KH. Salahuddin Wahid (Ketua Komite Khittah)

Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Nahdlatul Ulama didirikan pada 1926 oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. A Wahab Hasbullah dan banyak lagi kiai lainnya. Jamiyyah NU didirikan sebagai ormas Islam yang memperjuangkan ajaran Islam ahlus sunnah an Nahdliyah yang garis besarnya adalah: 1). Dalam masalah fiqh mengikuti salah satu dari Imam Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. 2). Dalam masalah aqidah mengikuti Imam Asy’ari atau Imam Maturidi. 3). Dalam masalah tasawuf mengikuti Imam Ghazali atau Imam Junaidi al Baghdadi.

Jam’iyyah NU berkembang dengan cepat melalui jaringan pesantren di seluruh Jawa. Sampai usia 10 tahun Jam’iyyah NU sama sekali tidak bergiat dalam masalah politik, walaupun pada Muktamar NU 1936 sudah mengeluarkan pernyataan bernuansa politik, bahwa negara Hindia Belanda adalah darul Islam seperti berikut: Sesungguhnya negara kita Hindia Belanda dinamakan darul (wilayah) Islam karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda), tetapi nama Wilayah Islam masih berlaku selamanya, sebagaimana keterangan dari kitab Bughyatul Mustarsyidin: “Setiap kawasan di mana orang Muslim mampu menempati pada suatu masa tertentu, maka kawasan itu menjadi wilayah Islam, yang ditandai dengan berlakunya hukum Islam pada masanya. Sedangkan pada masa sesudahnya, walaupun kekuasaan Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (Belanda) dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka. Jika dalam keadaan seperti itu, maka dinamakan darul harb hanya merupakan bentuk formalnya, tetapi bukan hukumnya. Dengan demikian, perlu diketahui bahwa kawasan Batavia, bahkan seluruh tanah Jawa (bahkan Nusantara) adalah darul (wilayah) Islam, karena pernah dikuasai umat Islam, sebelum dikuasai oleh orang-orang kafir Belanda” (diputuskan di Banjarmasin, 19 Juli 1936. Pada 1937 jam’iyyah NU bergabung dengan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). KH. A Wahid Hasyim ditunjuk sebagai ketua. KH. A Wahab Hasbullah mulai berinteraksi dengan kalangan pergerakan kemerdekaan.

Pada pertengahan 1942 pemerintah militer Jepang menahan Hadratussyaikh selama sekitar 4 bulan. Dukungan dari warga NU dalam bentuk demo protes membuat Jepang menyadari bahwa Hadratussyaikh adalah tokoh utama umat Islam di Nusantara pada saat itu. Jepang meminta Hadratussyaikh menjadi Ketua Shumubu (semacam kantor urusan agama) yang berpusat di Jakarta. KH. A Wahid Hasyim mewakili ayahnya sebagai ketua harian dan berkantor di Jakarta.

Dalam persidangan BPUPK, sejumlah tokoh NU terutama KH. A Wahid Hasyim aktif dalam menyusun Rancangan UUD. Bersama tokoh-tokoh Islam lain, para tokoh NU berjuang agar negara RI berdasar Islam. Para tokoh selain tokoh Islam berjuang supaya Pancasila menjadi dasar negara. Komprominya ialah Piagam Jakarta yang merumuskan sila pertama Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kompromi ini ternyata masih ditolak oleh kalangan Kristen di Indonesia Timur. Akhirnya dicapai kata sepakat bahwa sila pertama adalah Ketuhanan YME.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada 22 Oktober 1945 ulama-ulama NU dibawah pimpinan Hadratussyaikh mengeluarkan Resolusi Jihad yang memberi semangat para pemuda muslim untuk berjuang membela negara RI yang sedang berperang menghadapi tentara sekutu yang lebih unggul dalam semua aspek. Berkat perjuangan rakyat terutama umat Islam, tentara sekutu yang punya pengalaman tempur yang menonjol terpaksa kehilangan dua orang jenderalnya.

Prestasi membanggakan dari para tokoh NU dalam memperjuangkan kemerdekaan, menyiapkan UUD dan mempertahankan kemerdekaan melalui terbitnya Resolusi Jihad, dilakukan oleh NU sebagai ormas Islam, bukan sebagai partai politik. Atas jasa-jasa mereka, sejumlah tokoh NU diberi anugerah sebagai Pahlawan Nasional, yaitu Hadratussyaikh, KH. A Wahid Hasyim, KH. Zainal Musthafa, KH. Zainul Arifin, KH. Idham Chalid, KH. A Wahab Hasbullah, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Syam’un dan KH. Masykur.

Jam’iyyah NU bergabung dengan Partai Masyumi pada Nopember 1945. Hadratussyaikh diminta untuk menjadi Rais Majelis Syura. Dalam posisi sebagai anggota Partai Masyumi, jam’iyyah NU mendapat kesempatan untuk menempatkan sejumlah tokohnya menjadi menteri agama, yaitu KH. Fathurrahman Kafrawi, KH. A Wahid Hasyim dan KH. Masykur. Karena berbagai sebab dan melalui pertimbangan matang dalam Muktamar di Palembang pada 1952 NU menyatakan diri keluar dari Partai Masyumi dan menjadi partai politik.

Dalam pemilu 1955, Partai NU menjadi partai dengan suara ketiga terbesar, berjumlah 6.955.141 (18,41%). Dalam pemilu 1971, Partai NU menjadi partai dengan suara kedua terbesar berjumlah 10.213.650 (18,47%). Pada 1973 Partai NU dipaksa bergabung ke dalam PPP. Dalam pemilu 1977, PPP menjadi partai dengan suara 18.743.491 (29,29%). Di dalam PPP, NU memperoleh jumlah suara terbesar (sekitar 18%), tetapi di dalam kepengurusan PPP tokoh-tokoh NU tidak mendapat posisi yang layak. Kondisi ini tentu membuat tokoh-tokoh NU tidak puas.

Pada pemilu 1982, tokoh-tokoh NU tidak mendapat nomor urut yang memungkinkan terpilih menjadi anggota DPR. PPP memperoleh suara berjumlah 20.871.880 (27,78%). Jumlah anggota DPR dari NU menurun. Ketidakpuasan tokoh-tokoh NU memuncak.

Dampaknya, dalam Muktamar 1984 di Pesantren Sukorejo, jam’iyyah NU menyatakan diri tidak terlibat lagi pada politik praktis (politik kepartaian). Banyak tokoh NU masuk ke Golkar. Muktamar 1984 juga mengakui secara resmi bahwa Pancasila adalah dasar negara.

Dalam posisi kembali sebagai ormas, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid kerap menyampaikan kritik yang keras terhadap Pemerintah dan juga kepada Pak Harto pribadi. Secara alamiah Gus Dur dianggap sebagai tokoh utama masyarakat sipil Indonesia. Pada Muktamar 1994, Pemerintah mengintervensi Muktamar dengan tujuan untuk mencegah Gus Dur terpilih kembali menjadi Ketua Umum. Ternyata Abu Hasan yang didukung pemerintah kalah dalam pemilihan Ketua Umum. Selanjutnya Abu Hasan mendirikan KPPNU, yang tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan.

Pada 1998 Presiden Habibie menetapkan bahwa dibuka kesempatan untuk mendirikan partai baru dan pemilu akan diselenggarakan pada 1999. Maka bermunculanlah banyak sekali partai baru. PBNU memfasilitasi berdirinya PKB yang ada dalam kendali Gus Dur yang masih menjabat sebagai Ketua Umum sampai akhir 1999. Hasil pemilu menunjukkan bahwa PKB memperoleh suara sebanyak 13.336.982 (12,61). PPP memperoleh suara 11.329.905 (10,71%). Dengan asumsi bahwa jumlah suara PPP sekitar 2/3 adalah warga NU dan ditambah suara beberapa partai yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU, diperkirakan suara warga NU mencapai sekitar 22 juta (20,8%). Selain itu banyak warga NU memilih partai lain seperti Partai Golkar.

Menurut exit poll pada pemilu 2019, sebaran suara warga NU adalah seperti berikut: PKB 15%, Gerindra 13%, PDIP 17%, Partai Golkar 12%, Nasdem 9%, Berkarya 3%, PKS 7%, Perindo 2%, PPP 6%, PSI 1%, PAN 5%, Partai Hanura 2%, Partai Demokrat 8%, dan PBB 1%. Jadi warga NU yang memilih partai yang punya kaitan historis dengan NU (PPP dan PKB) adalah 21%. Sisanya tersebar di banyak partai.

Dalam pemilihan gubernur Jatim 2018 dan presiden 2019, struktur NU dan banom dalam berbagai tingkatan terlibat langsung dan aktif dalam kampanye. Menurut saya tindakan itu tidak sesuai dengan prinsip di dalam khittah. Dalam naskah resmi Khittah NU pada butir 8 tentang “NU dan Kehidupan Bernegara”, dinyatakan bahwa “Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga”. Keberpihakan struktur NU terhadap PKB amat mencolok. Bahkan bisa dibilang bahwa jam’iyyah NU dikendalikan oleh pengurus PKB.

Sejumlah tokoh PBNU menyatakan bahwa Khittah NU itu situasional, tergantung waktu dan situasi. Ada yang menyatakan bahwa NU adalah “ashabul qoror”, bukan “ashabul haq”. Pernyataan ini menurut saya tidak sesuai dengan prinsip yang diusung Khittah NU, dalam butir 8 Naskah resmi Khittah NU. Kebijakan untuk mengubah NU menjadi Ashabul Qoror” perlu diputuskan di dalam Muktamar. Keadaan ini diperburuk dengan sikap seorang Ketua PBNU yang menyatakan bahwa NU kecewa karena jabatan menteri agama tidak diserahkan kepada tokoh NU. Ada tokoh PWNU Jatim yang menyatakan bahwa keterlibatan tokoh dan struktur NU dalam memenangkan Jokowi-KMA tidak gratis. Sikap diatas sejalan dengan anggapan bahwa NU adalah “ashabul qoror”.

Ada sejumlah tindakan tokoh-tokoh utama PBNU yang ditafsirkan oleh masyarakat bahwa NU tampaknya akan menjadi oposisi seperti di era Gus Dur. Sebuah tulisan di Jawa Pos menyatakan bahwa kalau betul ada sikap oposisi PBNU seperti yang diberitakan media, maka sikap oposisi sekarang tidak bermartabat. Beda dengan sikap oposisi era Gus Dur. Dari situ tampak bahwa keterlibatan struktur NU dalam politik praktis seperti saat ini dinilai telah menurunkan martabat NU.

Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa prestasi NU yang menonjol, membanggakan dan bermartabat ialah ketika bertindak sebagai ormas yang istiqomah, yang merupakan bagian utama dari masyarakat sipil. Saat tokoh-tokoh NU memberi sumbangsih dalam proses penyusunan Rancangan UUD dan menyusun dasar negara, NU adalah bagian dari masyarakat sipil. Saat Gus Dur dengan lantang mengkritik kebijakan Pemerintah Orde Baru dan membela rakyat yang lemah, NU adalah bagian dari masyarakat sipil. Kiai Sahal Mahfudz memberi pesan bahwa politik NU adalah politik tingkat tinggi yaitu politik kebangsaan seperti contoh diatas, bukan politik kelas rendah yaitu politik kekuasaan atau politik kepartaian seperti yang kita saksikan saat ini.

Peran Partai NU sebagai partai politik dalam kurun waktu 1952-1973 dan 1973-1984 tentu saja sarat dengan kepentingan politik. Kita tidak bisa membandingkan peran NU sebagai parpol dengan peran NU sebagai ormas yang melibatkan diri terlalu jauh ke dalam politik praktis. Jam’iyyah NU menjadi ormas rasa parpol. Paradigma jam’iyyah NU saat ini lebih dekat dengan paradigma partai politik dari pada paradigma ormas keagamaan. Banyak sekali tokoh PKB yang menduduki jabatan di PBNU, seperti tidak ada tokoh non-partai yang bisa menjadi pengurus.

Jam’iyyah NU kurang tertarik dan tidak punya waktu untuk serius menekuni amal usaha masyarakat sipil seperti mengurusi kegiatan pendidikan dan kegiatan pembinaan ekonomi umat. Ruh jihad yang penuh keikhlasan dari pimpinan NU menurun. Kita tentu menyaksikan bahwa PBNU bisa membangun kampus Universitas NU Indonesia dengan bantuan para konglomerat, tetapi mengelola pendidikan tinggi bukan hanya membangun kampus.

Salah satu fenomena yang amat memalukan dan amat mencemaskan ialah maraknya praktik politik uang dalam proses memilih pengurus NU dari tingkat bawah sampai tingkat teratas. Banyak info bahwa pengurus PKB di berbagai tingkatan berperan dalam praktik hitam itu. Uang dalam muktamar dimulai dari Muktamar Makassar lalu dan Muktamar Jombang.

Praktik politik uang dan permainan dalam pemungutan suara yang terjadi dalam Muktamar Makassar dan Jombang jelas-jelas bertentangan dengan Khittah NU dan ajaran Islam. Khittah NU yang dilanggar ialah Bab 5 tentang Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan. Dasar-dasar keagamaan (angka 3) dan kemasyarakatan (angka 4) membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang:

  1. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.

  2. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.

  3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah serta berjuang.

  4. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwah), persatuan (al-ittihad) serta kasih mengasihi.

  5. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak.

Selain apa yang dikemukakan di atas, dugaan penyimpangan terhadap Khittah NU juga terjadi dalam aspek ajaran. Masalah ini akan dipaparkan secara jelas, rinci, dan lengkap oleh Ustadz Hilmy as Shiddiqi.

*Ketua Komite Khittah.

Disampaikan dalam Silaturrahim Dzurriyyah Muassis NU, Masyayikh, Habaib dan Ulama di Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo pada 21 Nopember 2019.