Oleh: KH. Salahuddin Wahid*
Aset sesungguhnya dari suatu bangsa adalah manusia yang membentuk bangsa itu. Untuk bisa maju, maka anak bangsa itu harus dibangun jiwanya dan badannya. Jiwa anak-anak bangsa dibangun melalui pendidikan. Badannya dibangun melalui kesehatan. Tanpa membangun jiwa dan badan manusia Indonesia mustahil kita bisa memanfaatkan bonus demografi, mustahil kita bisa mewujudkan Indonesia emas. Sayang sekali, dalam kedua hal itu bangsa Indonesia menghadapi masalah besar.
Pendidikan Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara maju, bahkan di Asia Tenggara mutu pendidikan Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina. Pencapaian peringkat Indonesia dalam Human Development Index, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), Programme for International Student Assessment (PISA), misalnya, umumnya menengah bawah, rendah atau sangat rendah.
Banyak orang mengatakan, termasuk Menteri Keuangan, bahwa peningkatan anggaran pendidikan sejak 2010 dalam jumlah berarti tidak menghasilkan peningkatan mutu pendidikan kita. Sebagian besar anggaran habis untuk gaji pegawai dan belanja tidak langsung. Mayoritas untuk gaji pegawai negeri dan honorer. Sisanya untuk biaya makan dan transportasi rapat kedinasan. Anggaran untuk belanja langsung pendidikan juga tidak tepat guna atau tidak tepat sasaran. Ada pendapat yang keliru yaitu yang mengukur kemajuan pendidikan dari tingkat penyerapan anggaran,
Lebih dari 60% anggaran pendidikan ditransfer ke daerah. Ada kecenderungan daerah menggunakan anggaran itu untuk infrastruktur pendidikan. Salah satu daerah yang memilah dan memilih prioritas penggunaan dananya untuk peningkatan mutu pendidikan dari pada infrastruktur pendidikan adalah Pulau Sumba di NTT. Wakil Bupati Sumba Barat Daya mengatakan pemerintah daerah memilih tidak melapisi lantai sekolah dengan keramik asalkan kompetensi guru terus diasah dan siswa dibuat tertarik untuk terus bersekolah. Guru yang mangkir dari jadwal pelatihan di MGMP dan KKG, akan dipotong tunjangannya.
Pak Jusuf Kalla saat menjadi Menko Kesra (2001-2004) melakukan kajian terhadap soal ujian nasional saat itu dibandingkan dengan soal Ujian pada 1950-an sampai 1970-an. Ternyata soal ujian saat itu lebih sulit. Juga dilakukan perbandingan dengan soal ujian nasional di beberapa negara Asia Tenggara. Hasilnya juga sama.
Penelitian terhadap kemampuan matematika terhadap lebih dari 30.000 orang di 13 provinsi, menemukan bahwa terdapat kesenjangan serius antara kemampuan matematika siswa dan apa yang seharusnya jadi capaian belajar sesuai dengan kurikulum. Hanya 11% sampel yang telah lulus dari kelas XII (SMA, SMK, MA) bisa menjawab soal-soal numerik yang seharusnya diperuntukkan bagi kelas IV, seperti pembagian dua digit (56/84), pengurangan pecahan (1/3 dikurangi 1/6), dan desimal (0,76-0,4- 0,23).
Masalah utama pendidikan kita adalah rendahnya mutu guru dan kesejahteraan guru. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukkan bahwa mutu guru kita amat memprihatinkan. Rata-rata hasil UKG pada 2016 adalah 54,33 (SD), 58,25 (SMP), 61,74 (SMA), dan 58,30 (SMK). Perolehan UKG rata-rata nasional masih 53,02. Ini dibawah standar kompetensi minimal yang ditetapkan yaitu 55,0. Hanya ada tujuh propinsi dengan nilai UKG di atas standar, yaitu Jawa Barat, Bangka Belitung, Bali, Jawa Timur, DKI, Jawa Tengah dan DIY (berita Kompas 14/9/2018). Dari sekitar 3 juta guru masih ada 491. 000 yang belum sarjana.
Sebuah penelitian di Riau, Sumatera Utara, dan jambi mengungkap bahwa sebagian besar guru menggunakan media pembelajaran hanya untuk latihan yang menggunakan kemampuan berpikir tingkat rendah. Hanya sebagian kecil yang sudah menggunakan cara pembelajaran siswa aktif. Sebagian sudah berhasil menghadirkan suasana belajar yang menggembirakan siswa dan menggugah semangat belajar siswa melalui kemompok belajar yang menyenangkan siswa. Tetapi proses belajar mengajar masih terpusat pada guru dan belum mengarahkan siswa untuk berpikir lebih dalam dan lebih tinggi.
Penelitian lain (2018) menunjukkan bahwa penguasaan bahasa dan persepsi 121 guru bahasa Indonesia dan 149 guru bahasa Inggris di Palembang, Yogya, Sleman, Surabaya, Ruteng, Ambon dan Saumlaki masih jauh dari memuaskan. Hampir separuh sampel guru Bahasa Indonesia belum bisa menulis esai tiga paragraf dengan bahasa yang sesuai kaidah. Bahkan ada guru yang tidak mengenal arti kata “paragraf”. Untuk guru Bahasa Inggris, kompetensi guru sampel juga masih rendah. Hanya 24% dari 149 guru sampel mencapai angka 76. Nilai tertinggi mencapai 95,8 dan nilai terendah adalah 21,1.
Sebuah kajian mengungkap bahwa 99% dari 3.457 siswa SD di tiga propinsi di Sumatera menyatakan bahwa mereka merasa bahagia di sekolah. Temuan ini sejalan dengan temuan studi lain (PISA 2015), bahwa kepala sekolah di Indonesia menggambarkan lingkungan belajar yang positif di sekolah, dimana proses belajar tidak terganggu oleh bolos siswa dan guru, kurang hormat siswa terhadap guru, alkoholisme, dan perundungan. Persepsi kepala sekolah di Indonesia lebih positif dibandingkan rekan mereka di negara peserta PISA yang lain.
Pada 2018 awal Pesantren Tebuireng memasang iklan mencari guru untuk ditempatkan di SMP Sains. Jumlah yang mendaftar sekitar 220, yang mengikuti tes masuk mencapai 180 sekian. Dalam tes UKG, dengan menggunakan nilai 80 lalu 70, tidak ada yang lolos. Lalu nilainya diturunkan menjadi 60, yang lolos ada 10 orang. Jadi hanya sekitar 5-6% yang bisa mencapai angka 60%.
Mengapa hanya kecil sekali guru yang bisa menembus UKG dengan angka 60% dan tidak ada yang menembus angka 70? Menurut saya karena mereka yang menjadi guru tidak memenuhi syarat. Saya punya kisah menarik tentang hal ini, yaitu tentang Dr Ir Abdul Kadir Baraja. Di Finlandia peringkat 1-10 tamatan SMA yang bisa menjadi guru. Kini pak Abdul Kadir Baraja mendirikan STKIP untuk mencetak guru yang baik.
Saya membaca berita tentang kekurangan guru negeri sebesar 707.000 orang. Berita itu juga menyatakan bahwa guru pensiun 2016-2020 berjumlah 316.000. Rasio guru di Indonesia ialah 1 berbanding 15,55. Ratio guru di China ialah 1:16,55. Di Malaysia ialah 1:11,61. Pada 1968 sudah terjadi kekurangan guru. DKI saat itu kekurangan 453 gedung sekolah dan 8.136 guru. Saat ini (50 tahun kemudian) masih terjadi kekurangan guru. Saat ini 451 kabupaten kekurangan guru dan 62 kabupaten kelebihan guru.
Seperti sudah kita ketahui, pendidikan meliputi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan kita terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif atau pengajaran. Walaupun demikian, seperti dijelaskan diatas, peringkat kita untuk kemajuan bidang pengajaran umumnya rendah. Bagaimana dengan aspek afektif dari pendidikan kita? Sebetulnya pembinaan aspek afektif dimulai sejak kecil oleh orang tua. Guru membantu pembinaan oleh orang tua itu.
Kini kita melihat bahwa perhatian dan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren meningkat. Mereka berharap pesantren bisa menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan pengajaran yang baik. Bagaimana kita menjawab meningkatnya harapan itu?
Kalau anak itu masuk pesantren, maka tanggung jawab itu beralih ke pesantren, mulai dari pengasuh, kepala pondok dan pembina (ustadz yang membina santri di kamar di pondok). Pembina adalah semacam wali kelas. Kalau bagi guru ada lembaga pendidikan yang mempersiapkan mereka selama 4 tahun ditambah pelatihan profesional, tidak ada lembaga yang mendidik atau melatih pembina.
Maka Pesantren TBI sejak 2016 mendirikan Pusat Latihan Pembina yang mengadakan pelatihan selama 4 bulan termasuk magang 1 bulan di berbagai pesantren. Latihan dimulai dengan latihan kemiliteran dilanjutkan dengan berbagai mata kuliah seperti Psikologi Perkembangan, Kepemimpinan, Komunikasi, Nilai-nilai pesantren, dan berbagai ilmu yang bermanfaat. Pesantren tempat maganag antara lain ialah Gontor, Sidogiri, Langitan, Sukorejo, Amanatul Ummah, Riyadul Jannah, Genggong, Nurul Jadid Paiton, Temboro, Termas, Bumi Sholawat, Darun Najah, Al Fitrah, SPMAA.
Di Pesantren Tebuireng ada lima nilai pesantren yang ditanamkan yaitu ikhlas, jujur, tanggungjawab, kerja keras dan tasamuh. Sebenarnya masih banyak karakter positif di luar lima nilai diatas. Ternyata tidak mudah untuk bisa menanamkan karakter positif kepada para santri. Kami melakukan pemantauan terhadap prilaku santri dan siswa dan masih belum berhasil sepenuhnya. Selain kelima nilai diatas, kami menerapkan sikap anti kekerasan yang kami awasi dengan ketat. Karena itu pelatihan itu kami evaluasi secara berkala untuk bisa diperbaiki. Para pembina perlu diberi pelatihan tambahan setiap tahun selama 2 atau 3 hari.
Perlu disampaikan dalam sambutan saya ini hasil survei harian Kompas pada 2017 mengenai tingkat korupsi dan kejujuran dalam masyarakat.
- Seberapa parah perilaku bohong seperti plagiat, korupsi, suap dalam masyarakat saat ini? Sangat parah: 50,7 %; parah: 4,3%; tidak parah: 4,8%.
- Apakah tindakan menyuap dan korupsi dipicu oleh kebiasaan berbohong di dalam masyarakat? Ya: 74,9%; tidak: 23,9%.
- Tingkat kebohongan di beberapa kalangan.
@ pelajar dan mahasiswa:
selalu jujur 2,3%; sering jujur 7,5%; kadang jujur kadang bohong 50,5%; sering bohong 30,8%; slalu bohong 5,8%
@ kalangan agamawan yang saya anggap sebagai kelompok dimana guru berada.
selalu jujur 18%; sering jujur 27,1%; kadang jujur kadang bohong 38,7%;
sering bohong 7,2%; selalu bohong 2,1%
Survei mengenai masalah terbesar bangsa Indonesia dari harian Kompas pada 2017 >> korupsi 42,8%; penegakan hukum 17,7%; kemiskinan 12,9%; masalah SARA 10%; keadilan sosial 7,1% dan kerukunan sosial 6,7%.
Jadi menurut survei diatas masalah terbesar bangsa Indonesia saat ini selain radikalisme, masalah SARA atau kerukunan sosial, adalah masalah korupsi dan penegakan hukum. OTT terhadap Ketua Umum PPP dan dua PNS Kemenag serta ratusan kepala daerah dan anggota DPR/DPRD membenarkan hal itu. Dan dua masalah terbesar bangsa Indonesia itu sangat tergantung pada kejujuran. Sayang sekali tingkat kejujuran bangsa Indonesia amat rendah. Dan itu semua bergantung pada pendidikan dan itu berarti tergantung pada mutu guru. Pada hal mutu guru kita tidak baik. Tidak ada capres dan cawapres yang membahas masalah ini. Juga tidak ada tokoh ormas seperti NU dan Muhammadiyah yang membahas masalah itu.
Terakhir saya ingin menyinggung masalah Ujian Nasional. Cawapres Sandiaga Uno menyatakan dalam Debat pada 17 Maret 2019 bahwa dia akan menghapus UN. Lalu Presiden Jokowi juga menyatakan hal yang sama. Sebaliknya Wapres JK menyatakan bahwa menghapus UN adalah sesuatu yang berbahaya. UN itu diperlukan untuk mengukur maju atau mundur pendidikan kita. UN juga untuk mengetahu bahwa standar di daerah manapun di Indonesia bahwa tingkat pengetahuan lulusan SD, SMP, SMA harus mendekati nilai atau mendekati nilai kemampuan sesuai kurikulum yang ada.
Beberapa tahun lalu saat ada polemik tentang masalah tersebut, saya menyatakan bahwa UN tetap diperlukan tapi tidak perlu dilakukan setiap tahun, cukup lima tahun sekali. Biaya untuk Ujian Nasional bisa digunakan untuk meningkatkan mutu guru. Stress akibat UN bisa dikurangi.