
Bahstul Masail Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin
Dari semua yang telah penulis sampaikan di tulisan sebelumnya, tentu saja maksudnya adalah dalam konteks bahtsul masail sebagai tradisi pesantren harus menerima kebaruan, harus dapat berkolaborasi dengan keilmuan-keilmuan lain dalam menentukan fatwa hukum dari permasalahan yang update, tidak hanya mengandalkan teks-teks para ulama yang ditulis di masa lampau. Pembatasan itu telah menjadikan hukum-hukum yang dibuat menjadi tidak dialogis dengan keilmuan.
Para singa bahtsul masail harusnya sadar diri, bahwa mereka bukanlah person dengan kemampuan miltidisiplin. Kita ini hanyalah kumpulan orang-orang yang paham tentang ilmu agama, bukan ahli dalam semua bidang yang terkait dengan masalah yang dihadapi. Apalagi keilmuan kita ini hanya didasarkan pada hafalan dan bacaan saja, bukan karena penelitian, karena eksperimental, atau pengalaman. Tentu saja itu sangat terbatas sekali dibanding dengan perkembangan keilmuan lain, teknologi, yang berimplikasi pada kompleksitas masalah-masalah di masyarakat yang membutuhkan cantolan hukum agama, agar fikih betul shalihun likulli zaman wa al-makan (relevan terhadap sepanjang waktu dan ruang). Dialog multidisiplin, interdisiplin bahkan transdisiplin sangat membantu dalam mengatasi keterbatasan pengetahuan kita.
Misalnya saja, masalah yang dibahas dalam bahtsul masail tentang kesehatan, katakanlah masalah stunting, kita tidak mungkin mengandalkan teks-teks klasik itu untuk menemukan jawaban hukum. Pastinya, kita membutuhkan ilmu-ilmu dari ahli di bidangnya, misal dokter, pakar gizi, pakar daerah tertinggal, dan lain-lain, yang kiranya dapat membantu dalam mengatasi kompleksitas masalah. ‘Kan bisa kita membaca dari artikel-artikel ilmiah yang tersedia’, lalu apa bedanya kita dengan orang-orang selain kita yang mengandalkan google untuk belajar. Jika tujuannya untuk berdiskusi, berarti kehadiran pakar menjadi penting. Mereka yang pakar itu dapat menginformasi secara live meluruskan yang salah dan menjelaskan yang benar.
Misalkan lagi, permasalahan yang dibahas tentang bullying. Apakah yang hadir membawa tumpukan kitab, file-file digital kitab, dan ibarat-ibarat itu paham psikologi, antropologi, sosiologi yang berhubungan dengan fenomena sosial? Saya yakin bukan. Kita ini hanya ahli agama yang mengandalkan teks-teks Islam klasik yang tentu saja sebagian besar tidak paham soal itu. Maka perlu didatangkan psikolog, antropolog, sosiolog untuk menganalisis dari sisi keilmuan mereka yang berhubungan lansung dengan mental, kondisi sosial, kemanusiaan, atau bahkan mendatangkan ahli hukum dan kriminolog agar dapat melihat perundungan itu dari sisi potensi pidana dan kriminal yang bisa dipaparkan. Bisa juga mendatangkan pakar pendidikan, yang membantu menganisisnya dari teori-teori pendidikan atau kebijakan pendidikan.
Menarik bukan? Ketika yang duduk di samping mushahih pertama yang paham agama, ada mushahih yang paham keilmuan terkait, sebagai mushahih kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Penulis membayangkan itu menjadi diskusi menarik karena teks dipadukan dengan ilmu pengetahuan yang lain dan fenomenologinya. Mungkin saja, nanti secara multidisipliner, bahtsul masail yang diadakan menghasilkan hukum baru yang lebih komprehensif, secara interdisipliner dapat didialogkan di bidang-bidang terkait, tidak hanya di kalangan ahli agama, atau transdisiplin yang kemudian memunculkan teori baru yang terpisah dari keilmuan yang mendasarinya, tidak menutup kemungkinan.
Misalkan lagi, kita membahas tentang kasus kerusuhan Tangerang dalam kasus meremukkan kaki anak kecil di sekitar proyek PIK 2. Dipertanyakan apakah sopir wajib mengganti atau memperbaiki truk yang dirusak warga? Atau warga yang mengganti? Siapa yang bertanggungjawab atas remuknya kaki anak kecil itu, dan fakta bahwa sopir yang positif narkoba itu apakah hasil tes urine itu berimplikasi hukum? Ini tentu saja membutuhkan kajian ahli hukum pidana dan kriminolog, mungkin bisa sosiolog.
Misalkan hanya dibicarakan melalui kacamata hukum fikih, kira-kira dapat kesepakatan hukum yang dibuat, bisa langsung diaplikasikan ke lapangan, tanpa analisis hukum pidana? Ketika terjadi kontradiksi antara hukum fikih yang disepakati tidak sesuai dengan pidana yang diatur negara, kira-kira menang mana untuk menyelesaikan masalah di lapangan? Karena yang bisa mengadili adalah pengadilan yang berdasar pada hukum pidana? Dengan mendatangkan ahli hukum pidana, kita bisa menciptakan dialog kolaborasi yang saling mendukung antara fikih dan hukum pidana yang dianut negara.
Gemar Produksi Lemah Pemasaran
Jika apa yang disampaikan penulis di atas itu terjadi, bahtsul masail yang dibuat menjadi sangat implikatif dan aplikatif, tidak hanya sekedar jadi khazanah. Namanya juga khazanah yang hanya jadi koleksi sejarah, itupun jika kita dapat mempublikasikan produk bahtsul masail-nya. Karena hasil batsul masail kita, tidak seramai fatwa ustadz TV dan media sosial. Sementara bahtsul masail kita sudah tidak kolaboratif, disimpan rapi di kardus, rak buku, dan perangkat elektronik, menjadi makanan rayap dan virus.
Penyakitnya lagi, kalau pengurus bahtsul masail-nya sudah boyong, ikut boyong juga data-datanya. Jika kita bersanding dengan keilmuan lain, seminimalnya, yang menviralkan menjadi banyak, dokter, ahli hukum, psikolog, dan lain-lain, ikut menggaungkan, karena menyangkut keilmuan mereka juga. Kemasan yang dibuat untuk viralisasi, publikasi, dan sosialisasi kepada masyarakat dan pihak terkait juga menarik dan mengikuti perkembangan zaman, pastinya juga mengandalkan ahli IT, ahli desain, ahli video, ahli media sosial, melibatkan keilmuan-keilmuan lain juga akhirnya.
Harus dicari apa yang salah dalam sistem publikasi hasil bahtsul masail kita ini kok tidak bisa ramai dan viral? Mungkin akan jadi bahtsul masail sendiri itu. Karena kalau dibiarkan tersimpan sebagaimana biasanya, penulis khawatir akan terkena khitab kitman (menyembunyikan ilmu). Maka kita perlu memperluas jangkauan publikasi, dicari solusi kekinian, dan dapat disosialisasikan secara luas kepada masyarakat.
Penulis menghadirkan tulisan ini bukan lain, karena kecintaan pada tradisi pesantren yang mengakar dan ilmiah, tetapi harus tetap dinamis, berkembang secara berlanjutan, dan tidak anti terhadap keilmuan lain. Dunia pesantren punya orang-orang yang progresivitasnya melampaui zamannya, ada KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Bisri Sansuri, KH. Wahab Chasbullah, KH. Ahmad Shiddiq, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Saifuddin Zuhri, Nur Cholis Majid, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang mau berdialog dengan keilmuan lain secara terbuka, progresivitas mereka melampaui zamannya. Maka kita sebagai insan pesantren tentu harus mencontoh mereka, terbuka, progresif, dinamis, tanpa menghilangkan akar kepesantrenan kita, baik secara keilmuan, tradisi, budaya maupun keislaman kita. Wallahu a’lam semoga dapat bermanfaat.
Baca Juga: Menggemakan Bahtsul Masail Multdisipliner, Interdisipliner, dan Transdisipliner (Bagian I)
Penulis: M. Abror Rosyidin, Dosen Universitas Hasyim Asy’ari