Pengasuh Pesantren Tebuireng memberikan sambutan dalam acara Fikih Peradaban di Pesantren Tebuireng Jombang.

Oleh: KH. Abdul Hakim Mahfudz*

Pada saat ini begitu banyak sumber-sumber ilmu yang mana kita sendiri kesulitan untuk bisa membedakan sumber ilmu yang datang dari perkembangan kemajuan teknologi informasi, sehingga banyak sekali sumber-sumber yang membuat kita bingung untuk memikirkan dan dalam mencari sumber-sumber yang benar. 

Ini sangat penting bagi generasi penerus kita, bagi kita pun juga demikian, kita harus bisa memperkuat ilmu-ilmu yang ditinggalkan, ilmu-ilmu yang diwariskan oleh salafus sholih, yang mana sanadnya bersambung kepada Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Agar kita juga mampu untuk mewariskan ilmu-ilmu ini kepada generasi penerus, ini sangat menentukan perjalanan umat Islam, sangat menentukan perjalanan bangsa ini, bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Perjalanan bangsa ini tidak terlepas juga dari kontribusi Pesantren Tebuireng, Hadratussyaikh, muasis Pesantren Tebuireng banyak meninggalkan tulisan-tulisan kepada kita, tulisan bagaimana cara mengaplikasikan ilmu-ilmu yang begitu banyak, dan beliau menuliskan Mukhtashor (ringkasan) dari beberapa ilmu itu, yang mana akan mempermudah kita dalam menyerap ilmu-ilmu yang begitu banyak, dan salah satu yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari di tahun 1925, menulis Kitab Adabul Alim wal muta’allim, di dalam Kitab itu, beliau menyampaikan pendapat ulama:

التوحيد يوجب الإيمان, فمن لا إيمان له فلا توحيد له
والإيمان يوجب الشريعة, فمن لا شريعة له فلا إيمان له ولا توحيد
والشريعة توجب الأدب, فمن لا أدب له فلا شريعة له ولا إيمان ولا توحيد

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tauhid itu mewajibkan iman, maka yang tidak punya iman, berarti tidak punya tauhid.
Iman itu mewajibkan syariah, maka yang tidak punya syariah, berarti tidak punya iman dan tidak punya tauhid.
Syariah itu mewajibkan adab, maka yang tidak punya adab, berarti tidak punya syariah, tidak punya iman dan tidak punya tauhid.

Dengan syariat saja tanpa adab dianggap tidak bersyariat karena tidak bersyariat kemudian di situ disampaikan tidak juga beriman dan akhirnya tidak bertauhid. Jadi beliau menempatkan adab itu begitu pentingnya.

Maka itu menjadi salah satu kitab yang dituliskan oleh Hadratussyaikh, menjadi rujukan yang ada di Pesantren Tebuireng, bagaimana kita membangun adab, karena hanya di pondok pesantren lah, tempat di mana kegiatan-kegiatan, belajar mengajar dari ta’lim, tarbiyah kemudian ta’dib bisa dilaksanakan, dan kembali lagi bahwa kita dengan ta’dib kita mendidik adab, dan bisa dipakai untuk membangun peradaban, karakter-karakter yang sangat dibutuhkan dalam membangun peradaban. 

Di dalam perjalanan sejarah Pesantren Tebuireng bersama dengan para masyayikh, dan para aulia di zaman itu, persatuan umat Islam bisa terbentuk. Di dalam salah satu buku yang ditulis oleh As’ad Shihab di tahun 1937, MIAI didirikan menaungi 13 organisasi Islam yang ada di Indonesia. Itu mewakili semua umat Islam yang ada di Indonesia di tahun 1937. Dan perjalanan selanjutnya memasuki zaman penjajahan Jepang, kemudian atas permintaan Jepang berubah menjadi Masyumi dan masih tetap umat Islam menyatu di bawah Masyumi, dan itu merupakan buah dari pada menjaga peradaban menjaga syariat menjaga keimanan dan itu kemudian kita sama-sama kita menjaga ketauhidan, Hal itu sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Hadrotus Syekh Kh. Hasyim Asy’ari di dalam kitabnya Adabul Alim wal Muta’alim

Hari ini tentu saja kita menghadapi hal yang berbeda, perubahan zaman yang begitu cepat karena adanya kemajuan teknologi yang berkembang, kita harus memperkuat pemahaman-pemahaman mengenai syariat, mengenai keimanan mengenai ketauhidan, agar kita bisa menjadikan itu semuanya menjadi perekat untuk bangsa ini tetap bersatu agar negara ini mampu membangun ukhuwah, membangun persatuan, untuk kemajuan, dan kekuatan bangsa yang akan mendatang.


*Pengasuh Pesantren Tebuireng. Tulisan ini disampaikan dalam acara Fikih Peradaban di gedung Yusuf Hasyim Pesantren Tebuireng.

Pentranskip: Faizal Amin