan, dan temuan dapat menganalisis teks. Maka produk yang dihasilkan oleh ilmuan coba dipadukan dengan kalam Tuhan.

Selanjutnya, pada abad 21, Hyun E mengemukakan 3 interaksi antar ilmu, yaitu multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Multidisiplin mempelajari/meneliti/menganalisis satu topik tertentu bukan pada satu disiplin keilmuan saja, namun melibatkan beberapa disiplin lain secara bersamaan. Caranya dengan menggabungkan perspektif antar disiplin dari sumber dan pakar masing-masing. Namun, hubungan itu ada pada batas masing-masing disiplin berjalan di dalam relnya sendiri-sendiri. Interdisiplin bentuk perkembangan dari multisidisiplin di mana hasil dari penelitian, analisis, dan studi itu sudah terjadi percampuran antar disiplin keilmuan yang terlibat.

Transdisiplin menggunakan pendekatan yang melintasi batas-batas disiplin ilmu untuk menciptakan pendekatan holistik dalam memecahkan masalah. Pendekatan ini menggabungkan berbagai disiplin ilmu untuk mengatasi masalah yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang lebih luas dari berbagai perspektif. Prinsip Utama Transdisiplin transdisiplin berusaha menggabungkan berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif tentang masalah yang dihadapi. Transdisiplin menggunaan pengetahuan yang beragam dari berbagai bidang untuk mencari solusi yang lebih efektif.

Transdisiplin juga menuntut adanya interaksi antar disiplin. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu bekerja sama dalam diskusi dan dialog yang terbuka, memberikan berat sama rata pada setiap perspektif. Bahkan jika dibutuhkan sampai pada taraf menemukan ide, gagasan, konsep, metodologi, teori, dan translasi inovasi baru. Multidisiplin berbasis aditif, pendekatan tanpa interaksi, interdisiplin berbasis interaktif, menuntut adanya interaksi antar disiplin, dan transdisiplin bersifat holistic menyeluruh dari displin-disiplin yang terlibat.

Perintah Membaca dalam Surat Al-‘Alaq

Lalu, Islam menganut yang mana? Dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5 sebagai wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad SAW tertera beberapa klu hubungan agama dan ilmu pengetahuan. Penulis setidaknya menemukan 9 klu di dalam 5 ayat tersebut. Pertama, lafadz iqra’ di dalam ayat pertama, ini sangat menarik, karena ia berasal dari kata qara’a-yaqra’u yang artinya membaca, kata kerja (fi’il) ini tergolong muta’addi di dalam ilmu tata bahasa Arab merupakan kata kerja yang membutuhkan maf’ul bih (objek). Namun di dalam ayat itu tidak sebutkan, kemungkinan besarnya ada hidden purpose yang dibuang (mahdzuf). Sesautu yang terbuang berarti “sesuatu yang dibaca”. Apakah itu buku, keadaan, atau teks tertentu. Tentu saja terlalu sempit pemaknaannya. Maka penulis mensinyalir yang terbuang adalah “al-maujud wa ma yumkinu wujuduhu” segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Ini menunjukkan universitas bacaan, di mana maksud dari iqra’ (bentuk masdarnya:  qira’ah) sebenarnya adalah istiqra’ (riset) pembacaan yang berimplikasi pada pegetahuan yang didasarkan pada penelitian, pengalaman, dan eksperimental.  

Kedua, bismirabbika, dengan nama Tuhanmu. Inilah letak dialog dan integrasi antara keilmuan dan keimanan. Keilmuan yang dicanangkan berbasis ketuhanan dan keimanan. Tidak ada jurang pemisah yang dalam. Muncul pertanyaan, kenepa penyebutan nama Tuhan tidak didahulukan dari perintah pembacaan. Ini menjadi tesis yang menarik, bahwa Allah meminta keimanan yang diyakini oleh hamba-Nya harusnya yang berdasarkan keilmuan, bukan karena mengikuti keyakinan orang-orang terdahulunya. Ada semacam pencarian terhadap temuan-temuan yang menguatkan kayakinan Imani, baik iman dirinya sendiri maupun umat. Di sini letak ketinggian derajat ilmu di dalam Islam, ilmu apa saja.

Ketiga, alladzi khalaq, setelah diminta untuk menguatkan intelekualitas religius, kita diberikan contoh satu sifat Allah yaitu al-Khaliq (Yang Maha Pencipta). Penggunaan kata khalaqa ini dipilih dari pada kata-kata lain, seperti shana’a (membuat), ja’ala (menjadikan), dan lain-lain, yang artinya juga bisa berimplikasi pada memproduksi sesuatu. Di banding yang lain, khalaqa ini memiliki sisi kebaruan, di mana Allah menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Khalaqa diterjemahkan menjadi to creat (menciptakan) yang berimbas pada creation (kreasi). Hamba-Nya dicontohkan untuk menjadi kreatif dalam membaca dengan basis keimanan kepada-Nya.

Kelima, khalaqal insana min alaq (menciptakan manusia dari segumpal darah). Menariknya contoh penciptaan yang dilakukan oleh Allah adalah manusia sebagai makhluk-Nya yang paling kompleks dengan piranti akalnya. Manusia memiliki kemampuan menerjemahkan kehendak Tuhan di dalam teks maupun fenomena alam dengan intepretasi akal mereka. Manusia juga bisa menjadi khalifah di bumi sebagaimana perintah-Nya, atau menjadi perusak dan penumpah darah sebagaimana yang terjadi dalam sejarah manusia. Maka Allah ingin keilmuan yang dibangun adalah berbasis humanity (nilai-nilai kemanusian) yang digunakan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan manusia itu sendiri. Manusia juga merupakan objek dan subjek pendidikan yang dilakukan.

Keenam, iqra’ warabbuka al-akram, bacaalah dan Tuhanmulah yang lebih mulia. Ini semacam wanti-wanti Allah agar intelektualitas dan keilmuan yang dibangun tidak dapat mengalahkan kemuliaan Tuhan sebagai Dzat yang Maha Alim. Ketujuh, alladzi ‘allama bi al-qalam (yang mengajari manusia dengan pena). Penemuan-penemuan aksara dalam sejarah manusia turut berkontribusi dalam urusan-urusan ilmiah mencipakan peradaban yang maju. Buku-buku dan catatan menjadi bukti sejarah dan penyebar ilmu pengetahuan selama sejarah hingga sekarang. lafadz ‘allama (mengajari) juga bisa bermakna menyediakan ilmu, yang oleh manusia ditulis dan dibukukan. Artinya semua yang menjadi pengetahuan manusia adalah apa yang disediakan oleh Allah untuk dieksplorasi.

Kedelapan dan kesembilan, allama al-insana ma lam ya’lam, mengajari manusia apa yang tidak ia ketahui. Setelah Allah menciptakan manusia (khalaqa al-insana), Allah sendiri yang menyediakan semua ilmu dan mengajarkannya kepada manusia. Dan yang diajarkan semua adalah yang sebelumnya ia tidak ketahui. Masih bersambung dengan iqra sebelumnya yang meminta manusia melakukan riset, kreasi, dan inovasi kebaruan, maka manusia akan menemukan sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Dari yang ada yang diketahui menjadi menemukan sesuatu yang ada yang baru diketahui sehingga menjadi khazanah yang lebih luas.

Apa yang terkandung dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5 di atas merupakan perintah Allah untuk muldisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Allah ingin manusia bersikap inovatif, kreatif, dan memperbarui pengetahuan dengan belajar apa saja, dari mana saja, dan siapa saja. Allah ingin manusia memaksimalkan akal untuk mendialogkannya dengan wahyu-Nya. Allah ingin manusia dinamis dengan dasar akidah yang kuat, bukan statis yang menciptakan peradaban yang jalan di tempat.

Baca Juga: Kyai Azizi Ungkap Pengembangan Bahtsul Masail

Penulis: M. Abror Rosyidin, Dosen Universitas Hasyim Asy’ari